Sejak pencanangan Gerakan Literasi Nasional oleh Presiden Jokowi pada tanggal 17 Mei 2017, forum-forum diskusi perbukuan dan berbagai kegiatan literasi yang diadakan oleh para pegiat literasi serta pelaku industri perbukuan, mulai menggeliat kembali. Mereka kembali bersemangat setelah sekian lama tidak merasakan keberpihakan berbagai kalangan masyarakat—termasuk pemerintah—pada gerakan-gerakan literasi.
Secara umum, “literasi” didefinisikan sebagai kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara dan berhitung. Namun, ternyata hal ini juga mencakup kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan dalam menumbuhkan kecakapan hidup dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat. (rangkuman penulis dari beberapa definisi kata “literasi” yang berasal dari KBBI, National Institute for Literacy, Education Development Center (EDC) dan UNESCO).
UNESCO menyebutkan bahwa literasi bersifat “multiple effect” atau dapat memberikan efek berganda untuk ranah yang sangat luas, karena kemampuan tersebut dapat membantu memberantas kemiskinan, memperkecil kesenjangan hidup, mengurangi angka kematian anak dan pertumbuhan penduduk, menjamin pembangunan berkelanjutan, menekan angka pengangguran, serta mewujudkan perdamaian.
Seiring dengan perkembangannya, selain literasi dasar (basic literacy), yaitu baca-tulis dan berhitung, terdapat berbagai macam literasi, antara lain: literasi informasi (information literacy), literasi media (media literacy), literasi teknologi (technology literacy), literasi finansial (finansial literacy), literasi informasi (information literacy), bahkan literasi moral (moral literacy). Hal ini menggambarkan bahwa memang literasi merupakan “keajaiban” yang mampu membuka pintu cakrawala pengetahuan. Karena itu kemampuan literasi yang mumpuni sangat penting dimiliki oleh suatu bangsa.
Literasi di Indonesia
Menurut hasil survei UNESCO tahun 2012, dari total 61 negara, Indonesia berada di peringkat 60 dengan tingkat literasi rendah. Peringkat 59 diisi oleh Thailand dan peringkat terakhir diisi oleh Botswana. Sedangkan Finlandia menduduki peringkat pertama, hampir mencapai 100%.
Hasil survei ini sungguh mengkhawatirkan. Rendahnya kemampuan literasi di Indonesia merupakan masalah mendasar yang berdampak sangat luas terhadap upaya kita untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menanggulangi kemiskinan, mengatasi pengangguran, dan mengikis kesenjangan sosial.
Oleh karena itu masalah ini harus segera diatasi, bukan hanya bagaimana agar Indonesia bebas dari buta aksara, melainkan juga—yang lebih penting—bagaimana kita, sebagai bangsa yang besar, dapat menunjukkan kemampuan berkolaborasi, berpikir kritis, kreatif, komunikatif sehingga dapat memenangi persaingan global, yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan bangsa.
Sebelum menetapkan langkah-langkah untuk mengatasinya, perlu dipahami terlebih dahulu bahwa terdapat sedikitnya 5 faktor utama penyebab rendahnya minat baca masyarakat Indonesia, yaitu:
1. Membaca masih dianggap sebagai aktivitas yang kurang ekonomis. Memenuhi kebutuhan hidup dipandang jauh lebih penting dibandingkan dengan membaca. Sebagai gambaran kasar, untuk mendapatkan 1 (satu) buah buku bacaan anak yang layak, orangtua harus merogoh kocek berkisar Rp 40.000 hingga Rp 60.000. Nilai ini mungkin dirasakan lebih berguna untuk mencukupi kebutuhan pangan suatu keluarga dalam sehari (di Jakarta). Belum lagi toko-toko buku yang menjual buku bacaan yang baik dan layak, hanya ada di kota-kota besar.
2. Belum adanya kebiasaan membaca yang ditanamkan sejak dini di tengah keluarga. Membaca sering kali dianggap sebagai hobi dan bukan sebagai kewajiban, sehingga orang masih menyepelekannya. Bahkan di sekolah-sekolah, membaca belum dijadikan suatu kewajiban. Sebagai gambaran, menurut Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS), sampai tahun 2015 pembaca surat kabar hanya 13,1%, sementara penonton televisi mencapai 91,5%. Apalagi dengan era gadget saat ini.
3. Minimnya kualitas sarana pendidikan. Sudah menjadi fakta bahwa kita masih melihat banyak anak yang putus sekolah, sarana pendidikan yang tidak mendukung kegiatan belajar-mengajar, dan panjangnya rantai birokrasi dalam dunia pendidikan. Hal inilah yang secara tidak langsung menghambat perkembangan kualitas literasi di Indonesia. Demikian juga tingkat pendidikan—berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia—masih tergolong rendah, seperti data penelitian yang dilansir oleh United Nations Development Programme (UNDP), yaitu 14,6%. Persentase ini jauh lebih rendah dari Malaysia yang mencapai angka 28% dan Singapura yang mencapai angka 33%.
4. Sulitnya atau bahkan tidak adanya akses terhadap sumber bacaan yang layak dan tempat membaca yang memadai.
5. Masih kurangnya produksi buku di Indonesia sebagai dampak dari belum berkembangnya penerbit di daerah, insentif bagi produsen buku dirasa belum adil, dan wajib pajak bagi penulis yang mendapatkan royalti rendah, sehingga memadamkan motivasi mereka untuk melahirkan buku berkualitas.
Melihat faktor-faktor tersebut di atas, sangat disadari bahwa membangun budaya literasi yang tinggi tidaklah mudah. Diperlukan suatu Gerakan Literasi yang terintegrasi dan melibatkan semua pihak, baik keluarga, sekolah, maupun masyarakat.
Peran Gereja dalam Gerakan Literasi
Gereja, sebagai salah satu bagian dari masyarakat Indonesia, dapat berperan aktif dalam Gerakan Literasi, antara lain:
1. Melakukan berbagai seminar, penyuluhan kepada keluarga dan masyarakat sekitar, agar memahami literasi sebagai hak dan kapabilitas setiap individu.
2. Mencanangkan budaya membaca di dalam keluarga, di mana orangtua menjadi teladan bagi anak-anak mereka dalam mengajarkan kebiasaan membaca.
3. Bagi gereja-gereja yang memiliki lembaga pendidikan, seperti sekolah, dapat menjadikan “pendidikan” sebagai motor penggerak literasi. Salah satunya dengan cara menerapkan buku bacaan wajib di sekolah dan mengikuti Gerakan Literasi Sekolah dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang antara lain mewajibkan anak membaca buku non-pelajaran 15 menit sebelum kelas dimulai dan menyediakan sedikitnya Pojok Baca di sekolah.
4. Bergabung dan berjejaring dengan komunitas atau lembaga yang memiliki visi dan misi tentang literasi serta ikut berperan aktif dalam kegiatan tersebut, antara lain pengumpulan buku-buku guna didistribusikan ke berbagai rumah baca atau taman bacaan di pelosok tanah air.
5. Menjadikan “Kerelawanan” sebagai puncak karier tertinggi.
Peran GKI Pondok Indah Dalam Gerakan Literasi
Gereja Kristen Indonesia Pondok Indah (GKI PI) sudah lama memiliki perpustakaan, yang sampai dengan kuartal 3–2018 masih ditujukan untuk kalangan sendiri. Sebagian besar koleksi pustakanya mengenai kerohanian Kristen, tapi ada juga yang bersifat umum.
Sejak dibukanya kembali perpustakaan di Grha Persahabatan dengan konsep yang berbeda, maka perpustakaan telah berubah format menjadi Taman Bacaan yang dibuka untuk umum dan diberi nama Taman Sahabat. Sesuai dengan visi dan misi GKI PI, yaitu Hidup-Terbuka-Peduli dan Partisipatif (HTPP), Taman Sahabat lalu mencanangkan visi dan misinya untuk ikut berperan aktif dalam Gerakan Literasi Nasional, dengan menyediakan akses bagi sumber bacaan yang layak dan berkualitas serta tempat yang memadai untuk membaca, berdiskusi dan berkarya.
Sesuai dengan Visi dan Misinya, sejak pertengahan tahun 2018, Taman Sahabat telah melakukan upaya-upaya gerakan literasi yang tercermin dalam program-program berikut ini:
1. Menata kembali ruang perpustakaan di Grha Persahabatan lantai 2, yang ramah anak, menarik dan nyaman, serta menambah koleksi buku-buku umum.
2. Membangun kerja sama dengan beberapa Badan Pelayanan (Bapel)—seperti Dikesra dan KPI—dan memasukkan program literasi dalam kepanitiaan Natal 2018, dengan menyelenggarakan pengumpulan buku-buku dari berbagai pihak—baik baru maupun bekas—lalu mendistribusikannya ke taman bacaan dan komunitas yang ada dalam daftar Bapel-bapel tersebut.
3. Taman Sahabat juga mengikuti program pengiriman buku gratis—melalui Kantor Pos setiap tanggal 17—ke beberapa taman bacaan di pelosok negeri ini, yang terdaftar di Kantor Pos.
4. Taman Sahabat menyelenggarakan pustaka keliling untuk komunitas asuhan GKI PI, yaitu Komunitas Gumul Juang (KGJ), yang dalam pelayanannya mencakup anak-anak di wilayah Jatinegara, Rawa Bebek serta Cawang, dan untuk wilayah Desa Kemang melalui KPI. Untuk saat ini, buku-buku tersebut disirkulasi setiap 3 bulan sekali, sehingga anak-anak dan remaja yang dilayani selalu bisa mendapatkan buku-buku baru.
5. Dalam menambah koleksi pustaka yang berkualitas, Taman Sahabat telah membangun jejaring dengan beberapa penerbit besar seperti BPK Gunung Mulia, Kanisius, Erlangga dan Gramedia serta juga dengan beberapa penerbit Indie yang menerbitkan buku-buku berkualitas dan terpilih, termasuk dengan beberapa pengarang buku.
6. Bekerja sama dengan tim GPB PL, dalam rangka kegiatan transformasi pasca gempa di Lombok, tepatnya di dusun Tangga, desa Selengan, Lombok, di mana Taman Sahabat berperan serta dalam membangun kembali Pojok Baca di desa tersebut dengan memberikan sejumlah buku yang telah dikurasi terlebih dahulu. Untuk menumbuhkan minat baca anak-anak di desa tersebut—sekaligus sebagai aktivitas trauma healing—beberapa pengurus Taman Sahabat menyelenggarakan membaca bersama, story telling dan bermain bersama anak-anak di sana.
7. Membuat beberapa program untuk menumbuhkan minat baca anak-anak yang berada di sekeliling lokasi Taman Sahabat, seperti anak-anak yang tinggal di daerah Terogong, Anak Sekolah Minggu, siswa Tirtamarta, serta mengasah kemampuan literasi mereka dengan membuat berbagai aktivitas yang terkait, seperti melukis, komunitas buku (book club), reading challenge, dll.
8. Beberapa aktivitas literasi diarahkan kepada orangtua, agar mereka dapat menjadi teladan bagi anak-anak mereka dalam hal minat baca, misalnya dengan mengajarkan membaca nyaring atau menyelenggarakan pelatihan mendongeng untuk anak-anak mereka sendiri.
Perjalanan yang harus ditempuh oleh Taman Sahabat masih panjang. Program-program literasi untuk tahun 2019 sudah dirancang, namun Taman Sahabat sangat memerlukan teman-teman relawan (volunteer) untuk ikut terlibat dalam pelaksanaan program-program tersebut.
Melalui tulisan ini, Taman Sahabat mengundang semua pihak di lingkungan GKI PI untuk berperan serta mendukung gerakan literasi, baik secara individu, kelompok atau komunitas.
>> Nugraha S.
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.