Mengatasi Kesendirian
Majelis Bidang Persekutuan menggelar Persekutuan Gabungan dengan tema: (I) Am Here for You yang dipandu oleh Pdt. Riani Josaphine Suhardja pada hari Sabtu, 23 Januari 2021 dari pk. 10.30 hingga 12.30. Persekutuan Gabungan ini diikuti oleh 78 user id—beberapa peserta hadir berpasangan—dari Kombas Bintaro, Lebak Bulus, Pondok Indah, dan TCCC, didampingi tidak kurang dari 15 Penatua.
Di samping kangen-kangenan, Persekutuan Gabungan ini lebih ditujukan untuk saling bertatap muka, melakukan sharing, bertukar pandangan dan pengalaman, dan saling mendukung dalam upaya bersama mengatasi pandemi ini dengan keprihatinan yang besar dan mendalam. Masing-masing peserta diajak untuk bisa lebih memahami bahwa sering kali kehadiran, peran serta, dan kontribusi yang kita berikan, dapat membawa pengalaman spiritual yang membawa orang merasa makin dekat kepada Tuhan. Demikian juga yang kita alami melalui peran orang lain dalam pengalaman hidup kita sehari-hari. Kita semua melihat Tuhan dalam tebaran kasih yang dilakukan untuk meringankan beban sesama, meskipun hal itu hanya berwujud perhatian.
Mencermati hasil survei yang dilakukan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Gangguan Jiwa Indonesia pada 14 Mei 2020, dari 2.364 sampel yang diminta menjadi responden, ternyata:
• 69% orang yang mengalami gangguan psikologis
• 68% orang yang mengalami kecemasan
• 67% orang yang depresi
• 77% orang yang menderita trauma psikologis
• 49% lainnya berpikir tentang kematian
Sungguh sebuah kondisi yang memprihatinkan dan sangat potensial mengancam kehidupan jemaat. Pandemi ini memang menjadi sangat berat, penuh ketidakpastian, menakutkan, dan bahkan sangat mengerikan apabila dihadapi sendiri. Keterkungkungan yang menekan, sangat memberatkan upaya untuk membangun sukacita dan kesejahteraan yang pernah kita alami dalam suasana normal dulu. Karenanya kita perlu meningkatkan semangat untuk saling berempati, mendukung dan menolong, supaya— meskipun tidak berkurang—pandemi ini dapat dihadapi jemaat dengan pikiran dan perasaan yang lebih ringan.
Pasrah memang bukan pilihan. Karena itu, upaya mendekatkan diri kepada Tuhan dan menyadari kehadiran-Nya melalui berbagai aspek kehidupan serta pemahaman, justru sangat dibutuhkan dan perlu ditumbuhkan. Melalui kesadaran dan pemahaman seperti ini, umat terjaga hati dan pikiran mereka melalui iman yang terus dipelihara dan ditumbuhkan. Kebersamaan dalam persekutuan akan memperkuat dan memberi mereka kemampuan untuk lebih menghayati pemeliharaan tangan Tuhan di dalam hidup mereka.
6 Faith Styles
John R. Marby mengemukakan 6 faith styles (gaya beriman) sebagai cara orang menghayati kedekatannya dengan Tuhan, yakni:
• Percaya Tradisional: percaya bahwa imannya adalah satu-satunya yang sah.
• Percaya Liberal: percaya bahwa imannya adalah salah satu dari banyak ekspresi spiritual yang valid. • Eklektika Spiritual: tidak mengikuti satu keyakinan, tetapi memiliki dan memilih elemen dari banyak tradisi spiritual.
• Agnostik Religius: menikmati manfaat komunitas spiritual, tetapi tidak yakin akan klaim kebenarannya.
• Humanis Etis: ateis dan agnostik yang mungkin menemukan rasa memiliki—dan keterkaitan—dengan kosmos.
• Jack Believers: percaya pada paradigma kaum Percaya Tradisional, tetapi tidak dapat mematuhi kode etik mereka (dikenal di beberapa komunitas sebagai ‘murtad’).
Dari enam cara memegang iman ini, Ateis Baru hanya mengakui tiga: Percaya Tradisional, Jack Believers, dan Humanis Etis. Separuh umat manusia yang religius tidak terwakili oleh model realitas mereka—sehingga sama sekali tidak menjadikannya model realitas.
Hal ini menunjukkan bahwa ada berbagai macam penghayatan/cara orang mengalami kedekatannya dengan Tuhan. Rebecca Nye mendefiniskan spiritualitas sebagai cara-cara Tuhan ada-hadir-bekerja bagi kita, dan cara-cara kita dekat dan hadir bersama-Nya. Pada masing-masing orang, cara-cara ini dirasakan dan dialami secara berbeda. Pengalaman yang menimbulkan perasaan ini unik pada masing masing orang. Karenanya dirasa perlu untuk mengingatkan jemaat bahwa pengalaman mereka tidaklah harus sama dengan orang lain. Bukan berarti kalau tidak sama dengan orang tertentu, pengalaman kedekatan mereka dengan Tuhan kurang bermutu, sehingga mereka merasa perlu mendapatkan pengalaman yang sama dengan orang itu.
9 Sacred Pathways
Dalam Sacred Pathways: Discover Your Soul’s Path to God (Jalur Suci: Temukan Jalan Jiwa Anda Menuju Tuhan), Gary L Thomas menjelaskan sembilan gaya spiritual (jalan suci) yang berbeda. Kita semua mencintai dan terhubung dengan Tuhan dengan cara yang berbeda. Tuhan menciptakan kita semua dengan kepribadian dan temperamen spiritual tertentu, yang membuat kita tertarik pada jenis praktik dan doa tertentu. Tuhan ingin kita merasa bebas untuk beribadah, menurut cara-Nya menciptakan kita. Kita dapat mengidentifikasi sacred pathway (jalur sakral) kita dan menggunakan praktik yang secara alami masuk ke jalur itu sebagai cara yang lebih mudah untuk terhubung dengan Tuhan. Kita tidak harus hanya memiliki satu jalur, tapi kebanyakan dari kita secara alami akan memiliki kecenderungan tertentu untuk berhubungan dengan Tuhan, yang merupakan temperamen spiritual utama kita.
Dari tiga contoh yang dibagikan diperoleh tiga, bahkan empat, gaya spiritual yang berbeda. Pnt. Nurdin Theofilus, yang merasakan kedekatannya dengan Tuhan ketika mengobrol dengan orang-orang dalam komunitasnya, digolongkan dalam gaya spiritualitas Aktivis (Activist spirituality). Pnt. Sujarwo, yang kedekatannya dengan Tuhan dirasakan ketika ia berkesempatan menolong atau ditolong orang lain, digolongkan dalam gaya spiritualitas Penolong (Caregivers sprituality). Sedang Pnt. Charissa Tobing, yang dulunya merasakan kedekatannya dengan Tuhan ketika berada di alam bebas, digolongkan dalam gaya spiritual Naturalis (Naturalist spiritual). Namun pada saat menghadapi pandemi, manakala ia lebih banyak berada di rumah dan lebih banyak melakukan perenungan untuk merasakan kedekatannya dengan Tuhan, spritualitasnya bergeser menjadi spritualitas Kontemplatif (Contemplatives spirituality).
Experiences Sharing
Menjawab pertanyaan pengantar: Melalui apa Saudara merasa dekat dengan Tuhan? Pada breakout room, para peserta diminta untuk membagikan pengalaman spiritual mereka dengan menjawab pertanyaan pertanyaan: Apakah saudara merasa Tuhan itu dekat dengan Saudara? Apa yang membuat Saudara berpikir demikian? Apakah Tuhan pernah memakai seseorang/sesuatu untuk membuat Saudara tahu bahwa Tuhan itu dekat dengan Saudara? Apa yang dilakukannya?
Dari sharing pernyataan, para peserta pada umumnya merasakan kehadiran Tuhan melalui campur tangan Tuhan pada permasalahan hidup mereka, merasakan kebaikan orang lain dalam berbagai bentuk pernyataan sehingga bisa dihayati sebagai cara Tuhan menyalurkan berkat dan pemeliharaan kepada mereka melalui agen agen yang dipakai Tuhan tersebut. Namun ada juga yang merasakan kedekatan dengan Tuhan manakala berkesempatan menolong orang lain, karena rasa empatinya mengaitkan hakikat permasalahan orang itu dengan permasalahan-permasalahannya sendiri yang telah mendapatkan pertolongan Tuhan. Kesadaran bahwa mereka telah lebih dahulu menerima kebaikan Tuhan melalui pertolongan orang lain, menggerakkan mereka untuk menolong sesama sebagai rasa syukur mereka.
I am Here for You
Seperti halnya kehadiran orang lain bisa membuat kita dekat dengan Tuhan , maka kehadiran kita masing masing bisa juga menjadi sarana bagi orang tertentu untuk merasakan kehadiran Tuhan baginya. Artinya, Tuhan memakai kita menjadi sarana untuk menunjukkan kepada orang tersebut bahwa Tuhan mengasihi dan memeliharanya, entah melalui sikap, perilaku, perbuatan, interaksi, dukungan, maupun pertolongan kita. Jikalau kesadaran itu membuat kita menyediakan diri untuk menjadi sarana kehadiran Tuhan bagi orang lain, maka kita bisa mengatakan: “Aku ada di sini untukmu”. Inilah yang menjadi alasan hingga tema Persekutuan Gabungan ini dianggap agak aneh. Mengapa? Judulnya tidak sempurna memenuhi kaidah berbahasa Inggris: am Here for You. Seolah-olah tak bersubjek. Jika kita punya kesadaran bahwa kehadiran kita dapat menjadi sarana bagi orang lain untuk merasakan kedekatannya dengan Tuhan, maka dalam setiap gerak langkah kita, bukan ke-aku-an lagi yang kita tonjolkan. “Aku” tidak terlalu penting lagi, bahkan tidak diperhitungkan, asalkan kehadiranku benar-benar bisa menghadirkan Tuhan bagi orang lain. I yang tadinya tercetak dengan huruf kapital berwarna hitam tebal, kini tak tampak lagi karena pudar, abu-abu mendekati putih, bahkan tak tampak (meskipun masih tetap ada). Karena itu tema kita hanya tampak sebagai am Here for You, karena I-nya telah mengabur atau tidak menampakkan eksistensi dirinya lagi: (I) am here for You. Inilah pengejawantahan pengakuan manusia akan kebesaran dan kemuliaan Tuhan yang dilayaninya, seperti yang dinyatakan oleh Yohanes Pembaptis dalam Yohanes 3:30: “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil.”•
|SUJARWO
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.