Dihapus dari Kitab Kehidupan
Musa adalah seorang tokoh besar dalam tradisi Yahudi dan Kristen. Nama besar Musa dikenal karena peran pentingnya dalam membebaskan bangsa Israel dari tanah Mesir, menerima sepuluh titah Allah di Gunung Sinai, dan memimpin umat Allah itu di padang gurun selama empat puluh tahun. Namun, ada satu insiden yang sangat menarik, yang membuat saya lebih mencintai tokoh ini. Insiden itu tercatat di dalam Keluaran 32.
Ketika Musa turun dari gunung dengan membawa dua loh hukum Allah, terkejutlah ia mendapati bangsa itu membuat anak lembu emas untuk disembah sebagai ganti Allah. Allah sangat murka dengan ketidaksetiaan Israel dan memutuskan untuk membinasakan bangsa yang bebal itu. Yang sangat menarik perhatian saya adalah sikap Musa dalam menghadapi situasi semacam itu. Ayat 30-32 mencatatnya dengan sangat indah,
Keesokan harinya berkatalah Musa kepada bangsa itu: “Kamu ini telah berbuat dosa besar, tetapi sekarang aku akan naik menghadap TUHAN, mungkin aku akan dapat mengadakan pendamaian karena dosamu itu.” Lalu kembalilah Musa menghadap TUHAN dan berkata: “Ah, bangsa ini telah berbuat dosa besar, sebab mereka telah membuat allah emas bagi mereka. Tetapi sekarang, kiranya Engkau mengampuni dosa mereka itu—dan jika tidak, hapuskanlah kiranya namaku dari dalam kitab yang telah Kautulis.”
Musa melakukan dua tindakan sekaligus. Yang pertama, ia menghadapi bangsa bebal itu dan menegur mereka dengan keras. Namun, kemudian, yang kedua, ia juga menghadap Tuhan dan memohon pengampunan Tuhan bagi umat Israel. Apa yang sangat menggetarkan hati adalah desakan Musa yang penuh risiko, dengan berkata bahwa jika Tuhan tidak mengampuni dosa Israel, ia meminta Tuhan, “Hapuskanlah kiranya namaku dari dalam kitab yang telah Kautulis.” Singkatnya: binasa! Wah, berani sekali. Ucapan ini terus terang membuat saya lama berpikir tentang cinta yang rela berkorban.
Hanya seorang sahabat dapat berkata demikian kepada sahabatnya dan demi sahabatnya. Musa mengucapkannya kepada sahabatnya (Allah) dan demi sahabatnya (Israel). Di dalam Perjanjian Baru kita membaca pernyataan riskan serupa dari surat Paulus kepada jemaat di Roma, “Bahkan, aku mau terkutuk dan terpisah dari Kristus demi saudara-saudaraku, kaum sebangsaku secara jasmani” (Rm. 9:3). Keduanya, Musa dan Paulus, adalah sahabat-sahabat Allah. Sebagai sahabat Allah, mereka berdua memediasi Allah dengan umat-Nya. Sebagai sahabat Allah, mereka berdua merisikokan kehidupan dan keselamatan mereka demi orang lain, tak soal betapa menjengkelkannya orang lain itu. Tugas mediatif ini pulalah yang ditampilkan secara luar biasa oleh Kristus, Sang Sahabat itu.
Kisah Musa belum selesai. Setelah menyatakan kalimat riskan di atas, Musa mendapatkan jawaban Allah. Allah memerintahkan bangsa Israel, melalui Musa, untuk melanjutkan perjalanan. Dia akan mengutus malaikat-Nya untuk tetap menyertai bangsa ini. Allah tetap setia pada janji-Nya. Namun, Dia berkata, “Aku tidak akan berjalan di tengah-tengahmu, karena engkau ini bangsa yang tegar tengkuk, supaya Aku jangan membinasakan engkau di jalan” (Kel. 33.3). Allah mengulangi lagi di ayat 5, “Kamu ini bangsa yang tegar tengkuk. Jika Aku berjalan di tengah-tengahmu sesaat pun, tentulah Aku akan membinasakan kamu.” Singkatnya, Allah memutuskan untuk mengambil jarak antara umat Israel dan diri-Nya. Apa yang lebih mengerikan ketimbang mendapatkan berkat Allah namun tidak mendapatkan Allah Sang Pemberi berkat?
Musa tetap membandel. Ia tak puas dengan Allah yang mengambil jarak dengan umat-Nya. Kita membaca kemudian bagaimana ia “mengambil kemah dan membentangkannya di luar perkemahan, jauh dari perkemahan, dan menamainya Kemah Pertemuan” (33:7). Di sanalah “TUHAN berbicara kepada Musa dengan berhadapan muka seperti seorang berbicara kepada temannya” (33:11). Allah menganggap Musa sebagai sahabat-Nya, setepatnya ketika Musa melakukan sekaligus dua hal yang paradoksal sifatnya. Di satu sisi, ia mengilustrasikan jarak antara Allah dan umat-Nya, karena dosa umat-Nya. Di sisi lain, ia mendekatkan jarak itu dengan memungkinkan relasi umat Allah dengan Allah mereka. Di titik paradoksal itulah—yaitu di kemah pertemuan itu—Allah berjumpa dengan Musa, sahabat-Nya, muka dengan muka (panim el-panim). 1
Wajah dan Punggung Allah
Perjumpaan muka dengan muka dari kedua sahabat itu—Allah dan Musa—menempatkan Musa sebagai satu dari sedikit manusia yang tercatat telah bersahabat paling akrab dengan Allah.2 Namun, kita perlu berhati-hati untuk tidak menyederhanakan perjumpaan ini, sebab di pasal yang sama Allah berseru, “Engkau tidak tahan memandang wajah-Ku, sebab tidak ada orang yang memandang Aku dapat hidup” (33:20). Namun, Allah kemudian melanjutkan ucapan-Nya dengan mengatakan bahwa Dia akan menempatkan Musa di balik lekukan gunung dan menudungi muka Musa dengan tangan-Nya sampai Allah berjalan lewat. Setelah itu, “Aku akan menarik tangan-Ku dan engkau akan melihat belakang-Ku, tetapi wajah-Ku tidak akan kelihatan” (33:23).
Kompleks sekali! Jadi, ada ketegangan antara melihat wajah Allah dan tidak melihat wajah Allah. Ada ketegangan antara wajah Allah dan punggung Allah. Saya tertarik dengan penjelasan Emmanuel Levinas mengenai hal ini. Ia kurang lebih berkata bahwa “wajah” menunjuk pada Allah yang datang dan mendekat, sementara “punggung” menunjuk pada Allah yang pergi dan menjauh 3. Persahabatan Musa dan Allah adalah persahabatan dalam ketegangan—datang dan pergi, mendekat dan menjauh.
Ketegangan itu pulalah yang seharusnya menjadi wajah dari semua persahabatan yang kita jalin. Kita bisa dekat dan mendekat pada sahabat kita, namun kita tak dapat menggenggam mereka. Kita dapat jauh dan menjauh dari sahabat kita, namun kita tak dapat mencampakkan mereka.
Persahabatan senantiasa memasukkan kita ke dalam relasi yang fluid. Di satu saat, sang sahabat teramat dekat dan kita dapat memandangnya muka-dengan-muka. Di saat lain, ia terasa jauh dan kita hanya mampu memandang punggungnya, kala ia pergi menjauh. Ketegangan ini mengingatkan kita bahwa sang sahabat tak boleh kita lepaskan, namun juga tak boleh kita genggam. Ia bukan milik kita. Sebab, persahabatan membuat kita bersama menjadi milik Sang Kehidupan. Ketika hal ini disadari, maka tak jarang punggung Allah adalah wajah sahabat kita.
>> Joas Adiprasetya
1. Peristiwa ini dicatat pula di dalam Ulangan 34:10, “Seperti Musa yang dikenal TUHAN dengan berhadapan muka [panim el-panim], tidak ada lagi nabi yang bangkit di antara orang Israel.”
2. Di dalam Kejadian 32:30 dicatat pula perjumpaan muka dengan muka (panim el-panim) antara Yakub dan Allah, namun pertama-tama bukan dalam bingkai persahabatan melainkan penyelamatan. Tokoh lain yang secara tersurat disebut sebagai sahabat Allah adalah Abraham. Mengenai dia, saya akan menuliskannya di bagian lain.
3. Emmanuel Levinas, Beyond the Verse: Talmudic Readings and Lectures (London: Athlone, 1994), 144.
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.