Bulan Budaya 2009

Bulan Budaya 2009

Belum ada komentar 1370 Views

Minggu Pertama: Cageur, Bener, Pinter

(Kel. 16:2-4, 6-15, Maz. 78:23-29, Ef. 4:1-16, Yoh. 6:25-35)

angklungSeorang laki-laki Sunda berbaju tradisional merah memulai ibadah dengan menembang dalam bahasa Sunda diiringi alunan gending dan suling untuk menyambut pembawa firman Tuhan yang datang: “Sungguh sukacita dan sungguh bahagia, anakku. Selamat datang. Telah kami nantikan kehadiranmu dengan berpayungkan payung kebesaran serta dengan diiringi musik dan tarian, tebaran bunga melati penuh wewangian. Selamat datang, anakku, kami menyambut kedatanganmu.” Kemudian prosesi pendeta dan penatua memasuki ruang kebaktian didahului oleh tiga orang gadis penari, sepasang muda-mudi dengan kelengkapan busana daerah Pasundan, Pdt. Retno Ngapon dari GKP Rehoboth Jatinegara yang dipayungi oleh payung kebesaran, dan diakhiri oleh barisan penatua.

Bagaimana agama Kristen disebarkan di daerah Pasundan?

Mr. F.L. Anthing, seorang Belanda yang bekerja sebagai pegawai pengadilan negeri dipakai Tuhan sebagai pekabar Injil di daerah Banten dan Bogor. Di samping itu, suatu Badan Pekabaran Injil bernama N.Z.V. (Nederlandse Zendings Vereeniging) juga memberitakan Injil di daerah Priangan pada tahun 1850-an. Selama bertahun-tahun sampai awal abad ke-20, kehidupan orang-orang Kristen Sunda sangat berat. Mereka dipencilkan dari kehidupan masyarakatnya dan secara langsung ataupun tidak langsung mendapat tekanan-tekanan dalam kehidupan mereka karena bagi orang Sunda, agama, kebangsaan, hubungan hidup masyarakat dan adat merupakan suatu kesatuan yang kokoh. Pada tanggal 14 November 1934, Gereja Kristen Pasundan bukan lagi diasuh oleh N.Z.V. tetapi menjadi gereja yang berdiri sendiri.

Setelah pembacaan-pembacaan Alkitab dalam bahasa Sunda dan diselingi oleh Mazmur yang diucapkan secara litani, Pdt. Retno Ngapon memulai khotbahnya. Ia memperkenalkan gerejanya, yang sudah lebih dari 140 tahun bernama GKP Rehoboth, menurut nama sumur Ishak yang airnya terus meluap dan tak ada habisnya. Di gerejanya yang merupakan hibah Belanda ini, ada sumur yang sampai sekarang masih jernih airnya dan memberi kelegaan dan luapan kasih bagi masyarakat di sekitarnya.

Dulu wilayah Jawa Barat bukan merupakan lahan yang subur bagi pemberitaan Injil, tetapi sekarang ada 58 jemaat di Gereja Kristen Pasundan. Meskipun tidak banyak, tetapi jumlah itu sangat disyukuri, mengingat dari dulu penolakan itu dapat datang setiap waktu dan masih terjadi sampai sekarang.

Tanah Pasundan tak jauh dari persawahan, oleh karena itu simbol GKP ialah dua buah gunung, matahari, pohon kelapa dan kotak-kotak sawah. Inilah kesederhanaan pola pikir masyarakat pada waktu itu. Matahari melambangkan Yesus, yang menjadi terang dunia.

Nasi bagi penduduk Indonesia atau roti bagi orang Yahudi merupakan sumber pangan yang terutama. Orang-orang berbondong-bondong ikut Yesus karena urusan perut dan dikenyangkan. Tetapi Yesus melihat jauh lebih dalam. Roti bukan merupakan kebutuhan manusia saja, tetapi suatu sacramental awareness, kesadaran sakramental, untuk merayakan perjamuan Tuhan. Itulah sebabnya Yesus bersedia dipecah-pecahkan sebagai Roti Hidup. Dengan makan, kita menjadi sehat dan dapat mengabdi kepada masyarakat.
Sayang, banyak orang tak peduli pada orang lain, karena itu di Efesus, Paulus mengajak jemaat untuk rukun. Bagaimana memulai kerukunan itu?

  1. Rukun Sekasur: kerukunan dimulai dari suami dan istri. Keluarga harus rukun.
  2. Rukun Sesumur: di pedesaan, satu sumur bisa untuk banyak orang. Bila orang tak rukun dengan tetangga, sumurnya dapat diracuni sehingga keluarganya mati. Jadi, kerukunan harus menjadi bagian hidup bersama.
  3. Rukun Selembur: kerukunan dalam wilayah yang lebih luas.

“Cageur, bener, pinter” merupakan harapan setiap orangtua bagi anak-anaknya agar mereka tidak saja sehat fisiknya, pintar akalnya, tetapi juga mempunyai hati yang peka kepada orang lain. Kita jangan menjadi orang Kristen “tomat” (tobat tapi kadang-kadang kumat), tetapi harus berubah oleh pembaharuan diri kita sehingga bisa bersaksi kepada orang lain.

Dalam setiap upacara di Kuningan, orang-orang selalu berebut untuk mendapat sejumput padi. Secara spiritual, makna padi ialah berkat yang mengalir. Karena itu, beberapa tangkai padi digantungkan di dapur, tempat untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan mengingat akan berkat Tuhan. Biasanya kalau anak tak mau makan, maka ibu akan mengatakan bahwa nanti nasinya akan menangis. Ketika sebuah rumah makan waralaba memberi hadiah untuk pembelian paket makanan, seorang anak merengek-rengek kepada ibunya untuk membelikannya. Tetapi sesudah dibeli, anak itu hanya mau mainannya saja dan membuang makanan itu. Ibunya pun ikut membuangnya. Ia tak sadar bahwa yang dibuang itu sangat berharga karena di dalam makanan ada nilai teologis yang besar, yaitu menghancurkan tubuh Kristus!

Bulan Budaya mengajak kita bersyukur atas manna dari surga dan pengampunan-Nya, agar kita dapat menjadi saluran berkat. Kita masing-masing mempunyai talenta untuk digunakan bagi kemuliaan Allah. Terkadang orang berbuat baik tetapi tidak tulus. Peminta-minta yang mendoakan kita hanya berdoa di mulutnya agar diberi uang. Tetapi sebenarnya doa adalah pelayanan yang dapat dilakukan oleh siapa saja. Alm. Pdt. Odeh Suwardi dari GKP pernah bercerita bahwa ia menjadi Kristen karena mendengar orang bernyanyi. Dengan senyuman pun kita dapat membuat orang merasa senang. Oleh karena itu, marilah kita bersyukur kepada Tuhan atas segala karunia-Nya.

Di dalam kedua ibadah pagi, PS. Halleluya menyanyikan lagu “Yesusku, Tuhanku” dan “Ya Penuntun Yang di Surga” dalam langgam Sunda dengan diiringi karawitan dari GKP Tangerang, sedangkan PS. Gereja Kristen Pasundan melayani pada ibadah sore. Seusai ibadah kedua, jemaat dihibur oleh karawitan GKP Tangerang sambil beramah-tamah dan membeli makanan kecil yang telah disediakan oleh panitia. (ib)

[nggallery id=17]

Minggu Kedua: Makanlah, Perjalananmu Masih Jauh…

(1 Raja-Raja 19:4-8, Maz. 130, Ef. 4:25-5:2, Yoh 6:41-51)

sangiheDaun-daun kelapa di sana-sini, setumpuk buah kelapa, hiasan-hiasan ikan dan kapal kecil berwarna emas, serta kain-kain tenun tradisional menghiasi mimbar dan gedung gereja yang menampilkan budaya Sangihe Talaud pada hari Minggu kedua bulan Agustus ini. Sebuah papan yang menggambarkan kehidupan suku bangsa tersebut menghiasi bagian kanan mimbar dan dari atas balkon menjuntai kain-kain polos berwarna putih, biru muda dan biru tua, yang merupakan warna-warni laut yang akrab dengan kehidupan penduduk di sana.

Sangihe adalah kabupaten paling utara bersama Talaud di Sulawesi Utara. Negeri yang disebut sebagai Tanah di Bibir Pasifik ini memiliki penduduk terbanyak sebagai nelayan. Selain berada langsung di bawah gunung berapi yang masih aktif, daerah ini juga memiliki obyek wisata gunung berapi bawah laut di Pulau Mahandetang.

Sangihe berasal dari kata Sang dan Ihe, yang berarti Sang Air. Kabupaten Kepulauan Sangihe memiliki luas 11.863,58 km2 terdiri atas lautan (11.126,61 km2) dan daratan (736,97 km2). Dengan ibukota yan berkedudukan di Tahuna, Kepulauan Sagihe memiliki 105 pulau; 79 pulau di antaranya tidak berpenghuni.

Gereja Masehi Sangihe Talaud (GMIST) adalah gereja terbesar dan terbanyak di Sangihe ini. Jemaatnya berjumlah 333 dan tersebar di Kabupaten Sangihe, Kabupaten Siau dan Tagulandang (yang keduanya berada di provisi Sulawesi Utara), Filipina, Makassar, Batam, Medan, Surabaya, Depok, Tangerang dan Jakarta.

Ibadah terselenggara dalam kerja sama dengan GMIST Resor Indonesia Barat, yang pusat pelayanannya berada di Jakarta.
Ucapan Selamat Datang disampaikan oleh warga Sangihe Talaud dari GMIST sementara sayup-sayup terdengar suara tabuhan gendang. Kemudian prosesi pendeta dan penatua memasuki ruang ibadah dengan diawali oleh Tari Gunde, yang ditarikan oleh lima gadis berpakaian adat dengan diiringi oleh irama gendang.

Dalam khotbahnya yang khas dan diramu dengan gaya teatrikal yang menarik, Pdt. Glorius Bawengan mengatakan bahwa roti, yang di dalam versi King James disebut “bread”, juga berarti “breath” atau napas. Jadi ketika Yesus mengatakan “Akulah Roti Hidup,” Ia juga mengatakan “Akulah Napas Hidup.” Dalam bahasa aslinya, “roti” berarti “happiness, kegembiraan atau sukacita.” Jadi, kalau kita mempunyai Kristus di dalam hati kita, kita tentu punya sukacita.

Sebuah penelitian menyebutkan bahwa 30-50% kehidupan sehari-hari anak-anak dijalani dengan tertawa. Mereka bersukacita sepanjang waktu. Tetapi orang dewasa hanya 10% tertawa karena sudah terlalu banyak stres. Padahal sabda Yesus di bukit dimulai dengan perkataan “Berbahagialah.” Karena itu, wajah yang tersenyum menujukkan bahwa kita berbahagia.

Di dalam Yoh. 6:41-51, Yesus berkata bahwa Ia adalah Roti Hidup yang turun dari surga untuk mendatangi umat manusia. Banyak orang mendatangi Tuhan dengan harapan untuk mendapat surga. Tetapi Kekristenan berbeda. Agama Kristen justru mengajarkan bahwa Tuhan-lah yang mendatangi manusia. Ia datang untuk memberikan damai sejahtera kepada kita. Dengan cara itu, seharusnyalah yang tua mendatangi yang muda, dan pendeta mendatangi jemaatnya.

Ada kisah tentang seorang perempuan Batak, Boru Siahaan, yang mendengar bahwa kakak perempuannya meninggal di Sumatra. Di dalam tradisi Batak, orang yang berduka akan menangisi jenazah sambil berbicara kepadanya. Di tengah-tengah tangisannya, perempuan itu baru menyadari bahwa jenazah yang ditangisinya ternyata bukan kakaknya. Ia salah datang ke rumah orang lain! Kisah itu mengajar kita untuk berhati-hati agar tidak salah datang. Datanglah kepada Kristus yang mengampuni orang berdosa  dan menguatkan orang yang lemah dan putus asa.

Hanya orang yang bersukacita yang tahu bahwa Tuhan sudah mendatanginya. Di tengah-tengah khotbah, seorang warga Sangihe-Talaud berdiri untuk membacakan sebuah puisi tentang kehidupan saat ini yang sarat dengan masalah dan ketidakadilan, namun kita dapat mengatasinya bersama Kristus. Kemudian Pdt. Glorius mengajak jemaat menyanyikan lagu “Liku-liku dengan sayap-Mu… Di saat badai bergelora, Tuhan tetap bersamaku…”

Setelah itu dilakukan upacara pemotongan kue “Potong Tamo” yang didahului puisi dalam bahasa setempat. Potongan-potongan kue itu lalu dibagikan kepada beberapa wakil jemaat dan penatua sebagai simbol budaya Sangir yang percaya bahwa Roti Hidup yang dibagikan Tuhan kepada kita akan selalu memelihara hidup kita. Kalau ada Roti Hidup, pasti Tuhan akan membuka jalan.

Pada akhirnya, Pdt. Glorius mengajak jemaat untuk meyakini bahwa Kristus adalah Roti Hidup, sehingga hidup kita harus penuh sukacita. Dengan gaya khasnya, ia berkelakar: “Saya Glorius Bawengan. Jangan ubah remote control Saudara karena kami akan datang kembali. Waspadalah!”

Persembahan jemaat diantar ke altar dengan didahului oleh Masamper, yaitu sekelompok pria yang menari-nari sambil menyanyikan lagu-lagu pujian yang merdu. Masamper ini juga dilakukan seusai kebaktian di plasa gereja untuk berbagi sukacita dengan jemaat.

Pada ibadah ini, PS Wilayah Lebak Bulus menyanyikan dua lagu dalam bahasa daerah, “Sulimang Mawu Ruata” dan “Dalo Su Mawu Ruata.” (ib)

[nggallery id=19]

Minggu Ketiga: Diberi Hidup untuk Memberi Hidup

(1 Raja-Raja 2:10-12, 3:3-14, Maz. 34:9-14, Ef. 5:15-20, Yoh.6:51-58)

dayakKibaran bentangan-bentangan dengan motif seni khas Dayak berwarna biru terang, merah muda dan kuning di plasa gereja; kain-kain dekoratif yang menghiasi dinding balkon; beledu hijau, merah atau hitam yang bersulamkan pohon kehidupan dari benang emas yang membalut beberapa pilar di dalam ruang gereja dan di dekat mimbar; dan sebuah plakat besar dengan kutipan ayat Yoh 3:16 dalam bahasa setempat, menciptakan suasana penuh kehangatan pada kebaktian Minggu ketiga bulan Agustus ini yang menampilkan budaya Dayak.

Pasangan-pasangan penerima tamu dalam busana adat merah atau hitam dengan sulaman payet keemasan menyambut jemaat dengan ramah di setiap pintu masuk, begitu pula para majelis, pembaca Alkitab dan anggota paduan suara terlihat ceria dalam busana Dayak yang indah. Kebaktian hari ini dilaksanakan dengan kerja sama erat dengan jemaat Gereja Kalimantan Evangelis (GKE) yang berada di Jakarta.

Setelah Ucapan Selamat Datang dalam bahasa Dayak Ngaju, yang merupakan salah satu suku di Kalimantan di samping suku Maanyan, Ot Danun, Kahayan, dan banyak lagi lainnya, diceritakan dengan singkat perjalanan pekabaran Injil di Kalimantan.

Pada awal Injil diberitakan, suku Dayak hidup terpencil dan tertutup terhadap hal-hal yang baru. Usaha zending di Kalimantan telah dimulai agak dini, yaitu ketika seorang zendeling diutus ke pulau tersebut pada tahun 1835.
Baptisan pertama berlangsung pada tanggal 10 April 1839 dan yang kedua pada bulan Oktober 1842. Setelah itu masyarakat Dayak menyatakan perang kepada orang-orang Kristen.

Pada tahun 1859 seluruh usaha zending di Kalimantan Selatan hancur karena pecah perang Hidayat. Selama 75 tahun sesudah perang, pekabaran Injil tidak menunjukkan kemajuan. Namun pada tahun 1930-an, kemandirian orang-orang Kristen Dayak terwujud dengan pendirian Gereja Dayak Evangelis pada tanggal 4 April 1935. Meskipun perkembangan pekabaran Injil tidak seperti yang diharapkan, namun Tuhan tetap memelihara umat-Nya dengan setia.

Saat ini gereja tersebut, yang sudah berganti nama menjadi Gereja Kalimantan Evangelis dan berkantor pusat di Banjarmasin, telah mempunyai jemaat di seluruh bagian Kalimantan, kecuali Kalimantan Utara yang bukan merupakan wilayah Indonesia. Di Jakarta, anggota-anggota jemaat ini beribadah di gereja-gereja terdekat di lingkungan rumah mereka masing-masing, tetapi sekurang-kurangnya sekali sebulan tetap mengadakan persekutuan untuk mempererat persatuan di antara mereka.

Prosesi pendeta dan penatua kemudian memasuki ruang kebaktian dengan didahului oleh tiga gadis yang menarikan Tari Bahalai dengan gemulai, diiringi oleh denting kenong yang nyaring dan tabuhan gendang.

Dalam khotbahnya, Pdt. Keloso dari Gereja Kalimantan Evangelis yang khusus datang ke Jakarta, menanyakan kepada jemaat apa yang dicari di dalam ibadah ini. Ia lalu mengajak jemaat menyanyikan sebuah lagu anak-anak Sekolah Minggu yang sangat populer: “Apa yang dicari orang. Uang. Apa yang dicari orang. Uang. Apa yang yang dicari orang, siang-malam, pagi petang. Uang, uang, uang, bukan Tuhan Yesus.”

Dunia masa kini serba diukur dengan uang, dan biasanya penghargaan juga diberikan berdasarkan nilai uang. Namun ada hal-hal yang tak dapat dibayar dengan uang. Pada tahun 2003, ketika Bpk. Fridolen Ukur terbaring sakit di RS Cikini, istri Pdt. Sularso Sopater juga dirawat di sana karena gagal ginjal. Ia harus menerima semacam cairan yang dimasukkan ke dalam tubuhnya dan dikeluarkan kembali empat jam kemudian. Hal ini terus-menerus begitu, padahal biaya untuk setiap kali cuci darah itu mencapai Rp. 600.000,- Dalam 24 jam, biaya yang dikeluarkan enam kali jumlah tersebut. Bayangkan betapa besarnya biaya dalam sebulan, apalagi setahun! Seandainya kita harus cuci darah selama 20 tahun, nilai uangnya sudah milyaran, apalagi kalau sudah berusia lanjut. Pernahkah kita menghitung harga ginjal di tubuh kita? Tak ternilai harganya! Tetapi Tuhan memberikannya dengan gratis, seperti juga seluruh organ tubuh kita lainnya.

Dalam Perjanjian Lama, hidup Salomo tak kekurangan apapun juga. Tetapi semua kesenangan duniawi itu tak dapat memuaskannya. Ia lalu meminta kepada Tuhan agar memberinya pengertian yang bukan disediakan oleh dunia. Tuhan mengabulkannya. Salomo bahkan juga dikaruniai dengan hikmat, kekayaan, kemuliaan dan umur yang panjang. Memang uang, harta benda, dan kesenangan duniawi membangkitkan selera manusia untuk memuaskan diri dengan keinginan-keinginan baru yang lebih besar lagi. Ia lupa bahwa Tuhan tiba-tiba dapat memanggilnya pulang, sehingga ia harus meninggalkan semua yang selama ini terus dikejarnya.

Injil Yohanes mengajarkan kita bagaimana kita harus memaknai hidup dengan menerima hidup itu dan membagikannya kepada orang lain. Yesus dengan tegas mengatakan agar kita memakan tubuh-Nya dan meminum darah-Nya. Perkataan Yesus ini mudah dimengerti oleh suku Dayak. Dalam tradisi perang mereka, yang masih berulang kembali dalam peristiwa Sambas (1997) dan Sampit (2001), musuh harus dipenggal kepalanya agar tak mungkin hidup lagi. Darahnya juga harus diminum dan rongga perutnya dibelah untuk diambil hatinya, karena hati dipercayai adalah roh orang tersebut, sehingga harus dihilangkan.

Tetapi perkataan Yesus sebenarnya dimaksudkan agar dengan menerima-Nya, semua gerak-gerik kita merupakan peragaan Yesus yang ada di dalam diri kita. Apabila raja-raja dunia berusaha untuk menguasai dan merampas segala sesuatu untuk dijadikan milik mereka, Yesus justru menanggalkan diri dan menyerahkan nyawa-Nya untuk dimakan, diminum dan dikorbankan bagi orang lain. Dengan demikian, setiap orang yang menerima Yesus, menjadi sesuatu yang berharga, yang dapat membagikan hidupnya kepada orang lain. Tak ada yang bisa mengatakan bahwa ia tak mampu apa-apa, karena semua diberi-Nya talenta, dan gereja membutuhkan talenta-talenta itu. Kita hanya ditantang untuk memberikan talenta-talenta itu bagi kemuliaan nama-Nya.

Mungkin kita akan menghadapi kekecewaan dan benturan sehingga kita memutuskan untuk berhenti membagikan kehidupan kita kepada orang lain. Tetapi kalau ada Yesus di dalam diri kita, hidup kita akan terus dinamis, terus bergerak. Belajarlah dari Yosafat. Di dalam 2 Tawarikh 17:12 disebutkan bahwa “Yosafat makin lama makin kuat, menjadi luar biasa kuat.” Marilah kita mengganti nama Yosafat itu dengan nama kita sendiri, dan menjadi berkat bagi orang lain.

Dalam ibadah ini, Paduan Suara GKE dan Paduan Suara Pondok Indah bersama-sama menyanyikan lagu-lagu “Rajangku, O Tuhan Yesus” (Rajaku, O Tuhan Yesus), “Yesus Pandogop Ije Hai” (Yesus Penolong Yang Besar) dan. “Bagai Bumi Tersiram Hujan”.

Seusai kebaktian, dijual pernak-pernik Dayak di plasa gereja.

[nggallery id=16]

Minggu Keempat: Hidup Sebagai Pilihan

(Yos. 24:1-2, 14-18; Maz. 34:16-23; Ef. 6:10-20; Yoh. 6:56-69)

niasBegitu melangkahkan kaki memasuki gereja pada hari Minggu keempat bulan Agustus ini, jemaat disambut dengan penuh keramahan oleh pasangan-pasangan berbusana Nias yang berdiri di pintu-pintu masuk. Paduan warna merah, hitam dan kuning tua yang mendominasi seluruh busana yang dipakai oleh para penerima tamu, penatua dan anggota paduan suara, juga tampil dalam hiasan-hiasan kain yang membalut pilar-pilar gereja dan meja di depan mimbar.

Untuk memulai kebaktian, warga Nias memainkan lagu “He Yesu Aine Tolo N’dra’o” secara instrumental. Setelah itu, ucapan Selamat Datang disampaikan oleh Bapak Binahati Baeha, Bupati Gunung Sitoli, dan disusul dengan pujian “Kendati hidupku Tent’ram” oleh Sdri. Devina, dan tayangan tentang Pulau Nias.

Pulau Nias, atau “Tano Niha” adalah pulau terbesar di Kepulauan Nias yang berjumlah 131 pulau. Daerah dengan luas wilayah 5.625 km2 ini berpenduduk 700.000 jiwa. Obyek wisata penting di sana ialah selancar (surfing), rumah tradisional, penyelaman, dan lompat batu.

Suku Nias memiliki budaya, bahasa dan adat-istiadat yang khas, sehingga memperkaya khazanah budaya di tanah air kita. Nias merupakan daerah yang tertinggal di Indonesia. Pendapatan per kapitanya sekitar 3,5 juta rupiah.

Injil pertama kali dibawa oleh E. Ludwig Denniger dari Jerman ke Nias ketika ia mendarat di sana pada tanggal 27 September 1865, dan mulai bertumbuh dan berkembang pada tahun 1916, ketika terjadi pertobatan massal (fangesa dõdõ sebua) yang terus berlangsung sampai tahun 1930 di seluruh wilayah Nias. BNKP (Banua Nima Keriso Protestan), yang berkantor pusat di Gunung Sitoli, merupakan organisasi gereja Protestan yang tertua dan terbesar di Pulau Nias. Total warga jemaatnya mencapai 356.776 orang, dan tersebar sampai ke Sumatra dan Jawa.

Prosesi pendeta dan penatua kemudian memasuki ruang kebaktian diawali dengan empat gadis Nias yang membawakan tari Moyo (elang). Pdt. Djusianto, dari GKI Residen Sudirman, Surabaya, yang menyampaikan firman Tuhan dalam rangka pertukaran Pelayan Firman Sinode GKI, mengenakan jubah kerajaan berwarna kuning dengan motif merah tua di sekeliling lehernya dan dilengkapi dengan mahkota tinggi berwarna keemasan.

Memulai khotbahnya, Pdt. Djusianto mengatakan bahwa setiap orang dapat memilih. Misalnya, kita dapat memilih untuk datang tepat waktu ke kebaktian, atau lebih suka terlambat datang. Seorang pemuda dapat memilih untuk gonta-ganti pacar atau setia pada satu orang saja. Tetapi ada juga hal-hal yang tak dapat dipilih, seperti kelahiran. Orang tak dapat memilih tempat kelahirannya, atau orangtuanya, atau sukunya. Semua itu, mau tak mau, harus diterimanya.

Ketika Yosua mengumpulkan bangsa Israel di Sikhem, ia mengingatkan mereka bahwa Tuhan sudah memimpin mereka keluar Mesir dan menyertai perjalanan mereka di gurun selama 40 tahun. Kemudian ia memberi mereka kebebasan untuk memilih Tuhan yang akan mereka sembah. Namun sebelumnya, Yosua menegaskan bahwa ia dan seluruh keluarganya akan beribadah kepada Tuhan. Pilihan Yosua ini memengaruhi seluruh bangsa Israel, sehingga akhirnya semua memutuskan untuk mengikut Tuhan.

Di dalam Yohanes 6, kita dapat membaca bahwa Yesus melontarkan kata-kata keras kepada para pengikut-Nya yang sangat banyak. Ketika mereka melihat mukjizat-mukjizat-Nya dan dikenyangkan secara materi oleh roti dan ikan, mereka semua mengikuti-Nya. Tetapi ketika Yesus mengatakan bahwa hanya orang yang makan daging-Nya dan minum darah-Nya yang akan mempunyai hidup kekal, banyak di antara mereka tersinggung dan mengundurkan diri (ayat 66). Mereka menolak ketika Yesus mengungkapkan jati diri-Nya.

Begitu juga jemaat Efesus. Mereka sudah lama mengenal Yesus, tetapi sebagian masih tetap mempertahankan pola lama mereka dan menikmati kehidupan dalam dosa. Karena itu Paulus mengingatkan siapa lawan kita. Sering kali orang menjadi lemah karena merasa tidak punya lawan, seperti olahragawan yang lemah karena tidak punya sparing partner. Tetapi Paulus berkata bahwa lawan kita yang tersembunyi itu adalah kuasa kegelapan dan tipu daya Iblis. Karena itu kita perlu memakai seluruh perlengkapan senjata Allah untuk melawannya.

Tipu muslihat Iblis sering kali tidak terlihat dari luar, karena berada jauh di dalam hati manusia, seperti iri hati dan dendam. Seorang Kristen dapat menghajar pembantunya setiap hari, tetapi begitu tiba hari Minggu, dengan tenang ia pergi ke gereja untuk mengikuti kebaktian. Ia lupa pada perbuatan-perbuatannya yang jahat dan kejam. Ada kuasa-kuasa jahat yang memengaruhinya sehingga ia terus memikirkan hal-hal yang jahat. Karena itu kita mesti hidup dalam kebenaran dan keadilan Allah. Kita pun harus mau memberitakan Injil kepada orang-orang yang dikuasai kegelapan, agar mereka dapat berubah dan masuk ke dalam kehidupan yang diterangi oleh firman Tuhan.

Bagaimana kita hidup di dalam terang?

Pertama-tama, kita harus selalu dikuasai oleh Roh Kudus. Pada awal pemerintahannya, Salomo dengan rendah hati meminta hati yang bijaksana kepada Tuhan. Tetapi ia tidak selamanya dikuasai oleh Roh Allah. Ketika ia tidak waspada, ia jatuh ke dalam kesombongan. Allah menghukumnya dengan memecah kerajaannya menjadi dua setelah kematiannya.

Kita juga harus mempunyai kehidupan doa yang baik. Berapa banyak kita berdoa kepada Tuhan dan membaca firman Tuhan setiap hari? Ada banyak tawaran yang membuat kita menjauh dari Tuhan, seperti menonton sinetron atau mementingkan hobi, sehingga kita lupa untuk berdoa dan melalaikan tugas-tugas lainnya. Karena itu kita perlu berdoa agar tidak jatuh ke dalam dosa. Kita harus menjaga kekudusan kita, dan memakai seluruh perlengkapan senjata Allah agar kita dapat menjadi berkat bagi banyak orang.

Dalam kebaktian ini, PS. BNKP Tangerang mempersembahkan dua lagu dalam bahasa Nias, dan PS Agape dari Bintaro menyanyikan lagu “He Jesu, Chou U’Andro (KJ. 309) dan Halöwöma, Halöwöma (KJ 341).

Tarian “Sekapur Sirih” yang ditarikan dengan indah oleh enam gadis Nias mengisi waktu selama kantong persembahan diedarkan kepada jemaat.

[nggallery id=18]

Bhinneka Tunggal Ika

(Kid. 2:8-13; Maz. 45:1-5, 6-9; Yak. 1:17-27; Mrk. 7:1-8, 14-15, 21-23)

garudaPenutupan Bulan Budaya pada Minggu kelima bulan Agustus ini
dirayakan dengan penuh syukur oleh seluruh jemaat GKI Pondok Indah. Nuansa merah-putih dari rangkaian bunga di meja dan bendera-bendera yang berjajar di kanan-kiri mimbar, berpadu serasi dengan berbagai tenunan indah di Nusantara, sementara beberapa kain merah dan putih menyembul dari atas balkon.

Kemeriahan juga terlihat dari banyaknya anggota jemaat yang berpartisipasi dengan mengenakan busana daerah, sehingga mata dimanjakan oleh corak dan warna yang begitu kaya dan beraneka ragam.

Ibadah diawali oleh Paduan Suara Gabungan (PS. Halleluya dan PS. Gracia dari GKI PI serta PS. Gita Paramita dari GKJ Nehemia) yang menyanyikan lagu “Indonesia Tanah Pusaka” karya Ismail Marzuki, kemudian prosesi para pengibar bendera, barisan muda-mudi dan para wakil keempat budaya yang tampil pada tahun ini memasuki gedung gereja, disusul oleh para wakil Kombas, pendeta dan para penatua.

Setelah pengukuhan ibadah, Paduan Suara Gabungan dengan riang menyanyikan “Gema Nusantara” yang merupakan rangkaian dari berbagai lagu daerah yang terkenal di Indonesia, dan diakhiri dengan lagu “Kebyar, Kebyar” karya Gombloh. Sdr. Barry Likumahua dan Sdr. Albert Fakdawer juga melantunkan beberapa lagu di dalam ibadah ini.

Dalam khotbahnya, Pdt. Marfan Risakahu Tahamata dari GKI Ciledug Raya mengingatkan betapa unik dan luar biasa keragaman yang ada di tanah air kita. Selain memiliki 17 ribu pulau dan lebih dari 300 bahasa daerah, Indonesia juga dpersatukan dalam suatu ikatan yang kokoh, yaitu Bhinneka Tunggal Ika.

Dunia mencatat bahwa negara India pecah karena perbedaan agama, sehingga terbentuklah negara Pakistan. Pakistan pun pecah karena alasan kesukuan, sehingga terbentuklah negara Bangladesh. Korea juga tidak ketinggalan. Perbedaan ideologi memecahkan negara tersebut menjadi dua. Namun, meskipun ada orang-orang yang tidak suka kepada Bhinneka Tunggal Ika, sampai sekarang Indonesia tetap bersatu. Bapak TB. Simatupang, dalam perjalanannya melintas garis katulistiwa pernah berujar: “Sungguh suatu mukjizat bahwa Indonesia tetap bersatu, bahwa Bhinneka Tunggal Ika tetap mempersatukan kita.”

Di dalam Kidung Agung, kita dapat melihat betapa indahnya cinta bersemi ketika seorang mempelai mengajak kekasihnya untuk bersatu padu dalam kasih yang meluap-luap. Masihkah ada cinta yang bersemi di Indonesia? Masihkah kita mengekang lidah kita -seperti yang dikatakan oleh Yakub- sehingga setiap kata dan ungkapan kita menjadi berkat bagi setiap orang?

Cinta dapat bersemi karena hawa nafsu atau eros. Cinta dapat bersemi supaya orang kembali memperoleh kasih (kasih yang timbal-balik). Namun cinta dapat juga bersemi meskipun ada perbedaan. Cinta “meskipun” ini selalu mengucapkan kata-kata berkat.

Yesus diprotes oleh orang-orang Farisi dan para ahli Taurat ketika mereka melihat bahwa murid-murid-Nya tidak mencuci tangan sebelum makan. Pada waktu itu, mencuci tangan dilakukan dengan tangan terkepal yang dikucuri air. Makan tanpa mencuci tangan terlebih dahulu dianggap sebagai pelanggaran hukum adat. Tetapi Yesus tidak melihatnya demikian. Ia mengutamakan apa yang ada di dalam hati orang (Mrk. 7:15 dan 21), karena segala pikiran, baik atau jahat, timbul dari dalam hati. Hati orang, siapa yang mau tahu?

Tetapi Tuhan mengetahui seluruh isi hati kita. Kalau kasih “meskipun” menguasai hati kita, kita akan dapat memelihara Bhinneka Tunggal Ika. Masihkah kita mencintai negara kita?
Menutup khotbahnya, Pdt. Marfan mengajak kita untuk bersama-sama menghargai perbedaan-perbedaan yang ada di antara kita di dalam kasih yang bersemi. Apapun perbedaan kita, kita harus saling mengasihi dan mengucapkan kata-kata berkat. Kita juga harus bersyukur karena boleh hadir di bumi Indonesia kita yang tercinta ini.

Pada kesempatan indah ini, GKI PI menyerahkan bantuan kepada keempat gereja yang telah ikut serta dalam Bulan Budaya tahun ini: Gereja Kristen Pasundan (GKP) Tangerang, Gereja Masehi Injili Sangir-Talaud (GMIST), Gereja Kalimantan Evangelis (Dayak) dan Banua Nika Keriso Protestan (BNKP) Karawaci.

Semoga berkat Tuhan pada akhir ibadah ini menjadi kekuatan bagi kita semua:

Kiranya engkau bertumbuh lebat
bagai pepohonan di bumi Pasundan.
Kiranya karyamu terus bergejolak
bagai ombak yang mengepung kepulauan Sangihe-Talaud.
Kiranya semangat hidupmu menggema indah
bagai suara merdu musik Sampe Dayak.
Kiranya persahabatanmu dengan sesama makin meriah dan akrab
bagai tarian Maena Nias.
Kiranya Allah–Bapa, Anak dan Roh Kudus memperindah sukacita dan kegembiraanmu.

[nggallery id=20]

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Antar Kita
  • WEEKEND PASUTRI
    WEP adalah singkatan dari Weekend Pasangan Suami Istri, suatu program belajar bersama selama 3 hari 2 malam untuk pasangan...
  • GKI ORCHESTRA: Kidung Pengharapan
    Sekilas tentang GKI Orchestra GKI Orchestra merupakan ruang bagi remaja-pemuda dari seluruh GKI untuk memberikan talenta dan kerinduannya dalam...
  • Mata Air Kasih-Nya
    Yesus adalah Raja, ya benar, tetapi Ia berbeda dari raja yang lain. Sebuah Kerajaan, memiliki bendera, apapun modelnya, bahkan...
  • BELAJAR MELAYANI SEDARI KECIL
    Ibadah Anak/Sekolah Minggu sudah selesai, tapi masih banyak Adik adik Sekolah Minggu yang belum beranjak meninggalkan sekolah Tirta Marta...