Entah karena menganggap saya sebagai orang yang kurang sabar, kurang optimis, atau kurang gigih, seorang kawan mengirimkan surat elektronik berisi cerita inspiratif yang tak jelas asal usulnya. Nama penulisnya pun tak tercantum. Dan karena tidak bersifat rahasia, tidak membahayakan orang, dan tidak mengandung fitnah, maka saya kutip di bawah ini.
Dalam sebuah kisah Tiongkok dikisahkan, ada seorang pemuda yang hendak belajar kungfu. Datanglah dia pada sebuah perguruan kungfu. Dia menghadap gurunya dan berkata, “Guru, ajarilah saya kungfu!”.
Sang guru menerima dia menjadi murid, namun keesokan harinya sang guru menugaskan dia menjadi seorang juru masak perguruan. Sambil menyerahkan sebuah cerobong kecil yang terbuat dari besi kasar beliau berkata “tugasmu menjadi juru masak dan setiap engkau meniup api dengan cerobong besi ini, tekan dan remas dengan kuat cerobong ini. Aku akan mengajarkan kungfu jika cerobong ini sudah halus dan bayanganku terlihat jelas”.
Bertahun-tahun berlalu. Sang murid mulai tak sabar terus-terusan menjadi juru masak. Setiap tahun dia menanyakan kapan dia belajar kungfu, namun sang guru tetap mengatakan sampai cerobong besi itu halus.
Sampai akhirnya dia menunjukkan cerobong besi yang sudah halus itu pada gurunya. Sang guru tersenyum dan berkata, “Sekaranglah saatnya. Aku akan mengajarkan kepadamu ilmu yang penting, tetapi carikan dulu aku bambu yang paling keras di hutan”.
Maka berangkatlah sang murid ke hutan. Ia meremas setiap bambu yang ditemuinya di hutan itu. Herannya tak satu pun dari bambu-bambu itu yang didapatkannya cukup keras. Sampai sore hari pun dia tak menemukan bambu yang keras di hutan itu. Akhirnya sang murid itu pulang dengan tangan hampa. Dengan kelelahan dia berkata pada gurunya, “Guru, maafkan saya. Saya sudah mencari ke mana-mana, tetapi ternyata tidak ada bambu yang keras di hutan. Besok saya akan pergi ke hutan lain untuk mencarinya”.
Sang guru tersenyum sambil berkata, “Muridku, saat ini engkau telah menguasai dua hal. Yang pertama kesabaran dan yang kedua adalah jurus tangan peremuk tulang. Siapa pun lawanmu, engkau bisa meremukkan tulangnya dalam sekejap. Jadi, saat ini engkau sudah menjadi salah satu pesilat tangguh dan sukar dikalahkan. Namun, bukan cuma itu. Engkau juga telah melatih kesabaranmu yang akan membantumu untuk bisa mempelajari ribuan jurus-jurus lainnya”.
Pertanyaan dari kisah di atas, apakah benar dengan kesabaran kita bisa mencapai tujuan kita? Mari kita samakan persepsi kata sabar terlebih dahulu.
Kesabaran dalam terminologi masyarakat kita banyak disalahartikan. Masyarakat kita banyak mengartikan sabar sebagai diam, tidak membalas, menerima ataupun pasrah. Pengertian ini sangat berlainan dengan arti dalam bahasa Arab. Sabar dalam bahasa Arab diartikan tetap berusaha, tetap berjuang dan tetap berharap. Sabar adalah kombinasi yang harmonis antara rasa syukur, optimisme dan gigih (persistensi). Rasa syukur dapat mengkonversi kondisi terburuk menjadi mempunyai hikmah dan kebaikan. Optimisme adalah kemampuan kita menciptakan harapan. Dan persistensi adalah kesadaran diri untuk tetap bergerak, berusaha dan berjuang. Itulah makna sesungguhnya dari kata “sabar”.
Saya berterima kasih kepada kawan yang mengirimkan cerita di atas dengan cara menuliskan artikel ini untuk dinikmati banyak orang. Sebab cerita sederhana di atas memang mengandung sejumlah pelajaran yang menarik bagi siapa saja yang bersedia belajar. Di tengah masyarakat yang sedang dihalau oleh ajaran-ajaran cepat lulus, cepat kerja, cepat naik jabatan, cepat untung, cepat kaya, cepat langsing, dan serba cepat lainnya, kata “sabar” seolah-olah menjadi kadaluarsa. Orang yang terkesan sabar menjadi aneh dan kurang gaul alias ketinggalan zaman.
Memang, kita hidup pada zaman yang bergegas. Informasi, data, dan berita disebar dengan kecepatan yang tak terbayangkan oleh orangtua kita dulu. Pesan pendek alias SMS bertaburan di angkasa untuk kemudian menyusup ke dalam puluhan juta telepon seluler dalam hitungan detik (di Indonesia jumlah ponsel yang aktif tak kurang dari 60-an juta, dan tiap hari lebih dari 80 juta pesan pendek hilir mudik menembus batas-batas geografis yang dulu menjadi kendala). Belum lagi sebaran informasi, data, dan berita yang dikirim lewat jaringan surat-surat elektronik. Semua perangkat teknologi komunikasi dan informasi itu mendukung laju pertumbuhan budaya instan, serba cepat dan bergegas. Sehingga orang-orang yang masih bersedia untuk “sabar” nampak seperti kawan-kawan dinosaurus.
Masalahnya, dalam satu soal yang amat penting kita ternyata tetap harus bersabar. Dalam soal yang vital ini teknologi tak mampu berbuat banyak. Dan “soal” yang penting tersebut adalah soal membentuk watak alias karakter manusia. Berada di wilayah kebudayaan, watak dan karakter-entah itu yang personal maupun komunal-acapkali kita temukan bersitegang dengan teknologi. Sebagaimana setiap kemajuan tarik menarik dengan apa yang disebut tradisi, demikianlah teknologi yang tak sabaran itu bertikai dengan proses pembangunan karakter yang mempersyaratkan kesabaran sebagai salah satu komponen wajibnya.
Membentuk watak tak bisa secara instan. Membangun karakter tak mungkin dilakukan dalam sekejap mata. Sebab karakter itu merupakan kumpulan dari habitus, semacam insting perilaku yang sudah mendarah daging dan karenanya kenyal tak gampang patah. Apa yang perlahan dibentuk oleh guru kungfu dalam diri pemuda yang mau belajar kepadanya adalah mendahulukan yang utama (first thing first). Yang utama itu adalah watak, karakter, yaitu menjadi orang yang tekun bekerja, gigih berjuang, sabar menanti saatnya. Di atas watak yang demikian ini bisa dibangun kompetensi, keahlian, keterampilan sebagai pendekar peremuk tulang. Keduanya, baik watak maupun kompetensi yang menyertainya, berjalan selaras. Ketekunan bekerja dan kesabaran berproses menjadi jalan menuju lahirnya kompetensi sebagai pendekar peremuk tulang. Sungguh luar biasa!
Tiba-tiba saya menemukan nasihat kawan saya itu. Ia mungkin mengirimkan cerita tersebut agar saya mau belajar untuk menjadi orang yang “cepat sabar”, dan bukan orang yang cepat marah. Apakah benar demikian?
Tabik Mahardika!
Andrias Harefa, Penulis buku terlaris Menjadi Manusia Pembelajar [Kompas, 2000] dan fasilitator www.pembelajar.com
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.