Lalu mereka memberi isyarat kepada bapanya untuk bertanya nama apa yang hendak diberikannya kepada anaknya itu. (Luk. 1:62)
Kala remaja, saya didorong oleh rasa ingin tahu. Salah satu dari banyak hal yang ingin saya ketahui adalah siapa yang memberi nama kepada saya, dan apakah arti nama saya? Saya pun mengajukan pertanyaan kepada mama saya. Mama menjawab bahwa bapa sayalah yang memberi nama saya. Lalu, saya bertanya, “apakah mama turut memberi nama saya?” Mama menjawab, “Nama itu adalah pemberian bapa.” Lagi, saya bertanya, “Mengapa hanya bapa yang memberi nama?” Pertanyaan demi pertanyaan mengiringi proses kehidupan saya, sampai kepada pertanyaan sejak kapan patriarki menjadi struktur yang nyaris menguasai semua elemen hidup manusia?
Dalam Lukas 1:62, sanak saudara yang hadir menantikan Zakharia memberi nama kepada anak mereka yang baru lahir. Mereka menyarankan agar anak itu diberi nama yang sama dengan bapaknya, yaitu Zakharia. Namun, Elisabet mengatakan bahwa nama anak mereka adalah Yohanes. Zakharia mengesahkan perkataan Elisabet, ia menulis, “Namanya adalah Yohanes.” Zakharia memberi nama Yohanes kepada anak mereka.
Memberi nama tidak sekadar memberi nama. Memberi nama menjadi penanda bahwa manusia menjadi milik identitas budaya, tak terkecuali agama. Namun, memberi nama tidak sama dengan memasukkan, apalagi memenjara manusia dalam konstruksi nilai yang dapat memenjarakan. Memberi nama hendaknya disertai dengan doa. [Pdt. Santy Manurung]
DOA:
Tuhan, ajar kami agar memiliki kerendahan hati, keluasan hati sehingga tidak diskriminatif. Amin.
Ayat Pendukung: Yes. 12:2-6; Am. 9:8-15; Luk. 1:57-66
Bahan: Wasiat, renungan keluarga.
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.