Teknologi membuat semua orang yang saya kenal bekerja lebih keras dan lebih lama. – Wareen Bennis
Pernahkah Anda menghitung, berapa jam biasanya waktu yang Anda pergunakan untuk bekerja mencari nafkah hidup dalam seminggu? Jawabannya mungkin akan bervariasi, tergantung pada jenis pekerjaan atau profesi yang Anda jalankan.
Coba bayangkan profesi-profesi berikut: pengacara, dokter, notaris, pilot, hakim, jaksa, petani, pedagang, manajer/eksekutif, konsultan, model iklan, pemain film dan sinetron. Manakah di antara mereka yang menurut Anda bekerja paling keras untuk menafkahi hidupnya? Bagaimana dengan pegawai swasta dan pegawai negeri pada umumnya? Siapakah yang jam kerja rata-rata per minggunya paling panjang? Bagaimana dengan pengajar sekolah, buruh-buruh pabrik, kuli angkut, dan pekerja di pusat-pusat pembelanjaan modern yang baru pulang setelah pukul 9 malam? Manakah yang paling banyak mengucurkan keringat?
Ada asumsi bahwa orang-orang yang harus bekerja lebih dari 45 jam per minggu adalah kaum pekerja kasar yang tak terpelajar. Jam kerja mereka panjang, dan proses kerjanya lebih mengandalkan keterampilan fisik/otot, sehingga upahnya serba minimum.
Mereka yang terpelajar, kaum profesional dan para sarjana lulusan universitas terkemuka yang menjadi manajer-manajer di usia belia, adalah orang-orang yang seharusnya memiliki waktu kerja pendek karena mampu bekerja dengan lebih cerdas.
Apalagi dengan perkembangan teknologi informasi yang sangat mengagumkan dalam satu dekade terakhir, kelompok terpelajar yang bekerja mengandalkan otak diasumsikan akan memerlukan waktu kerja yang relatif minimum, kurang dari 40 jam per minggu. Sebab, bukankah orang-orang yang cerdas dengan perangkat teknologi mutakhir seharusnya tidak perlu bekerja keras seperti nenek moyang mereka dulu?
Masalahnya, di sekolah kehidupan kita kemudian menyaksikan kenyataan yang lain. Seperti dilaporkan BusinessWeek edisi Oktober 2005 lalu, dalam konteks Amerika jumlah para ”budak kerja” itu cukup mencengangkan. Lebih dari 31% pekerja pria lulusan perguruan tinggi di Amerika Serikat lazim bekerja 50 jam atau lebih dalam sepekan di kantor, naik dari 22% di tahun 1980, ketika teknologi informasi belum canggih seperti dewasa ini.
National Sleep Fondation melaporkan bahwa sekitar 40% orang dewasa Amerika tidur kurang dari 7 jam pada hari kerja. Padahal sejak 1926 Henry Ford telah mempelopori lima hari kerja dalam sepekan, dan sejak 1970 di Amerika berlaku waktu kerja 40 jam seminggu. Lalu bagaimana menjelaskan kecenderungan pekerja terpelajar Amerika dewasa ini yang malah menghabiskan waktu kerja seperti para buruh pabrik di abad ke-19, yang rata-rata bekerja 60 jam per minggu?
Pekerja Amerika tidak sendirian. Di Cina, para manajer senior dengan pendapatan $ 2.000 AS –dengan kurs Rp 9.500,- berarti Rp 19 juta—sebulan umumnya bekerja 60 jam, enam hari seminggu. Meski sekitar 20 jam di antaranya terhitung lembur, tapi mereka tidak mendapatkan upah tambahan dari kerja ekstra itu. Umumnya, kaum pekerja keras itu mengaku tak punya pilihan kecuali lembur dan menganggap hal itu memang sudah menjadi tugas mereka, sehingga memang tidak perlu upah tambahan.
Disebutkan bahwa sedikitnya di tiga kota Cina, 51% orang yang lembur selama hari kerja tak mendapat upah tambahan—suatu hal yang tidak terjadi pada rekan-rekan mereka di Jepang dan Korea Selatan. Pada hal UU Ketenagakerjaan di Cina telah menetapkan jam kerja 44 jam seminggu, dalam lima hari kerja, dengan cuti tahunan dua minggu, hari libur rutin, dan upah lembur minimal satu setengah kali upah normal.
Kenyataannya peraturan semacam itu tak mampu membendung tumbuhnya kelompok ”budak kerja” di negeri tirai bambu tersebut. Hanya pegawai negeri saja, seperti pengajar sekolah, yang menghabiskan waktu kerja 40 jam seminggu dengan penghasilan sekitar $ 200 AS sebulannya.
Hal lain yang juga menarik untuk disimak adalah laporan tentang jumlah jam kerja wanita karier di Amerika dan Eropa yang diwakili oleh 15 negara Uni Eropa.
Pada tahun 1984, di Amerika sekitar 58% wanita karier yang menghabiskan waktu kerja lebih dari 40 jam seminggu. Jumlahnya meningkat di tahun 2004 menjadi sekitar 62%. Sementara di Eropa, hanya sekitar 36% wanita karier yang menghabiskan waktu kerja di atas 40 jam seminggu, tahun 1984. Dan di tahun 2004 jumlahnya turun menjadi sekitar 29%.
Apakah itu berarti wanita karier di Amerika bekerja semakin keras hari-hari ini, sementara rekan-rekan mereka di Eropa lebih punya waktu untuk hal lain di luar pekerjaan? Tak ada penjelasan lebih lanjut soal hal ini. Yang jelas, dalam sebuah wawancara, perempuan Amerika yang cerdas dan fenomenal Oprah Winfrey pernah mengaku bahwa ia biasa bekerja 14-15 jam sehari, dan bila hanya bekerja 12 jam sehari, ia merasa ada sesuatu yang kurang hari itu.
Pemaparan data-data tersebut di atas menunjukkan bahwa tidaklah benar asumsi yang mengatakan bahwa hanya orang yang tidak bergelar dan bodoh saja yang dituntut bekerja keras menafkahi hidupnya. Kenyataannya, orang-orang yang paling terpelajar di negeri yang maju seperti Amerika, maupun yang bermukim di negeri berkembang macam Cina, justru tetap bekerja keras untuk menafkahi hidupnya.
Asumsi yang mengatakan bahwa dengan kemajuan teknologi informasi kaum pekerja akan lebih santai dalam melakukan pekerjaannya juga patut digugat kembali. Sebab kenyataannya para sarjana yang paling melek dan menguasai teknologi informasi mutakhir saja tidak bekerja lebih santai dibanding orang-orang yang relatif buta teknologi informasi.
Jadi, bekerja keras dalam arti bekerja lebih lama dari aturan kerja yang berlaku secara formal—misalnya, lima hari kerja, 40 jam seminggu—dengan menggunakan kemampuan diri sendiri untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan hidup sehari-hari, agaknya sudah menjadi kecenderungan yang sulit dibendung. Semakin banyak pekerja merasa memang begitulah seharusnya, terutama ketika mereka menginginkan karier dan kehidupan yang lebih baik.
Kerja keras seolah-olah menjadi jalan satu-satunya. Hal ini tentu tidak terlalu perlu dipersoalkan jika kita memiliki pekerjaan yang kita senangi, pekerja yang sesuai dengan bakat dan potensi terbaik kita, dan pekerjaan yang memberikan hasil-hasil terbaik, baik kepada kita maupun kepada masyarakat dan lingkungan di mana kita mengabdi. Seperti Oprah Winfrey yang menemukan ”tempatnya” yang unik di dunia ini, ia mungkin melakukan pekerjaannya tanpa merasa ”bekerja”.
Masalahnya, bagaimana jika pekerjaan yang kita miliki saat ini bukanlah pekerjaan yang kita inginkan? Bagaimana kalau pekerjaan yang kita miliki saat ini adalah pekerjaan yang tidak sesuai dengan bakat dan potensi terbaik kita? Bagaimana kalau pekerjaan kita saat ini adalah pekerjaan yang tidak menumbuhkan rasa bangga dalam diri kita? Bagaimana kalau pekerjaan yang kita tekuni saat ini adalah pekerjaan yang tidak menjanjikan masa depan yang lebih?
Terhadap empat pertanyaan terakhir ini saya akan menjawab dengan satu pertanyaan berikut: sampai kapan Anda bersedia bekerja keras untuk jenis pekerjaan seburuk itu?
Tabik Mahardika!
Andrias Harefa, Penulis buku terlaris Menjadi Manusia Pembelajar [Kompas, 2000] dan fasilitator www.pembelajar.com
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.