Tema yang akan diteropong ini bukan tema yang baru, oleh karena itu ketika membacanya, kita pasti sudah mempunyai pemahaman tentang hal ini. Tinggal membuka “si mbah Google“, maka serentetan pembahasan tentang tema ini akan dimunculkan, baik sebagai renungan, khotbah, nasihat, artikel lepas, bahkan sampai pada pembahasan yang sangat teknis teologis dan mendetail. Karena itu jika Anda tertarik untuk mendalaminya, silakan googling saja.
Dalam kesempatan yang baik ketika diberikan ruang untuk meneropong tema ini, penulis juga mendapat lampiran tulisan yang bisa menjadi pembanding atau bahkan mungkin inspirasi awal, dan ternyata memang inilah yang dipakai oleh penulis sebagai titik berangkat awal penulisan tema ini.
Tulisan itu adalah dialog atau wawancara antara pendeta Joas Adiprasetya dengan wartawan satuharapan.com (tidak jelas, apakah ini personal dari situs web atau majalah), pada Sidang Raya XVI PGI tahun 2014 di Gunung Sitoli, Nias. Judul yang tertera di www.satuharapan.com, adalah”Lupakan Saja Teologi Servant Leadership!”
Menarik untuk diperhatikan, entah siapa yang memberikan tanda seru pada judul ini, bahwa ada pesan di baliknya agar mendapatkan perhatian yang serius, agar melupakan, mengabaikan, menghapuskan saja gonjang-ganjing, pembahasan, teori tentang servant leadership yang notabene ternyata telah menjadi batu sandungan.
Pertanyaan yang tentu muncul sebagai reaksi dari judul ini adalah, ada apa dengan teologi servant leadership? Mengapa konsep teologis yang kabarnya sampai saat ini masih menjadi trending topic pembicaraan, minimal di kalangan para teolog dan gereja, dilupakan atau diabaikan saja? Apakah judul ini merupakan suatu sanggahan terhadap teori teologi servant leadership, atau lebih pada reaksi terhadapnya karena ternyata dalam praktiknya berbeda?
Ternyata, judul ini dalam pembahasannya lebih merupakan reaksi atau kritik terhadap praktik teologi servant leadership di kalangan gereja, yang banyak membicarakan dan bahkan mungkin juga setuju dengannya, namun ternyata tidak bisa direalisasikan karena terbentur kultur dan mentalitas orangnya.
Teologi ini menurut Joas, dalam praktiknya malah menyuburkan kepemimpinan yang bersifat hierarkis. Persoalan yang cukup mendasar—menurut dia—terkait dengan struktur kepemimpinan yang secara kultural tidak egaliter di kalangan gereja-gereja PGI. Kultur yang sangat mengakar di kalangan gereja-gereja di PGI adalah klerikarki (pemerintahan oleh Klerus, pejabat gerejawi), patriarki (pemerintahan oleh Bapa atau laki-laki), gerontarki (pemerintahan oleh orang tua) dan hierarkis (ketiga hal itu merupakan manifestasi konkret dari “hierarki” yang menganggap bahwa Dia Yang Kudus (hieros) menubuh di dalam klerus, orang dewasa, dan laki-laki. Dalam hierarki tiga wajah ini, struktur yang dibangun berwatak vertikal, atas dan bawah.
Sayangnya—menurut Joas—teologi justru menjustifikasi kultur itu. Misalnya sebuah teologi yang pada dasarnya baik seperti teologi servant leadership, tapi dengan kultur yang hierarchical justru memperkuat hierarki itu. Mengapa? Sebab retorika pelayanan hamba itu menjadi topeng untuk praktik yang pada dasarnya anti servanthood.
Sebagai contoh dipaparkan tentang kenyataan, bagaimana para pemimpin pelayan mendapat kursi yang berbeda dengan peserta biasa. Lalu ada ruang makan yang VIP. Dan, itu justru yang mengaku diri pelayan. Kultur hierarkis ini melawan kultur yang Kristus bangun. Karena itulah Joas mengusulkan perombakan kultur, yaitu dengan melupakan atau menghilangkan servant leadership. Sebab, servant leadership adalah usaha Yesus untuk melawan kekuasaan. Namun, itu sifatnya ad hoc. Saat kepemimpinan model servant leadership dibuat permanen, maka terjadi simbiosis yang makin parah lagi. Retorikanya servanthood, praktiknya anti-servanthood. Lebih lanjut untuk mempertajam usulannya, Joas mengungkapkan pemikirannya bahwa servant leadership bukan mimpi Yesus. Mimpi Yesus adalah persahabatan. Kepemimpinan sahabat, kepemimpinan yang dilakukan sahabat kepada sahabatnya. Jadi egaliter, makan bersama, dan pertemuan di meja bundar.
Menurut penulis, refleksi dan reaksi Joas terkait dengan praktik teologi servant leadership di kalangan gereja-gereja PGI memberikan masukan atau bahkan peringatan yang patut mendapat perhatian dari para pemimpin gereja, baik di kalangan PGI maupun di luar. Permasalahannya—menurut penulis—jika kultur dan mental para pemimpinnya yang harus diubah, mengapa teologi servant leadership harus dilupakan, diabaikan atau bahkan dihapuskan? Servant leadership yang awalnya digunakan sebagai sebuah gagasan untuk melawan kekuasaan, walaupun sifatnya ad hoc, namun sampai saat ini—menurut penulis—masih sangat relevan untuk diwujudkan, sebab sampai saat ini pun tidak sedikit pemimpin yang menempati peranan sentral atau posisi dominan dan mempunyai pengaruh yang besar dalam kelompok, menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingannya sendiri dan golongannya.
Setiap kali ada suatu judul atau pembahasan yang radikal mengarah pada suatu pembaharuan, pasti akan membutuhkan ruang yang luas. Meskipun masih banyak pertanyaan yang perlu dibahas tentang pernyataan Joas, penulis tidak akan melanjutkan. Alih-alih mengkritisi pernyataan yang menarik dari Joas, penulis ingin mencermati dan meneropong lebih jauh terkait dengan kepemimpinan sahabat yang juga disinggung dalam artikelnya.
Pembahasan Tema
Tema yang diusulkan untuk dibahas dalam teropong kali ini—apakah seorang pemimpin itu ‘hamba’ atau ‘sahabat’—menurut penulis tidak gampang dijawab dengan mengatakan bahwa ‘seperti mimpinya Yesus’, kepemimpinan itu haruslah kepemimpinan sahabat yang egaliter, yang kolegialitas. Pernyataan ini benar dan mempunyai dasar teologis, tetapi mengapa kepemimpinan sahabat tidak mudah diwujudkan dalam komunitas kristiani? Di manakah letak kesulitannya? Dan apakah yang harus dilakukan agar dapat diwujudkan? Ada banyak pertanyaan sekitar kepemimpinan sahabat, apalagi ketika Yesus mengatakan dalam Yoh.15:15, “Aku tidak menyebut kamu lagi hamba…. tetapi aku menyebut kamu sahabat….” Pertanyaannya kemudian, apakah model kepemimpinan hamba tidak relevan lagi? Lalu bagaimana dengan perkataan Yesus dalam Markus 10:43-44,”….Barang siapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barang siapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya.”
Dalam berbagai kesimpangsiuran gagasan, pertanyaan, dan pernyataan tentang tema tersebut, penulis memutuskan untuk memfokuskan diri pada Yohanes 15:15 yang secara tidak langsung memperhadapkan dua kata penting bagi tema kita yaitu “hamba” dan “sahabat”.
Meneropong Kepemimpinan: Hamba Atau Sahabat Dalam Yohanes 15
Yohanes 15:15 sebenarnya tidak berbicara tentang kepemimpinan, melainkan tentang status yaitu sebagai hamba dan sebagai sahabat. Melalui pendalaman tentang hal ini diharapkan ada butir-butir penting yang dapat dikaitkan dengan karakteristik kepemimpinan hamba atau sahabat.
Kesan pertama yang penulis peroleh ketika membaca ayat ini, seperti ada peningkatan status, yang tadinya hamba sekarang menjadi sahabat. Lalu apa alasannya mengapa harus terjadi peningkatan status dan apa perbedaan yang signifikan?
Alasan dan perbedaannya yang perlu diperhatikan adalah “...sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, …Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku.” Jadi dapat disimpulkan sementara bahwa kata hamba dalam teks ini dikaitkan dengan tidak adanya pengetahuan, kebutaan terhadap rencana sang tuan karena tidak ada jembatan yang dapat menghubungkan keduanya.
Jadi hamba dianggap seperti benda-benda lainnya yang dimiliki oleh sang tuan. Seorang hamba (doulos) adalah seorang budak yang terikat oleh tuannya, ia tidak punya hak apa pun, termasuk bertanya atau mempertanyakan sesuatu kepada tuannya, apalagi mengetahui rahasia sang tuan. Pokoknya apa yang diperintahkan, itulah yang harus dikerjakan. Ada jarak dalam hubungan keduanya yang tak terjembatani, seperti dua orang yang hidup dalam dua dunia yang berbeda: hamba hanya tahu dan boleh mengetahui dunianya saja, demikian juga tuan mempunyai dunianya sendiri yang hanya dapat dan boleh dipahami olehnya.
Nah, sebutan sahabat mencairkan hubungan yang tak terjembatani antara keduanya. Ketika status hamba yang sama sekali tidak diperhitungkan dan tidak punya hak itu diangkat menjadi sahabat, maka seolah-olah terjadi pencerahan, seolah-olah tidak ada lagi batas dengan tuannya, seolah-olah ada dunia yang sama sekali baru dan dapat dinikmati. Tatkala seseorang disebut sebagai “sahabat”, maka ia akan mempunyai kesempatan untuk mengetahui pemikiran, perasaan, pengalaman dan bahkan rahasia yang tersembunyi yang tidak boleh diketahui oleh seorang hamba.
Dalam teks ini, perbedaan antara hamba dan sahabat sangat mencolok. Pertanyaannya adalah, apakah ada hal-hal atau syarat-syarat tertentu sehingga seseorang yang tadinya berstatus hamba kemudian bisa mempunyai status sebagai sahabat?
Dalam kaitan apakah Yesus meng-angkat status murid dari seorang hamba menjadi sahabat? Untuk men-jawab pertanyaan ini, maka kita perlu meneropong teks Yoh.15:15 dalam keseluruhan perikop Yohanes15.
Latar Belakang Teks Yohanes 15
Menurut informasi dari beberapa komentar, Yohanes 15 adalah pemberitaan kedua sebelum Yesus meninggalkan dunia ini; yang pertama ada di Yoh.13: 31-36. Biasanya kalau seseorang mau meninggal maka ia akan memberikan pesan-pesan terakhir yang maha penting. Demikian juga dengan Yesus. Pada saat-saat terakhirnya, Dia memberikan pesan yang berulang-ulang diberitakan-Nya, yaitu tentang “hal mengasihi”. Bahkan dalam Yoh.13:34, bukan lagi pesan atau anjuran melainkan perintah, berarti sesuatu yang harus dilakukan dengan sungguh-sungguh sehingga para murid akan melihat dan mengalami kejadian-kejadian penting yang mungkin belum pernah mereka alami sebelumnya.
‘Perintah baru’ untuk saling mengasihi satu dengan yang lain dalam komunitas para murid digaungkan kembali berkali-kali dalam pemberitaan yang kedua di Yoh.15: 10, 12,14 dan 17. Pengulangan ini mau memberikan signal kepada para murid bahwa pernyataan ini merupakan sesuatu yang sangat penting diwujudkan dalam komunitas mereka. Untuk menjelaskan tentang hal yang penting ini, Yesus menggunakan gambaran “pokok anggur yang benar”.
Pendalaman Teks “Akulah Pokok Anggur yang Benar”
Menilik kembali ke Perjanjian Lama, ternyata gambaran pokok anggur bukanlah hal yang asing bagi orang Yahudi. Di Yesaya 5:7 misalnya, ternyata kebun anggur adalah kaum Israel dan orang Yehuda. Dari mereka sebenarnya dinantikan keadilan, tetapi yang diperoleh hanya kelaliman; dinantikan kebenaran ternyata hanya ada keonaran. Juga di Yeremia 2: 21, Tuhan telah membuat Israel tumbuh sebagai pokok anggur pilihan dan sebagai benih yang murni. Namun tumbuhan yang awalnya baik ini berubah menjadi pohon yang berbau busuk, pokok anggur liar.
Gambaran tentang pokok anggur yang menunjuk pada umat Israel sebagai umat pilihan Allah, sebagai umat yang mendapatkan perhatian khusus, sebagai umat yang dikuduskan dan dikhususkan untuk mewujudkan misi Allah di dunia ini, ternyata tidak dapat diandalkan karena ketidaksetiaan mereka terhadap sang pemilik kebun anggur.
Jadi gambaran pokok anggur ini ditampilkan untuk menunjukkan kembali relasi antara Tuhan dengan umat-Nya, bagaimana Tuhan telah merawat, membersihkan, menjaga agar tanaman anggur itu hidup subur dan berbuah lebat, namun yang terjadi malah sesuatu yang mengecewakan. Ketidaksetiaan umat Israel pada Allah-Nya (sang pemilik tanaman anggur), menyebabkan anggur itu tidak akan pernah dapat berbuah, bahkan menjadi busuk, kering dan harus dimusnahkan.
Dengan latar belakang seperti ini, maka pada ayat 1, Yesus menyatakan diri-Nya sebagai “Akulah Pokok Anggur yang benar”, untuk menggantikan posisi umat Israel yang tidak bisa mempertahankan diri mereka sebagai pokok anggur yang diharapkan Tuhan, sekaligus juga menggantikan posisi Israel yang tidak bisa diandalkan.
Yang lebih menarik lagi, pernyataan “Aku” (Ehyeh – I am) mengingatkan pada sebutan yang digunakan oleh Allah untuk menyatakan siapa diri-Nya kepada Musa (ehyeh ashyer ehyeh—Aku adalah Aku—dalam Keluaran 3:14). Pernyataan nama Tuhan ini tentu merupakan suatu misteri atau teka-teki bagi orang yang mendengarnya. Kesannya seolah-olah Allah memang selalu merahasiakan keberadaan-Nya dan hanya orang-orang tertentu yang dekat dengan-Nya, orang-orang tertentu yang dipilih-Nya dan diberikan pencerahan, yang dapat memahami siapa sebenarnya Dia.
Contoh yang nyata tentang orang yang mendapatkan pencerahan ini—menurut penulis—adalah tokoh Musa, yang pada awalnya juga kebingungan untuk memberitahukan kepada umat Israel dan bangsa lain tentang siapakah Allah yang telah mengutusnya. Namun rahasia, teka-teki dan misteri ini barulah terjawab setelah ia pergi melakukan aksinya seperti yang diperintahkan oleh Tuhan, yaitu untuk membebaskan bangsa Israel dari tanah Mesir.
Pengalaman dengan Tuhan ketika menjalankan perintah-Nya ternyata telah membukakan mata Musa tentang siapakah Allah sebenarnya. Dialah Allah yang hidup (yang dapat diajak berkomunikasi), Dialah Allah yang dapat diandalkan dan tempat perlindungan, Dialah Allah yang berbelas kasih, Dialah Allah yang menyelamatkan, Dialah Allah yang…. Semua misteri tentang Allah ini sedikit demi sedikit mulai terkuak sehingga hanya dapat dipahami Musa ketika ia mengikuti dan setia terhadap apa yang diperintahkan
oleh Tuhan.
Sebutan ini pulalah yang digunakan Yesus ketika membuka rahasia diri-Nya sebagai Mesias kepada para murid, Akulah Roti Hidup (Yoh.6:35); Akulah Terang Dunia (Yoh.8:12); Akulah Pintu (Yoh.10:9); Akulah Gembala yang baik (Yoh.10:14); Akulah Kebangkitan dan Hidup (Yoh.11:25); Akulah Jalan Kebenaran dan Hidup (Yoh.14:6) dan “Akulah Pokok Anggur yang benar” (Yoh.15;1) dan tentu saja semua ini baru dapat dipahami, jika Tuhan berkenan menyatakannya kepada para murid.
Fokusnya Pada Berbuah Lebat
Pada ayat 2, dituliskan bahwa tujuan akhir dari pemilik kebun anggur adalah mengupayakan banyak buah. Ia akan membersihkan ranting, bahkan memotong daun-daunnya dan mengangkat kembali ranting itu dalam upaya untuk menghasilkan sebanyak-banyaknya buah.
Pada ayat 4, 5 dan 6 ditunjukkan caranya agar berbuah lebat, yaitu dengan “tinggal di dalam Tuhan”. Himbauan bahwa kita harus tinggal di dalam Tuhan, tidak berdiri sendiri dalam Perjanjian Baru. Dalam Yakobus 4:8 dituliskan, “Mendekatlah kepada Allah dan Ia akan mendekat kepadamu.” Kemudian dalam Kolose 2: 6-7, tertulis, “Kamu telah menerima Kristus Yesus Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia. Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur.” Demikian juga dalam kitab Wahyu 2: 4-5, kita diperintahkan untuk kembali pada kasih kita yang semula.
Dengan penggambaran demikian, maka terlihat bahwa Yesus menginginkan sebuah relasi yang akrab dengan murid-murid-Nya dan umat percaya. Sedangkan mereka yang tidak memiliki relasi dengan Sang Pokok Anggur yang Benar akan dibuang seperti ranting, dibiarkan mengering, dikumpulkan dan dibakar (lih. Yeh. 15:4-6; 19:12; Mat. 3:10; 13:37-42; Yoh. 5:29).
Ayat 3: Para murid memang sudah bersih karena telah mengalami firman Tuhan dari Yesus. Mereka secara alami telah menyatu dengan Yesus, tetapi mereka tetap harus melakukan apapun untuk dapat mencapai tujuan yang diharapkan, yaitu agar mereka tetap tinggal di dalam Yesus, sebab hanya dengan cara demikian mereka dapat terus berbuah lebat.
Ayat 4-7: Oleh karena itu bagi para murid diberikan peringatan: “Tinggalah di dalam Aku, dengan demikian Aku juga akan tinggal di dalam kamu.” Apabila syarat ini dipenuhi, maka kehidupan para murid akan terus berbuah lebat. Anjuran untuk tinggal di dalam Yesus merupakan suatu penawaran. Pernyataan ini bukan suatu paksaan, sebab Yesus berharap agar para murid menanggapi panggilan dan anugerah yang diberikan ini dengan kebebasan dan bukan karena terpaksa. Setelah dipilih oleh Yesus (Yoh.15:16), para murid masih diberikan kesempatan untuk menerima Yesus atau menolak-Nya, tinggal di dalam Yesus atau di luar Yesus.
Keputusan untuk tinggal di dalam Yesus atau menolak Yesus akan berdampak pada masa depan para murid. Jika mereka menerima Yesus dan tinggal di dalam-Nya, maka mereka telah memilih untuk menjadi milik Tuhan dan hidup sebagaimana yang diperintahkan Yesus. Dengan demikian mereka bukan lagi millik dunia ini atau tidak terikat dengan dunia ini, sebab Yesus bukan dari dunia ini (Yoh.8: 23 dan Yoh.18:36).
Ketika kita memilih untuk tinggal di dalam Yesus, itu berarti bahwa kita bukan lagi milik dunia ini, sebab Yesus telah memilih kita dari dunia dan menjadikan kita warga kerajaan surga. Oleh karena itu jangan heran jika dunia membenci para murid yang telah memilih untuk tinggal dan mengikut Yesus (Yoh.15:19). Sebaliknya jika kita memilih untuk berada di luar Yesus, maka konsekuensinya adalah bahwa kita tidak akan dapat berbuah.
Dalam surat Rasul Paulus yang ditujukan kepada jemaat di Galatia, bahkan dikatakan bahwa ketika seseorang telah memilih untuk tinggal di dalam Yesus, maka ia bukan lagi hamba melainkan anak yang berhak menjadi ahli waris Kerajaan Allah (Galatia 4:7). Demikian juga dalam Filemon, dikatakan bahwa orang yang tinggal di dalam Yesus, bukan lagi sebagai hamba, melainkan lebih daripada hamba, yaitu saudara yang kekasih (Filemon 1:16).
Poin penting yang baru dalam pesan terakhir yang kedua ini adalah bahwa permohonan para murid akan didengar Tuhan, apabila mereka tinggal di dalam Yesus dan jika firman-Nya tinggal dalam diri mereka sebagai kekuatan yang membangun hidup mereka (Yoh.15:7) dan lihat juga (Yoh.14:13, 14). Adapun tujuan dari didengarnya setiap permohonan para murid adalah dalam rangka memuliakan Bapa di Surga. Jadi pertama-tama tidak terletak pada permohonan pribadi dari para murid, melainkan semata-mata terkait dengan pemenuhan pekerjaan Yesus di dunia ini. Jika pemahaman semacam ini dimiliki para murid, maka mereka akan berbuah lebat dan dengan demikian mereka sungguh-sungguh adalah murid Kristus.
Kehidupan yang Berbuah Lebat dan Maknanya
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan “hidup yang berbuah lebat”? Untuk menjawab ini kita perlu kembali kepada pesan penting yang selalu diulang-ulang, baik pada pasal 13 (pemberitaan pertama) maupun pasal 15 (pemberitaan kedua) yaitu tentang “Perintah Baru” untuk saling mengasihi satu dengan yang lain.
Berbuah lebat harus dipahami dalam kaitannya dengan “tinggal dan pergi” yaitu tinggal di dalam kasih-Ku (ay.9), dan tinggal di dalam kasih-Ku artinya mengikuti perintah Tuhan (ay.10), dan mengikuti perintah Tuhan berarti pergi keluar untuk melakukan perbuatan kasih, menyapa yang miskin dan papa, menolong mereka yang membutuhkan, memberdayakan mereka yang lemah, menyatakan kebenaran dan keadilan, bahkan rela memberikan nyawa untuk sahabatnya (ay.12 dan 13), semua ini dapat dan akan terjadi, karena tinggal dalam kasih Tuhan berarti juga menghadirkan Tuhan dalam setiap gerak dan langkah kehidupan kita.
Puncaknya adalah pada ayat 14, hanya jika seseorang yang “dipilih oleh Tuhan, pergi keluar (mengikuti perintah Tuhan) dan menghasilkan banyak buah” (lihat lagi ay.16), maka ia akan memperoleh sebutan “sahabat Tuhan”, karena itu sebutan ini bukan hasil upaya manusia melainkan semata-mata karena anugerah dari Tuhan yang memilih seseorang untuk mengikuti-Nya.
Menjadi “sahabat Tuhan” adalah pilihan Tuhan atau anugerah sehingga tidak ada syarat apapun, semua itu terserah pada inisiatif Tuhan sendiri yang telah mempunyai rencana untuk semua itu.
Pengangkatan status dari hamba menjadi sahabat juga adalah anugerah atau hadiah yang Tuhan berikan kepada seseorang, tetapi persahabatan yang dimaksudkan di sini bukan seperti yang persahabatan yang kita kenal dalam kehidupan sehari-hari. Persahabatan dalam rangka mengangkat status dari hamba menjadi sahabat ini, semata-mata karena Tuhan mengharapkan kehidupan yang berbuah lebat dalam diri orang yang statusnya diangkat (lihat ayat 14,15 dan 16).
Para murid yang diberi sebutan sebagai “sahabat Tuhan” akan disertai dengan sedikitnya 3 tanda yaitu:
- Mintalah apa saja yang kamu kehendaki dan kamu akan menerimanya (ay. 7), maksudnya adalah semua yang dibutuhkan untuk melanjutkan misi Tuhan di tengah dunia ini, untuk terus berbuah lebat, untuk mewujudkan kasih Tuhan, sehingga nama Tuhan dimuliakan, untuk tujuan ini Tuhan akan mengabulkannya.
- Sukacita Tuhan ada di dalam orang yang menjadi “sahabat Tuhan ” sehingga sukacitanya menjadi penuh (ayat 11).
- Seorang sahabat adalah orang yang merdeka (baca Yoh.8: 31-32), yang mempunyai hak yang sama dengan tuannya. Dia diberi kepercayaan penuh, dan kebenaran dapat dibukakan dan diberitahukan kepadanya (lihat juga ayat 15).
Kesimpulan dan Pesan
Pasal 15 memang tidak berbicara langsung tentang kepemimpinan hamba dan sahabat, namun seperti yang telah penulis ungkapkan pada awal tulisan ini, bahwa dari peneropongan dan pendalaman kitab Yohanes pasal 15, diharapkan ada butir-butir penting dari dua kata tema yang terdapat dalam pasal ini, dan yang kemudian diharapkan dapat dikaitkan dengan kepemimpinan.
Dengan bertolak dari pembahasan Yohanes 15, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa kepemimpinan “hamba”—yang hanya mengikuti saja kata tuannya tanpa memiliki hak dan kebebasan untuk berinisiatif, untuk mempertanyakan, mengusulkan sesuatu, merencanakan dan bahkan memutuskan—tidaklah dikehendaki Tuhan. Karena itu kepemimpinan “hamba” harus dinaikkan statusnya menjadi kepemimpinan “sahabat” yang merdeka, berinisiatif, bergaul dengan Tuhan, menghadirkan Tuhan dalam setiap gerak dan langkahnya dan mau keluar untuk mengasihi sesamanya.
“Apakah kepemimpinan sahabat itu?” pertanyaan ini semoga belum terjawab melalui tulisan yang singkat dan masih membutuhkan uraian yang lebih tajam lagi, Tujuan dari tulisan ini memang bukan untuk memberikan jawaban final tentang hal itu, melainkan lebih memberikan dorongan kepada pembaca untuk mengembangkan pemikiran penting dan menarik tentang kepemimpinan sahabat itu sendiri.
Kita masih dapat mempertanyakan, memperdebatkan, mendiskusikan, merumuskan dan bahkan menggugat lagi sehingga muncul perdebatan baru lagi, demikian seterusnya. Namun ada hal penting yang perlu selalu kita ingat bahwa ketika kita saling mempertanyakan, mendiskusikan dan bahkan memperdebatkan, jangan pernah lupa, bahwa status “sahabat” adalah anugerah dari Tuhan yang tidak bisa dibayar atau dibeli dengan apa pun juga. Oleh karena itu sehebat apa pun teorinya, kita tidak akan bisa mempraktikkannya atau dengan istilah Yoh.15, tidak akan bisa berbuah lebat, karena ada faktor penting yang mungkin kita lupakan atau abaikan, baik dengan sengaja atau tidak yaitu, tetap tinggal di dalam Tuhan dan menghadirkan Tuhan dalam kehidupan kita dengan jalan mengikuti perintah-Nya.
Demikian juga yang terjadi dalam praktik servant leadership seperti yang diungkapkan Pdt Joas: secara konsep dan teori baik, namun dalam praktiknya justru memperkuat hierarki dalam struktur gerejawi, pemimpin yang seharusnya melayani, malah ingin terus dilayani.
“Perintah Baru” yang sangat penting untuk dilaksanakan adalah saling mengasihi satu dengan yang lain. Dengan saling mengasihi ini, kita telah menghadirkan Tuhan yang adalah kasih itu sendiri. Karena itu pertanyaannya bukan apa yang kita hadirkan, melainkan siapa? Kasih itu aktif, tidak spekulatif, karena itu ia “relasional”: kita harus mencintainya, mengikutinya, menaatinya, bangun dan tidur bersama kasih.
Hanya dengan cara seperti ini maka konsep-konsep teologi akan bergerak keluar dan terus berkarya dalam kehidupan gereja dan umat sehari-hari.
Selamat hidup berbuah lebat – Tuhan memberkati.•
» Pdt. Tumpal Tobing
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.