Tidak gampang menjadi perempuan. Susah juga jadi laki-laki. Masing-masing memikul beban jendernya sendiri. Namun, selalu masih saja ada kaum perempuan rasakan berbeda dalam melakoni hidup jendernya, karena masih diperlakukan bukan sebagai kaum yang sama-sama kelas satu.
Menjadi perempuan di zaman sekarang, tentu tidak lagi sama dengan ketika masih era nenek-kakek dahulu. Tidak juga masih sebangun dengan ketika perempuan dunia dinobatkan menjadi ibu super (supermom) beberapa dasawarsa lampau.
Ellen Goodman di awal tahun 1970-an menyodorkan kemunculan sebuah genre yang tumbuh di antara kaum hawa dunia. Bentuk peran perempuan yang kemudian diulur lebih perkasa dari sebatas kehebatan supermom belaka. Dunia waktu itu tampaknya sedang menuntut kehadiran sosok berjuluk superwoman. Menjadi perempuan seperti itu, waktu itu, sudah menjadi sebuah keharusan.
Bahwa kelompok beratribut superwoman itu sosok perempuan yang menguasai pelbagai peran rangkap dan kompleks. Sosok perempuan yang juga melakukan peran sebagai ibu yang sempurna, selain istri yang modis, ”Inem” yang terampil, jurumasak piawai, mampu melahirkan anak cerdas, eksekutif yang gesit, berjiwa penolong, cekatan menata rumah selain karier, selalu rajin tersenyum, dan ia segalanya bagi semua orang. Begitu tulis Natasha Josefowitz dalam sebuah puisinya tahun 1977.
Perempuan super tidak hanya tinggal di rumah dan menyediakan sarapan pagi seadanya bagi suami dan anak. Ia juga istri dan ibu pekerja yang meninggalkan rumah setelah menyiapkan bukan sekadar sarapan sekenanya, melainkan menu lengkap bergizi layaknya American breakfast.
Ia juga istri yang sebagai eksekutif berpenghasilan tak kalah dengan perolehan suami. Pulang ke rumah masih mendongeng buat anak-anak, menyiapkan makan malam keluarga, dan mengajak suami duduk berdua di antara nyala lilin. Superwoman itu sebuah adonan kultur sosok ibu karier, istri yang seksi, dan memiliki bukan sekadar hanya rumah, melainkan juga sebuah home.
Untuk menjadi seperti itu, perempuan dianggap tak lagi cukup mengandalkan hanya naluri kewanitaannya. Tak juga cukup memetik dari kecerdasan dan pengetahuan yang diwariskan ibu sewaktu kecil, serta dari apa yang mungkin pernah didapat dari sekolah semata. Lebih dari itu, perlu terus dihadirkan bekal yang lain.
Menjadi seorang perempuan super perlu ada ketulusan, dan semangat berkorban pula. Untuk bisa meraih itu semua, seorang perempuan super memang bukan dilahirkan, melainkan diciptakan.
Untuk tercipta sosok superwoman, perempuan perlu dibentuk sejak di awal-awal kehidupan. Bagaimana ia diasuh dan dibesarkan, apa dan siapa guru taman kanak-kanaknya, dan seperti apa sekolah pemulanya, siapa saja teman bergaulnya, apa corak lingkungan sosialnya, idealkah berat badannya sejak bayi, dan seberapa bergizi menu harian di meja makan ibunya.
Sekali lagi, itu berarti untuk tercapainya penciptaan sosok yang bukan seadanya itu memerlukan lebih banyak ikut campur lebih dari sekadar yang pernah ibu pernah berikan semenjak kecil. Dan, itu lebih dari sekadar sentuhan nurture belaka. Lebih dari sekadar mesin untuk merawat, mengasuh, dan membesarkan anak perempuan belaka.
Tak soal seperti apa warisan kepribadian seorang perempuan ketika dilahirkan. Jika berharap lebih banyak dari tuntutan itu, perempuan sendiri yang dapat merancang pribadinya, apakah ingin menjadi seperkasa Joan of Arc, secerdas Margareth Thatcher, sepahlawan Evita Peron, atau barangkali hanya ingin selembut Venus dari Milan.
Selain seorang perempuan bertumbuh dan berkembang sebagaimana ia harus menjadi, seperti kata bahasa psikologis, perlu diberi nilai tambah. Nilai tambah seorang perempuan ditentukan oleh isi kepala dan kedua tangannya juga.
Bahwa arah keluhuran hidup perempuan modern memang dengan sadar diusung menuju ranah kesetaraan (equity) dengan para kaum kekasihnya, suaminya, atau ayahandanya. Sedang ihwal cara bagaimana perempuan menempuhnya menuju ke sana, eloknya memilih tetap mengacu pada segenap karakteristik kefemininannya. Bahwa perempuan juga diminta masih terus menginsyafi kalau ia tetap seorang perempuan.
Keinsyafan perempuan bahwa dirinya menyimpan keterbatasan dalam kodratnya, yang menjadi tak tepat kodrat lagi jika pagar itu dengan sadar dilampaui. Sejatinya kodrat biologis perempuan tidak sama dan sebangun dengan kodrat yang dimiliki laki-laki.
Perempuan punya kelebihan, sekaligus juga menyimpan kekurangannya. Masih menginsyafi ada perbedaan kodrati itulah, maka gerak tuntutan emansipasi yang mungkin terasakan ada, hendaknya disikapi secara lebih bijak.
Ada fakta yang sedang berkembang di dunia. Rata-rata perempuan zaman sekarang (terpaksa harus) menunda perkawinannya untuk mengejar studi dan karier dahulu. Pada saat mulai berencana hendak menikah, umur sudah tidak belia lagi, dan semakin sedikit calon suami pilihan yang tersedia untuk dipilih. Bisa jadi sudah tak ada lagi laki-laki yang laik dipilih. Kondisi seperti itu berpengaruh terhadap karakter keperempuanannya. Berimbas pula pada dunia kelajangannya sebagai perempuan.
Ketika umur di awal karier rata-rata perempuan sekarang ini sudah mendekati kepala tiga, mereka kian kehilangan peluang mendapatkan calon teman hidup selevelnya. Ini berdampak pada perjalanan hidupnya ke depan. Memilih melajang sebagai perempuan tentu tak sama bermakna hidupnya, tak lengkap pula terpenuhi kodrat kewanitaannya sebagai istri maupun sebagai sosok ibu. Lalu konflik berpeluang meletus di sana.
Menjadi perempuan hebat tidak hanya memberi nilai tambah untuk kemaslahatan diri sendiri. Dampak sosial kehebatan seorang perempuan berimbas pula pada kualitas keluarga. Anak yang unggul lahir dari keunggulan dan kehebatan ibu yang mengasuh dan membesarkannya. Suami yang sukses datang dari istri yang juga dengan perkasa mengantarkannya.
Sungguh luar biasa peran seorang perempuan di dunia. Maka, eloknya, sampai kapan pun demi tumbuh generasi serta keluarga yang luar biasa, setiap perempuan perlu terus diberdayakan agar bugar jiwa, raga, sosial, dan spiritualitasnya (total fitness). Siapa pun ia. Karena dari perempuan yang bugar total, akan lahir keluarga yang bugar, masyarakat yang bugar, dan bangsa yang juga bugar.
Suskes hidup seorang perempuan, melahirkan sukses hidup keluarganya. Perempuan juga yang akan membuahkan sukses hidup anak, suami, serta sukses hidup bangsanya. Untuk itu dua bekal besar yang harus dibawanya semenjak kecil. Bekal pendidikan dan segala yang memperkaya wawasan, pengetahuan hidup, serta bekal bagaimana menguasai tata hidup sehat.
Seorang Dan Kindlon PhD dalam bukunya Alpha Girls menulis bahwa pada dewasa ini ia melihat kemunculan generasi perempuan muda perkasa Amerika Serikat. Ia menyebutnya sebagai alpha girls. Mereka generasi yang berkembang dari talenta yang besar, punya motivasi tinggi, dan penuh rasa percaya diri. Seperti itu tampaknya protitipe perempuan hari depan yang akan membangun kultur baru.
Bagaimana dengan sosok perempuan kita? Buku ini ingin melengkapi apa-apa bekal elementer yang mungkin terluput dari kebanyakan pengisian kantung pendidikan perempuan kita sejak masih di kandungan ibu. Model pendidikan yang masih menafikan bagaimana membangun kesehatan diri, keluarga, dan masyarakat agar bugar. Siapa tahu belum terlambat mengajak kaum mereka menjadi lebih perempuan dari sekadar hanya menjadi perempuan yang dituntut oleh kodrat layaknya nenek mereka.
Buku ini ditulis terinspirasi dari mengasuh rubrik kesehatan mulai tahun 1970-an, melihat bagaimana profil perempuan Indonesia dibesarkan, menjadi remaja, melakukan peran sebagai istri, dan bunda. Di penglihatan saya terkesan tidak sepenuhnya perempuan kita menerima bekal yang penuh, karena kebanyakan memang mewarisi hanya asuhan dari pesan naluri dan tradisi ibu belaka.
Pendidikan formal kita pun tidak penuh membantu dalam mengisi kekurangan perempuan dan sudah membuatnya lebih cerdas bahkan sekadar melakukan peran domestik tradisionalnya. Kekurangan itu yang bukan saja gagal memosisikan mereka sebagai pahlawan keluarga tanpa tanda jasa, mungkin juga membuat mereka lancung menjadi perempuan sejati.
Tak sedikit kegagalan perempuan sebagai pribadi maupun keluarga berhulu dari tidak lengkapnya perempuan melakukan peran rangkap yang dituntut kaumnya sendiri. Perempuan yang dituntut untuk memampukan sanggup berperan sebagai superwomen agar tidak lagi memosisikan mereka masih tetap saja submissive di bawah kemaskulinan citra suami, dan di hadapan laki-laki pada umumnya.
Seiring dengan itu pula saya menemukan sebuah pelajaran kegagalan perempuan dari seorang Amy Fisher. Ia seorang perempuan Amerika kini berumur 30 tahunan. Hidupnya rumpil sejak masih berumur 16 tahun. Setelah mengungkap berliku jalan hidupnya, tiba-tiba kini ia menjadi selebriti di Amerika Serikat. Pers Amerika mengangkat dan menjulukinya Si ”Long Island Lolita”.
Sebuah pengakuan Amy menulis begini, ”Andai dulu aku tahu. Namun, waktu itu, aku hanyalah remaja yang bodoh, ceroboh, dan termanipulasi,” demikian dia tuliskan dalam buku laris versi New York Times, bertajuk If I Knew Then (2004). Telanjur berjalan tanpa peta, tanpa pandu, namun beruntung berhasil lolos dari nasib buruk.
Amy berasal dari keluarga kecukupan, dan orangtuanya terdidik. Tetapi, satu yang kurang. Ia berkembang menjadi perempuan remaja yang tumbuh dari ketidakhadiran ibu sebagai guru, lalu salah jalan. Beruntung Amy akhirnya menemukan jalan hidup lurusnya setelah lebih 14 tahun jalannya berkerikil, masuk penjara, melakoni banyak jalan serong.
Hemat kita, barang tentu banyak remaja di dunia yang melakoni hidup seburuk riwayat Amy, belum tentu nasibnya akan sebagus Amy. Bayangkan kalau banyak anak lahir dan dibesarkan oleh ibu yang kotor riwayat masa kecil dan masa mudanya, dan tetap buruk sampai menjadi bunda.
Belajar dari situ, maka pikir kita, perempuan perlu belajar juga dari pengalaman getir Amy. Perempuan bukan saja tidak boleh sampai salah menjalani hidup miliknya supaya hidup lebih lancar seturut arah yang benar, melainkan juga bisa sematang alpha girls. Mengapa?
Oleh karena pihak perempuan, siapa pun dia, yang bakal mengajarkan bagaimana seeloknya hidup kepada kaumnya, dan semua bakal calon anak bangsa. Untuk maksud itu pula buku ini ditulis. Dan, saya teringat akan kata bijak Will Rogers, bahwa kita belajar dengan dua cara. Membaca buku, dan berteman dengan orang yang lebih pintar.
Menjadi perempuan paripurna merupakan dambaan setiap wanita. Untuk tiba sampai ke sana tidaklah sukar. Kuncinya membangun hidup sehat. Hanya apabila tubuh sehat, kecantikan membinar dari dalam. Hanya kalau tubuh berhasil dibuat bugar, femininitas seorang perempuan, terasakan tampil amat sejahtera.
Bahwa dengan terpetiknya kecantikan dan menjadi feminin penuh itulah, perempuan sedang membukakan pintu menuju kesuksesan dalam hidup dan karier. Termasuk kebahagiaan berada bersama suami, dan tampil menawan di hadapan setiap lelaki.
Buku ini bermaksud mengajak Anda setiap perempuan, memasuki harapan seindah itu. Tak perlu menjadi dokter untuk menjadi perempuan cantik dan feminin. Simak dan lakukan yang ditulis dalam setiap bab buku ini, lalu perhatikan apa yang terjadi pada diri Anda
Saya ingin menyampaikan sekian banyak terima kasih. Terima kasih untuk begitu melimpah pelajaran yang saya petik dari keluguan ibu waktu saya kecil dulu. Kondisi itu yang mendorong saya perlu belajar juga dari meramu semua perjalanan hidup pribadi dengan mengais pelbagai bacaan.
Ilmu kedokteran yang sudah saya miliki dan perjalanan profesi memberi penyuluhan kader posyandu, dan pertemuan saya dengan masyarakat di puskesmas dulu, menerima beraneka ragam surat konsultasi kesehatan, bertemu dengan pasien, pergaulan dengan teman sejawat, pertanyaan yang saya dengar selama memberi seminar, talkshow, dan semua bacaan fiksi maupun nonfiksi–telah membuahkan inspirasi, betapa sentralnya peran perempuan, siapa pun dia.
Terima kasih juga untuk semua guru yang mengajarkan saya begitu banyak ilmu, termasuk ilmu kehidupan (skill for life). Kepada semua perempuan yang pernah saya kenal, dari mana saya belajar lebih dekat memahami makna lawan jenis. Kepada Belinda, teman seperjalanan, darinya saya semakin tahu arti kehadiran seorang istri, dan bagaimana sejatinya harus menjadi seorang ibu.
Kepada Minetta, yang sudah tidak kurcaci lagi, saya juga belajar bahwa ternyata tidak mudah menjadi ayah seorang perempuan remaja. Kepada Millardi yang berani mati sudah punya teman dekat, padahal memikul nasihat ayahnya berharap ia tidak lengket dengan perempuan dulu selagi masih studi–mudah-mudahan ini juga sebuah pembelajaran baru di era genitnya teen-lit. Bahwa mungkin berada dekat dengan teman perempuan bisa lebih memudahkan anak laki-laki belajar bagaimana memahami kaum ibunya.
[Handrawan Nadesul, Dipetik dari naskah buku yang akan terbit berjudul Cantik, Sehat, & Feminin Penerbit Buku Kompas]
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.