mindset

Mindset

Belum ada komentar 73 Views

Pola pikir. Begitulah penjaga rubrik bahasa harian KOMPAS mengusulkan terjemahan kata mindset kepada saya. Sementara penulis The Science of Success bernama James Arthur Ray menerangkan mindset sebagai jumlah total dari keyakinan, nilai-nilai, identitas, ekspektasi, sikap, kebiasaan, opini, dan pola pikir, tentang diri Anda, orang lain, dan bagaimana hidup berlangsung. Melalui mindset, Anda menafsirkan (memaknai) apa pun yang Anda lihat dan Anda alami dalam hidup. Lalu American Heritage Dictionary menawarkan pengertian mindset sebagai …a fixed mental attitude or disposition that predetermines a person’s responses to and interpretation of situation (suatu sikap mental atau watak yang menentukan respons seseorang dan pemaknaan atas situasi yang dihadapinya).

Jika pola pikir akan menentukan penafsiran kita terhadap situasi hidup dan mendikte respons yang akan kita berikan terhadap situasi yang ada, maka tidakkah ia merupakan sesuatu yang amat sangat penting untuk dipelajari oleh setiap orang? Bukankah pola pikir akan mempengaruhi cara kita menangani nekaragam persoalan kehidupan? Bukankah pola pikir akan menolong kita mendefinisikan mana peluang dan mana ancaman? Bukankah pola pikir akan membuat kita memilih area prioritas hidup? Bukankah pola pikir juga yang mendikte cara kita menanggapi perubahan di lingkungan sekitar? Bukankah pola pikir mendorong kita memilih perilaku tertentu bahkan cara kita memilih dan mengucapkan kata-kata dalam berbagai konteks kehidupan? Pada akhirnya, bukankah pola pikir yang akan menentukan nasib seseorang di kemudian hari?

Kesadaran mengenai pentingnya pemahaman mengenai pola pikir manusia ini membuat saya bertanya-tanya, mengapa ia tidak masuk dalam kurikulum sekolah formal? Mungkin ia memang tidak bersifat mendasar seperti soal membaca-menulis-berhitung yang diajarkan di sekolah dasar. Namun apakah ia tidak cukup penting untuk diajarkan, katakanlah, di tingkat sekolah lanjutan atas, baik untuk jurusan bahasa, sosial, maupun ilmu pasti? Atau apakah pemahaman mengenai aspek-aspek pembentuk pola pikir ini tidak cukup layak untuk dijadikan sebagai mata kuliah dasar umum (MKDU) di universitas, yang wajib diikuti oleh setiap mahasiswa baru? Tidakkah soal pola pikir ini lebih bernilai untuk diajarkan ketimbang penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila versi zaman Orde Baru dulu?

Jika mata pelajaran tentang pola pikir bisa dimasukkan menjadi bagian kurikulum sekolah lanjutan atas, maka kita bisa berharap anak-anak remaja belajar memahami dirinya dengan lebih baik. Sebab, belajar mengenai pola pikir tentu saja tidak mungkin dilepaskan dari keberadaan otak sebagai “mesin pikiran”. Artinya, pelajaran mengenai pola pikir mesti dimulai dengan menegaskan ciri khas manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang memiliki otak. Otak manusia memiliki spesifikasi tertentu yang bisa (dan memang harus) dibedakan dengan otak mahluk non-manusia. Apa keunggulan otak manusia? Kapan otak itu terbentuk? Bagaimana cara kerjanya? Apa yang mungkin menghambat perkembangannya? Apa yang bisa merusak fungsi otak dan bagaimana dampak yang paling mengerikan dari kerusakan otak? Apa hubungan antara otak dengan narkoba dan stroke? Bagaimana otak mempengaruhi kehidupan seksual seseorang? Bagaimana hubungan otak dengan konsep kecerdasan majemuk? Benarkah semua orang terlahir cerdas? Dan seterusnya. Tidakkah mata pelajaran ini akan bisa sangat menarik bagi kaum remaja dan sekaligus memberikan bekal yang luar biasa kepada mereka untuk menyongsong masa depannya?

Pelajaran pola pikir akan membantu kaum remaja untuk menyadari bahwa tiap respons yang diberikannya, dan tiap penafsiran yang digunakannya untuk memahami situasi yang dihadapinya, adalah hasil pembelajaran di masa lalu. Dengan demikian pola pikir dapat diperbaiki atau bahkan diubah secara total. Setiap orang bukan hanya bisa learning, tetapi juga mampu untuk un-learning dan kemudian re-learning. Apa yang sudah dibentuk bisa dihancurkan dan dibentuk ulang dengan cara tertentu, sepanjang diinginkan oleh pemilik pola pikir tersebut.

Seperti halnya kecerdasan, sesungguhnya pola pikir bukan perangkat statis yang permanen. Ia merupakan suatu perangkat yang aktif dan dinamis, jika dimanfaatkan dengan baik. Masalahnya, sebagian besar-80an persen-orang menganggap dan meyakini bahwa pola pikir, khususnya untuk orang dewasa, sudah tidak bisa diubah. Anggapan dan keyakinan inilah yang justru menghalangi proses perubahannya. Anggapan dan keyakinan ini menjadi self fulfilling prophecy.

Jika pola pikir tidak bisa diubah, bagaimana kita menjelaskan fenomena orang yang tadinya baik kemudian menjadi koruptor? Bagaimana kita memahami penjahat besar yang kemudian bertobat di penjara dan menjadi Dai atau Pendeta? Bagaimana kita mengerti orang yang tadinya bersikap anti-poligami, belakangan malah melakukan poligami dengan sukacita? Bagaimana kita memaparkan kenyataan tentang si Polan yang dulu dianggap bodoh dan pernah tak naik kelas, kemudian menjadi doktor manajemen bisnis yang terkemuka? Singkatnya, jika kita beranggapan dan berkeyakinan bahwa pola pikir tidak bisa diubah, maka ada sejumlah kesulitan mendasar untuk bisa mengerti mengapa ada orang-orang mengalami transformasi hidup dan berubah nasibnya secara dramatis. Juga bagaimana kita menjelaskan harapan-harapan kita tentang masa depan yang lebih baik?

Jadi, pola pikir merupakan hasil dari sebuah proses pembelajaran (learning) dan karenanya bisa juga diubah (unlearning), dan dibentuk ulang (relearning). Ada yang mudah dan ada yang sulit diubah, memang. Ada yang bisa cepat, ada yang perlu waktu lama, tentu saja. Ada yang bisa kita ubah dengan kesadaran sendiri, ada yang baru berubah setelah mengalami peristiwa tertentu. Ada pula pola pikir yang bisa kita ubah dengan bantuan terapis, konselor, dan pihak tertentu yang memang kompeten dalam soal ini.

Apakah pertanda dari perubahan pola pikir? Mungkin ini: kita memahami hal yang sama dengan pengertian berbeda; kita menyadari apa yang semula kita benci ternyata justru seharusnya kita kasihi; kita tiba-tiba sadar bahwa apa yang tadinya kita yakini benar ternyata sangatlah keliru; kita melihat diri kita dengan cara yang berbeda dengan sebelumnya; kita melihat pekerjaan kita dengan cara yang berbeda dengan sebelumnya; kita melihat dunia yang sama dengan kaca mata yang berbeda. Pola pikir yang berubah tidak mengubah situasi dan lingkungan di mana kita hidup, melainkan mengubah diri kita sendiri dari dalam.

Pola pikir. Pikiran mempunyai pola. Sungguh luar biasa!

Tabik Mahardika!

Andrias Harefa, Penulis buku terlaris Menjadi Manusia Pembelajar [Kompas, 2000] dan fasilitator www.pembelajar.com

 

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Edukasi
  • THE ART OF LISTENING
    Menjadi pendengar yang baik? Ah, semua juga bisa! Tapi apakah sekadar mendengar bisa disamakan dengan menjadi pendengar yang baik?...
  • To infinity and beyond!
    Saya salah satu penggemar petualangan seru dan epik dari Buzz Lightyear dan Woody, sahabatnya (Film: Toy Story 1995). Buzz...
  • Antara Si Badu & Akhir Tahun
    Antara Si Badu & Akhir Tahun
    Selamat pagi, siang, sore, dan malam. Menjalani setiap hari dengan rutinitas yang sama, sampai tiba saatnya Natal dan Tahun...
  • WOMEN ON FIRE
    Perempuan Warga Kelas Dua Sepertinya dari dulu perempuan cenderung ditempatkan sebagai warga kelas dua dalam status sosial. Hal ini...
  • Doketisme
    Doketisme
    doktrin keilahian yang kebablasan
    Fanatisme Spiritualitas Fanatisme sebuah spiritualitas yang secara berlebihan menekankan hal-hal tertentu dan kurang menganggap penting hal-hal lain, sering kali...