Kadar merkuri dalam darah empat penduduk Teluk Buyat, Minahasa Selatan, baru-baru ini diberitakan melebihi normal (sekitar 20-50 mikrogram/liter). Kasus Minamata di Jepang, lebih empat dasawarsa lalu, muncul akibat keracunan merkuri dari ikan yang lautnya tercemar limbah merkuri industri di sekitarnya. Sudahkah ia tiba di meja makan kita juga?
Ada yang bertanya, orang Jakarta, Surabaya, atau Medan, kota-kota besar pelabuhan yang dikepung industri disinyalir mengandung limbah berbahan berbahaya, termasuk logam berat merkuri, kadmium, dan arsen, masih bebas dan amankah sekarang makan ikan laut?
Sudah sejak beberapa tahun lalu berita ihwal perairan laut kita tercemar limbah logam berat muncul tenggelam silih berganti. Bukan tak mungkin kondisi pencemaran semacam itu sudah lama berlangsung, tanpa kita tahu. Bisa jadi sebagai awam tanpa kita sadari sepenuhnya ketika hukum lingkungan tidak diindahkan.
Tidak bakal timbul gejala mencret-mencret, mual, atau gejala keracunan lain sekiranya pun betul ikan, kerang, atau produk laut lain yang kita makan sudah tercemar merkuri. Juga andai kata kita tetap mengonsumsinya saban hari.
Untuk sampai terkena penyakit Minamata perlu waktu lama, bukan cuma satu-dua bulan makan ikan tercemar saja. Minamata menimpa kita tergantung jenis ikan laut yang kita makan, seberapa kental laut (dan sedimennya) sudah tercemar merkuri, sudah berapakah lama kita mengonsumsinya, seberapa rentan tubuh kita menerima merkuri, dan usia kanak-kanak lebih rentan dibanding orang dewasa.
Merkuri memasuki tubuh kita bisa dalam bentuk air raksa yang dipakai untuk termometer, langsung terhidu atau tertelan, sehingga merusak paru-paru dan ginjal. Dalam bentuk inorganik dipakai buat krim pemutih kulit (disinyalir masih banyak dijual sampai sekarang), sedang dalam bentuk methylmercury terbawa dalam ikan laut dan produk laut lainnya.
Merkuri yang masuk ke dalam tubuh akan terus terakumulasi, berdikit-dikit, lama-kelamaan kadarnya dalam darah semakin meningkat. Merujuk kepada standar WHO, baru setelah kadarnya dalam darah melampaui 200 mikrogram/liter, penyakit Minamata mulai muncul, sedang kadar normal kurang dari 8 mikrogram/liter. Kasus Minamata memerlukan waktu puluhan tahun sebelum muncul.
Kita sendiri tidak persis tahu sudah seberapa kental pencemaran laut di kota-kota besar kita. Penelitian yang berbeda di Buyat sendiri memperoleh hasil yang tidak sama. Penelitian tentang itu tidak seluruhnya jelas dan publik memahaminya. Bersikap sama sekali menjauhi ikan laut dari meja makan juga agaknya tidak bijak, sebab semakin tua usia kita, mengonsumsi ikan laut justru menyehatkan. Sebaliknya tetap bebas keranjingan makan ikan, kita dihantui rasa was-was, apa tubuh kita tidak bakal tercemar merkuri?
Sejak Minamata dikenal medis, banyak penelitian dilakukan. Dari sana kita justru perlu memanfaatkan pengetahuan keracunan merkuri sebanyak mungkin, agar sejarah Minamata tidak sampai terulang menimpa kita. Pelajaran itu, antara lain, bahwa jenis ikan berukuran besar, seperti tuna, ikan pedang-pedangan (swordfish), hiu, dan sejenisnya dari laut tercemar merkuri mengandung merkuri lebih tinggi dibanding yang dikandung jenis ikan kecil. Maka sekiranya mencurigai ikan yang kita konsumsi berasal dari laut tercemar merkuri, jangan pilih mengonsumsi ikan berjenis besar.
Masalahnya kita tidak tahu apakah laut asal ikan yang kita konsumsi sudah tercemar merkuri. Ikan di Jakarta juga datang dari Indramayu, Cirebon, Semarang, atau Cilacap. Barangkali keberadaan industri di dekat perairan laut itu sendiri, bisa dijadikan indikasi kecurigaan akan pencemaran laut di dekatnya. Jenis ikan yang habitatnya lebih dekat ke dasar laut (kerapu, lobster, misalnya), tentu lebih pekat kandungan cemaran merkuri dalam dagingnya sekiranya sedimen dasar lautnya sudah dicemari merkuri.
Untuk sampai terserang Minamata diperlukan waktu puluhan tahun, itupun harus dengan rutin mengonsumsi produk laut yang sama. Kita sendiri yang bukan nelayan setempat tentu tidak setiap hari makan ikan laut yang berasal dari laut yang belum tentu sama, dan tidak selalu mengonsumsi jenis ikan besar. Maka, mestinya kecil kemungkinan berisiko keracunan merkuri, kecuali kita memang mengonsumsi ikan bermerkuri, betapa kecil pun, cepat atau lambat merkuri yang terakumulasi dalam tubuh, mungkin setelah puluhan tahun ke depan, bisa saja memunculkan penyakit Minamata.
Sebetulnya jauh lebih berbahaya bagi para ibu yang kepingin kulit wajahnya seputih tembok, dan memilih krim pemutih sembarangan. Krim yang dijual bebas, yang tak jelas apa kandungan bahan berkhasiatnya, tak sedikit yang berisi merkuri.
Baru-baru ini pihak BPOM Depkes menarik banyak merk jenis krim pemutih dari pasaran, lantaran terbukti mengandung bahan merkuri, dengan akibat yang kurang lebih sama. Repotnya, kerusakan saraf yang ditimbulkan oleh Minamata sehingga menyisakan kecacatan tubuh, tremor, gerakan tangan dan kaki yang abnormal, kelumpuhan lengan atau tungkai, tak mungkin bisa dipulihkan kembali.
Saya kira, warga di luar Teluk Buyat, belum perlu takut makan ikan laut, sambil tetap waspada terhadap kemungkinan pencemaran pada hari-hari ke depan nanti. Karena kalau hukum lingkungan kita masih dibiarkan lumpuh, hampir pasti merkuri cepat atau lambat akan tiba juga ke meja makan kita. Termasuk jika kita suka jajan kerang rebus.
Pada ibu hamil, merkuri meracuni anak yang dikandung sehingga anak berkembang menjadi dungu, kalau bukan autisme. Padahal kita sadar betul buat anak-anak ikan laut sendiri sungguh mencerdaskan selain bikin sehat jantung serta otak kakek-neneknya
Dr. Handrawan Nadesul
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.