Kisah berikut saya kutip dari tulisan Jalaluddin Rakhmat yang bertajuk Mind Over Matter. Ia menuliskannya sebagai Pengantar dari buku berjudul Provokasi, yang ditulis kawan muda Prasetya M. Brata. Begini ceritanya.
Mr. Wright punya riwayat yang menakjubkan. Tubuhnya sudah dicabik-cabik tumor. Hati dan limpanya bengkak. Paru-parunya dipenuhi cairan. Ia memerlukan masker oksigen untuk pernafasannya. Entah dari mana, Mr. Wright mendengar bahwa dokter yang merawatnya sedang melakukan eksperimen pengobatan kanker dengan krebiozen. Media memberitakan besar-besaran bahwa krebiozen menjanjikan mukjizat untuk menyembuhkan kanker. Ia meminta Dr. Klopfer, yang merawatnya, untuk menginjeksikan krebiozen kepadanya. Walaupun melanggar prosedur, Dr. Klopfer memenuhi permintaan pasiennya. Ketika dokter itu pulang untuk berakhir pekan, ia yakin itulah pertemuannya yang terakhir dengan Mr. Wright.
Saat Senin pagi ia kembali ke rumah sakit, Dr. Klopfer menemukan mukjizat yang pertama. Tumor Mr. Wright mengecil hingga setengah kalinya. Hasilnya menakjubkan, bahkan jika dibandingkan dengan tindakan radiasi sekalipun. “Ya Tuhan, akhirnya kita menemukan peluru perak untuk membunuh kanker,” pikir Dr. Klopfer. Mr. Wright setiap hari disuntik krebiozen. Sepuluh hari kemudian seluruh, sekali lagi, seluruh gejala penyakit tumornya hilang. Ia pulang dalam keadaan sehat walafiat.
Anehnya, efek yang sama tidak terjadi pada pasien selain Mr. Wright. Dua bulan setelah itu, The Food and Drug Administration bahkan melaporkan bahwa krebiozen terbukti tidak efektif untuk pengobatan kanker. Mr. Wright mendengar laporan itu. Ia jatuh sakit lagi dan kembali ke rumah sakit. Keajaiban kedua.
Dr. Klopfer menduga yang menyembuhkan Mr. Wright bukan krebiozen, tetapi pikirannya sendiri, kepercayaannya, keyakinannya. Untuk menguji teorinya, ia menawarkan kepada pasiennya pengobatan yang lebih ampuh, dengan dosis dua kali lipat. Tindakan ini dijamin memberikan hasil yang lebih baik. Mr. Wright setuju. Ia diinjeksi lagi, sebenarnya bukan dengan krebiozen, tetapi dengan air yang steril.
Mr. Wright sembuh lagi secara mengherankan. Tumornya menghilang. Ia hidup normal. Sampai surat kabar sebuah pengumuman dari The American Medical Association: “Penelitian secara nasional menunjukkan bahwa krebiozen tidak ada nilainya untuk pengobatan kanker.” Keajaiban ketiga: ia jatuh sakit lagi, dirawat di rumah sakit, dan meninggal dua hari kemudian.
Jalaluddin Rakhmat mengaku cerita itu bersumber dari buku Born to Believe. Andrew Newberg, salah satu penulis buku itu, adalah seorang ahli radiologi dan psikiatri, sekaligus Direktur The Center for Spirituality and the Mind, Universitas Pennsylvania, Amerika Serikat. Ia juga disebut sebagai ahli kardiologi nuklir, kedokteran nuklir, dan penyakit dalam. Dengan segudang keahlian itu, ia memusatkan perhatiannya pada the biological power of belief, kekuatan kepercayaan yang bisa dijelaskan secara biologis.
Keyakinan, kepercayaan, atau persangkaan-semuanya dalam arti belief-mempengaruhi tubuh manusia. Keyakinan bisa mempengaruhi sistem saraf, sistem pencernaan, sistem imun, dan seluruh sistem tubuh kita. Secara singkat, keyakinan bisa menyembuhkan dan bisa mematikan. “Secara biologis dan neuropsikologis, keyakinan adalah persepsi, kognisi, dan emosi, yang diterima otak, secara sadar atau tidak sadar, sebagai kebenaran,” kata Newberg dan Waldman dalam buku tersebut.
“The human brain is really a believing machine,” kata Jalaluddin Rakhmat. Otak kita berfungsi dengan menyimpan, mengolah, dan menggunakan kepercayaan. Tanpa kepercayaan, kita tidak bisa hidup. Dari segi neuroscience, kata Newberg dan Waldman, eksistensi kita ditentukan oleh karena kita percaya. Bukan Cogito Ergo Sum (aku berpikir, maka aku ada) seperti kata Descartes; tetapi Credo Ergo Sum, (aku percaya, maka aku ada).
Paparan seperti di atas mengingatkan saya pada cerita kawan-kawan calon dokter yang praktik di Puskesmas. Di sejumlah desa, pasien yang datang selalu minta disuntik. Kalau belum disuntik, mereka tidak percaya akan sembuh. Keyakinan mereka, kalau ke dokter mesti disuntik, baru bisa sembuh. Itu sebabnya mereka tidak suka obat. Mereka lebih percaya pada suntikkan. Tidak penting apakah yang disuntik itu serum tertentu atau sekadar air yang steril. Dan kenyataannya, kepercayaan itu banyak membantu pasien sehingga benar-benar sembuh. Agak mirip dengan istri saya. Ia fanatik dengan obat sakit kepala merek tertentu. Kalau ia sakit kepala, ia harus minum obat itu baru sembuh. Kalau ia minum obat merek lain-yang unsur bahan bakunya sama-tetap tidak akan sembuh. Dan pada kenyataannya berulang kali memang demikian.
Kepercayaan kepada dokter yang ahli, kepada jarum suntik, kepada obat tertentu, dan kepada orang atau benda yang dianggap-dipersepsi memiliki otoritas atau “kuasa”, terbukti mempengaruhi tubuh dan tingkat kesehatan kita. Namun lebih dari itu, keyakinan kita terhadap sesuatu juga mempengaruhi pola pikir dan perilaku kita. Seperti seorang kawan yang mengurus perpanjangan KTP-nya di Bekasi belum lama ini. Ia percaya mengurus KTP itu sulit dan berbelit-belit.
Karena itu, ketika masa berlaku KTP-nya habis, ia memilih untuk minta pihak ketiga menguruskannya. Dan untuk itu ia lalu bersedia membayar uang jasa seratus lima puluh ribu rupiah. KTP-nya selesai dalam waktu 3 hari kerja. Tak lama berselang, tetangganya juga memperpanjang KTP. Karena percaya bahwa mengurus perpanjangan KTP itu gampang, sang tetangga mengurusnya sendiri ke kelurahan. Dalam 3 hari kerja, KTP tetangganya selesai dengan biaya tiga puluh ribu rupiah. Kawan saya lalu mengeluh karena ia membayar terlalu mahal. Mengapa ia bersedia membayar mahal? Tentu karena ia percaya “mengurus perpanjangan KTP itu sulit dan berbelit-belit”. Kepercayaannya mempengaruhi sikap dan perilakunya.
Ada banyak perempuan yang saya kenal memilih untuk melahirkan anak-anak mereka secara normal, karena yakin melahirkan itu gampang. Sementara tak kalah banyaknya perempuan yang sangat takut melahirkan secara normal, karena percaya bahwa operasi caesar akan jauh lebih aman dan mudah-walau tak bisa dikatakan murah. Karena saya sendiri tidak pernah melahirkan, maka saya tak tahu mana pendapat yang benar. Namun saya tahu bahwa orang akan kukuh mendukung apa yang diyakininya sebagai kebenaran.
Kepercayaan Mr. Wright terhadap krebiozen, keyakinan orang desa pada jarum suntik, persangkaan kawan saya kalau mengurus KTP itu sulit, dan pilihan ibu hamil untuk melahirkan dengan cara bagaimana, semua menunjukkan ada pola yang khas. Tubuh, sikap, dan pola pikir kita ternyata amat dipengaruhi oleh “sistem percaya” (belief system), yakni seperangkat keyakinan-akan kebenaran-yang mendikte cara berpikir dan tentu saja mengatur perilaku seseorang.
Pola itu mengatakan bahwa kepercayaan mengatur cara berpikir kita. Lalu cara berpikir mengatur perilaku kita. Keyakinan menjadi fondasi yang tersembunyi dibawah bangunan. Cara berpikir menjadi kerangka bangunan yang tersembunyi dibalik dinding dan tiang bangunan. Dan perilaku adalah bangunan yang nampak dari luar, yang dapat diamati mata telanjang. Apa yang nampak ditentukan, diatur, didikte oleh apa yang tak nampak. Keadaan tubuh ditentukan oleh keadaan jiwa dan roh. Sungguh luar biasa!
Andrias Harefa, Penulis 30 Buku Laris dan fasilitator www.pembelajar.com
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.