Saya mengajak Anda untuk membayangkan situasi yang sangat mencemaskan ini:
- Berlayar di tengah danau yang luas pada malam hari,
- tiba-tiba air bergelora karena angin kencang,
- tidak mustahil lentera perahu menjadi padam,
- juga tak mustahil padam pula harapan para penumpang perahu itu untuk mencapai pantai,
- itu berarti tak ada harapan untuk bisa pulang ke rumah masing-masing dengan selamat…
Begitulah jika manusia sudah berhadapan dengan ganasnya alam, jumlah yang besar tidak lagi menjadi jaminan. Meskipun mewarisi profesi sebagai nelayan, dengan jam terbang yang sudah lebih dari cukup, rata-rata memiliki tubuh yang kekar dan semangat yang besar, di dalam kebersamaan yang kompak … Tetapi apa daya jika alam yang liar dan ganas sudah tampil di ambang pintu? Situasi yang menegangkan ini tiba-tiba saja dihadapi oleh para murid, ketika mereka sedang berjauhan dengan Yesus Kristus, sang guru yang selama ini menjadi andalan mereka.
Bukankah semua ini menggambarkan keadaan kita di kancah dunia yang luas dan buas ini? Ketakberdayaan kita menghadapi perubahan, gejolak, ancaman dan serangan musuh dalam berbagai bentuknya? Ya, bukankah di dunia ini kita dikerumuni oleh berbagai bencana alam, keretakan rumah tangga, momok PHK, kemerosotan moral dalam pergaulan, ketidakpastian masa depan, rapuhnya kesehatan tubuh kita, dampak dari budaya korupsi, teroris yang keji, belum lagi adanya ancaman narkoba yang mengerikan itu!
Namun … siapakah yang menghadirkan kita ke dalam dunia ini? Siapakah sebenarnya yang menggiring kita untuk memasuki tahun yang baru ini? Kita boleh menjawab tanpa ragu: Yesus! Tuhan dan Guru. Pemimpin dan Gembala kita yang baik itu. Kalau begitu nasib kita tidak beda jauh dengan para rasul waktu itu. Mereka juga dihadirkan dan bahkan diperintahkan oleh Yesus untuk memasuki situasi seburuk itu. Sesudah itu Yesus segera memerintahkan murid-murid-Nya naik perahu dan berangkat lebih dulu ke seberang (Markus 6:45).
Jadi, walaupun sedang melaksanakan perintah Tuhan Yesus, atau gara-gara menuruti perintah-Nya, mereka kemudian harus menghadapi kesulitan besar. Hal itu sebenarnya tidak aneh. Selaku warga gereja, kita juga sedang dan selalu melakukan segala kegiatan gerejawi atas perkenan Tuhan dan bagi kemuliaan nama-Nya.
Tapi apakah itu berarti akan sepi tantangan dan kesulitan? Dan selaku warga dunia kita juga sedang melakukan misi Tuhan; apakah Dia pernah berjanji bahwa hidup kita akan serba lancar tanpa hambatan?
GOD MAY NOT GIVE US AN EASY JOURNEY TO THE PROMISED LAND, BUT HE WILL GIVE US A SAFE ONE. (Andrew Bonar)
Bukankah Tuhan Yesus sendiri, di sepanjang hidup-Nya di dunia, juga selalu menghadapi kesulitan? Bahkan kesulitan yang paling dahsyat dan hebat?
Ada ayat indah dan penting, demikian: “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku” (Filipi 4:13). Itu berarti bahwa selaku anak Tuhan, kita selalu siap menghadapi segala sesuatu yang paling sulit dan berat sekali pun, sebab Dia akan memampukan kita untuk menanggung dan mengatasinya. Setiap kali Tuhan mengutus kita melakukan sesuatu, sebenarnya Dia sedang memberikan kesempatan kepada kita untuk tampil sebagai saksi-Nya.
Patut disayangkan bahwa saat itu para rasul tidak berhasil memanfaatkan kesempatan yang kritis itu sebagai kesaksian yang indah. Mereka tidak mempergunakan momentum bencana itu sebagai pembuktian iman yang cemerlang kepada Kristus, sehingga sekarang kita tidak memperoleh pembelajaran tentang iman yang cemerlang, ketabahan selaku anak Tuhan, dan penyerahan diri berdasarkan kesetiaan para murid kepada sang Guru Agung, Yesus Kristus. Sebaliknya saat ini kita hanya bisa membaca laporan atau rapor yang jeblok dengan tinta warna merah dari para murid yang sudah banyak belajar teori dari Guru mereka yang sempurna.
O ya, jangan pernah kita menyalahkan Tuhan Yesus sebagai guru yang baik. Setiap ada kegagalan hidup, pantang kita mengambinghitamkan Tuhan, sebab Dia sempurna adanya. Kalau tidak begitu, berarti Dia bukan Tuhan! Untunglah kita disuguhi oleh satu tindakan Kristus sebagai pembuktian dari kepedulian-Nya yang sangat mengesankan itu. Kasih dan kuasa-Nya yang tidak (pernah) terlambat. Sangat menarik apa yang diucapkan-Nya, “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!” (Markus 6:50).
WE MUST FEAR GOD THROUGH LOVE, NOT LOVE HIM THROUGH FEAR. (Jean Pierre Camus)
Kata-kata Tuhan Yesus di tengah ketakutan mereka menunjukkan bahwa Dia penuh pemahaman terhadap para murid-Nya. Bahwa sebagai murid-murid, ternyata tingkatan kemampuan mereka masih jauh dari memuaskan. Bahwa ada beberapa faktor penyebab dari ketakutan mereka, sehingga upaya Kristus mendekati mereka disalahpahami karena diwujudkan dengan cara ilahi, yaitu berjalan di atas air. Bahwa situasi yang sedemikian ekstrem, dapat membuyarkan ingatan mereka kepada kuasa dan pribadi Tuhan. Pada ayat 52 tertulis bahwa mereka melupakan dan kurang memahami mukjizat Tuhan Yesus yang telah mengenyangkan lima ribu orang dengan lima roti dan dua ikan.
Ayat ke-51 sangat menarik, “Lalu Ia naik ke perahu mendapatkan mereka, dan angin pun redalah.” Yesus tidak hanya berkata-kata dari jarak jauh, tetapi kemudian Dia masuk ke dalam perahu dan berada di tengah mereka. Dengan demikian Yesus tidak hanya meneduhkan alam yang dahsyat, tetapi juga menenangkan hati manusia yang sedang bergejolak. Dari dulu sampai sekarang, siapa pun yang menjadi murid dan anak-Nya dilarang takut, sebab Yesus lebih besar dari kita, lebih besar dari persoalan hidup kita, dan lebih besar dari segalanya.
>> Pdt.Em.Daud Adiprasetya
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.