Menyoal Perjamuan Kudus Bagi Anak-Anak di GKI, kini masih terjadi beragam perbedaan di kalangan jemaat. Ada yang menolak, ada yang tak tahu menahu tetapi ada juga yang menerima apabila akhirnya perjamuan kudus bagi anak-anak diberlakukan di gereja kita. Nah, apa kata Pdt. Joas tentang perjamuan kudus bagi anak-anak? Artikel berikut bisa menjadi bahan untuk membuka wawasan kita syukur-syukur bisa dipahami. (Red.)
GKI sw Jateng tengah menggagas sebuah proses pengejawantahan perjamuan kudus bagi kanak-kanak (paedocommunion). Proses ini merupakan tindak lanjut seminar “Perjamuan Kudus Anak-Anak” yang diselenggarakan di Magelang pada tanggal 10-11 Desember 2012. Seminar ini sendiri adalah realisasi dari rekomendasi seminar lain tentang “Usia Baptis Anak,” pada tanggal 10 Maret 2011 di Yogyakarta. Seminar Magelang memunculkan rekomendasi agar perjamuan kudus bagi kanak-kanak diterima oleh GKI melalui Persidangan Majelis Sinodenya pada masa mendatang. Untuk ulasan lebih rinci yang saya buat, silakan membaca makalah dalam seminar Magelang tersebut. Dalam kesempatan ini saya sekadar ingin merangkum apa yang telah saya sajikan tersebut dan memberi beberapa rekomendasi.
Jika kita menengok Alkitab kita, memang tidak ada catatan yang eksplisit mengenai diperbolehkannya kanak-kanak menerima perjamuan kudus. Namun, pada saat bersamaan, tidak ada pula catatan yang melarang keterlibatan mereka. Artinya, baik mereka yang menerima maupun yang menolak paedocommunion sama-sama dapat menafsirkan teks-teks tertentu sesuai dengan pandangan mereka.
Akan tetapi, jika kita melihat sejarah gereja setelah zaman Alkitab, tampaknya kita akan menemukan dengan mudah catatan mengenai praktik paedocommunion di dalam gereja mula-mula. Misalnya, dalam tulisan bapa-bapa gereja seperti Cyprianus, Justinus Martir, dan Augustine kita mendapati persetujuan mereka tentang paedocommunion. Izinkan saya mengutip dua tulisan Augustinus mengenai hal ini.
Mereka yang berkata bahwa masa kanak-kanak tidak terhubung dengan Yesus untuk diselamatkan, sesungguhnya sedang menolak bahwa Kristus adalah Yesus bagi semua kanak-kanak orang percaya … Nah, sekarang, jika Anda dapat menerima pemahaman bahwa Kristus bukanlah Yesus bagi setiap orang yang telah dibaptis, maka saya tidak yakin iman Anda dapat diakui berpadanan dengan ajaran yang benar. Ya, mereka kanak-kanak, namun mereka adalah anggota [tubuh]-Nya. Mereka kanak-kanak, namun mereka menerima sakramen-sakramen-Nya. Mereka kanak-kanak, namun mereka berperan di Meja-Nya, agar mereka memperoleh kehidupan di dalam diri mereka. (Sermon 174.7)
Jadi siapa yang dapat meragukan bahwa di dalam istilah dunia semua oranglah yang diindikasikan memasuki dunia dengan terlahir? … Dari semua ini berlanjut, bahwa bahkan bagi kehidupan kanak-kanak tubuh-Nya diberikan, yang Ia berikan bagi kehidupan dunia; dan bahwa bahkan mereka mereka—kanak-kanak itu—tidak akan mendapatkan kehidupan jika mereka tidak memakan tubuh Anak Manusia. (On Merit III.27)
Singkat kata, paedocommunion merupakan praktik yang lazim di dalam kehidupan gereja mula-mula, baik di gereja Barat (Roma) maupun di gereja Timur (Orthodoks). Atas dasar ini, kita dapat lebih memastikan bahwa tiadanya catatan eksplisit di dalam Alkitab menandakan bahwa praktik semacam ini dianggap lazim pada masa Alkitab Perjanjian Baru dan tak perlu diperdebatkan.
Sementara sampai hari ini gereja Ortodoks Timur masih melayani perjamuan kudus bagi kanak-kanak yang sudah dibaptis, gereja Barat berhenti melakukannya sejak Konsili Lateran Keempat pada tahun Salah satu keputusan konsili tersebut berbunyi:
Semua orang percaya dari kedua jenis kelamin, setelah mereka mencapai usia akal budi (age of discretion, annos discretionis), haruslah dengan penuh keyakinan mengakui semua dosa mereka setidaknya sekali dalam setahun kepada imam mereka sendiri dan menunjukkan pertobatan semampu mereka, menerima dengan penuh hormat sakramen Ekaristi setidaknya pada Hari Paska … jika tidak, mereka akan diputuskan hubungannya dari Gereja (diekskomunikasi) sepanjang hidup dan tidak mendapat pelayanan penguburan kristiani saat wafat. (Canon 21)
Pada konsili ini jugalah doktrin transubstansiasi diresmikan. Doktrin inilah yang melatarbelakangi ditolaknya paedocommunion. Bahkan pada Konsili Trente (16 Juli 1562), pelaksanaan paedocommunion dikutuk. Dengan menetapkan usia akal budi (annos discretionis) sebagai ukuran, maka ekaristi dipisahkan dari baptisan dan lebih erat dikaitkan dengan “pengakuan iman,” atau dengan kata lain, mereka ditempatkan pada status sebagai katekumen atau katekisan. Apa hubungan doktrin transubstansiasi dan penolakan paedocommunion? Christian L. Keidel menjelaskan mengapa doktrin transubstansiasi menjadi alasan penghapusan paedocommunion, ketika ia menulis,
… dengan munculnya doktrin transubstansiasi dan doktrin … bahwa Kristus hadir sepenuhnya di dalam kedua elemen, praktik kuno ini [paedocommunion] segera dihapuskan. Ketakutan bahwa kanak-kanak dan anak-anak mungkin menumpahkan anggur dan karenanya memprofanisasi tubuh dan darah Tuhan yang aktual tampaknya telah menjadi alasan utama bagi penghapusan ini.
Masalah yang muncul kemudian adalah ketidakjelasan tentang apa yang dimaksud dengan “usia akal budi.” Keputusan Lateran dan Trente akhirnya membuahkan praktik baru diizinkannya anak-anak yang sudah akil-balik dan menerima krisma untuk mengikuti ekaristi, yaitu pada usia dua belas atau bahkan empat belas. Barulah pada tahun 1910, Paus Pius X menyatakan ketidaksetujuannya atas praktik populer tersebut dan mengeluarkan dokumen Quam Singulari (“Betapa Istimewanya”—singkatan dari Quam Singulari Christus Amore atau “Betapa Istimewanya Kasih Kristus”). Di dalam dokumen tersebut Pius X tetap memakai teori “usia akal budi” namun mengecam diasosiasikannya usia ini dengan saat seseorang dapat mengakui dosanya, dan karenanya menurunkan praktik populer 12-14 tahun menjadi “sekitar tujuh tahun, kurang lebih.” Sejak itu pulalah dibedakan ekaristi bagi kanak-kanak prausia akal budi (yang ditolak) dan ekaristi anak-anak pascausia akal budi, sekalipun belum menerima sakramen krisma (yang diterima).
Bagaimana dengan para reformator, khusus Luther dan Calvin? Luther secara prinsip menerima paedocommunion walaupun tidak secara aktif mempromosikannya. Berbeda dari Luther, Calvin adalah seorang penganjur credocommunion (perjamuan kudus bagi yang sudah mengaku percaya). Dalam hal ini ia berada pada tradisi teori “usia akal budi” yang dimulai sejak Konsili Lateran Keempat dan diteruskan oleh Konsili Trente. Yang menarik, sekalipun Calvin menolak konsep transubstansiasi yang mendasari teori usia akal budi, namun ia meneruskan teori tersebut, namun kini justru lebih diinternalisasi pada soal “pemahaman” seseorang sebagai syarat keikutsertaan dalam perjamuan kudus. Penolakan Calvin ini harus dipahami dalam konteks debat panasnya dengan kaum anabaptis yang menolak baptisan kanak-kanak. Melawan paedocommunion, Calvin memakai 1 Korintus 11, yang tampaknya di kemudian hari menjadi teks standar di kalangan Protestan dalam menolak paedocommunion. Calvin menulis,
Apakah kita mengharapkan sesuatu yang lebih jelas daripada pengajaran rasul [Paulus] ketika ia menyatakan setiap orang harus membuktikan dan meneliti dirinya sendiri, kemudian makan roti ini dan minum dari cawan ini? Sebuah pemeriksaan diri dengan demikian harus pertama-tama muncul, dan sia-sialah mengharapkan hal ini dari kanak-kanak … Jika hanya mereka yang tahu bagaimana memahami secara benar kekudusan tubuh Kristus yang dapat mengambil bagian secara benar, mengapa kita harus memberikan racun daripada makanan yang memberi kehidupan kepada anak-anak kita yang lemah? (Institutes IV:16:30)
Dengan membedakan baptisan dan perjamuan kudus dengan memakai kriteria “pemahaman,” Calvin berkeyakinan ia telah menjawab secara memuaskan keberatan yang diajukan oleh kaum Anabaptis. Namun, tepatlah yang disimpulkan Galen Johnson, “Apa yang Calvin lakukan, dengan demikian, adalah merelokasikan ‘akuntabilitas usia,’ yang dituntut kaum Anabaptis bagi baptisan, ke perjamuan kudus.” Perhatikan bagaimana argumen yang dipergunakan Calvin perihal baptisan anak dalam merespons keberatan kaum Anabaptis.
Jika benar bagi kanak-kanak untuk dibawa kepada Kristus, mengapa [mereka] tidak sekaligus diterima ke dalam baptisan, simbol dari komuni dan persekutuan kita dengan Kristus? Jika Kerajaan Surga menjadi milik mereka, mengapa tanda yang membuka pintu bagi mereka ke dalam gereja ditolak, sehingga dengan diadopsi ke dalamnya, mereka tergabung di antara pewaris Kerajaan Surga? Betapa tidak adilnya kita menyingkirkan mereka yang oleh Kristus dipanggil kepada-Nya! (Institutes IV:16:7)
Ketika diperhadapkan pada isu “pemahaman” kanak-kanak, Calvin berkata,
Mereka [kaum Anabaptis] berpikir bahwa mereka tengah menyajikan sebuah alasan yang sangat kuat mengapa kanak-kanak harus ditolak dari baptisan ketika mereka menegaskan bahwa kanak-kanak, karena usia mereka, belum mampu memahami misteri yang dilambangkan di dalamnya, yaitu kelahiran kembali secara spiritual, yang tidak dapat terjadi pada masa kanak-kanak yang paling awal … Namun mereka bertanya bagaimana kanak-kanak, tanpa diberi pengetahuan tentang yang baik atau yang jahat, diperanakkan kembali? Kami menjawab bahwa karya Allah, sekalipun melampaui pemahaman kita, masih belum dibatalkan. (Institutes IV:16:17)
Kesimpulannya: Calvin bersikap sangat tidak konsisten! Ketika berurusan dengan baptisan, ia menolak kaum anabaptis yang menolak baptisan kanak-kanak atas dasar pemahaman. Menurut Calvin, anugerah Allah melampaui pemahaman kanak-kanak. Namun, di sisi lain, ketika berurusan dengan perjamuan kudus, ia justru mengajukan argumen “pemahaman,” yang ditolaknya untuk baptisan namun kini diterimanya untuk perjamuan kudus.
Lintasan sejarah penerimaan dan penolakan paedocommunion di atas sesungguhnya menampilkan berbagai persoalan teologis yang menyertainya. Dapatlah saya merangkum lintasan di atas dengan memusatkan diri pada beberapa isu teologis yang muncul.
- Sepanjang 1.200 tahun gereja Barat dan Timur mempraktikkan paedocommunion sebagai sebuah kewajaran. Kebutuhan untuk mempertautkan dua sakramen terpenting itu (i.e. baptisan dan perjamuan kudus) dengan keselamatan, membuat kedua sakramen tersebut hadir sebagai suatu kesatuan yang tak terpisahkan. Mereka yang telah dibaptis dengan sendirinya terhisab ke dalam persekutuan gerejawi yang merayakan keselamatan melalui perjamuan kudus, terlepas apa jenis kelamin, usia, atau status sosial mereka.
- Patut ditegaskan bahwa Cyprianus, Agustinus, dan Gereja Orthodoks Timur mempergunakan kata-kata kunci teologis yang berbeda. Cyprianus menekankan pentingnya rahmat ilahi, Agustinus menekankan kehidupan di dalam Kristus, sedang gereja Timur menekankan partisipasi. Ketiga kata kunci tersebut memberi pendasaran teologis yang kuat bagi paedocommunion. Tidak satu pun yang mempergunakan pemahaman manusia sebagai kriterium atau syarat seseorang untuk dapat menerima perjamuan kudus. Scott M. Marincic, dalam artikelnya, “Truly Worthy and Well Prepared” (1995), mencatat bahaya Pelagianisme di dalam sikap yang menempatkan “pemahaman manusiawi” sebagai syarat,
Menegaskan bahwa dengan alasan usia dan pengertian kita menjadikan diri lebih mampu menyenangkan Allah, sama halnya dengan menolak bahwa kebenaran kita satu-satunya hanya berasal dari Kristus. Hal ini sama saja dengan memuaskan diri kita ke dalam sebentuk Pelagianisme, tak peduli betapa tulusnya kita percaya bahwa kita ingin setia pada Firman Allah.
- Penolakan atas paedocommunion dan penerimaan credocommunion barulah muncul ketika gereja Barat secara bulat menerima doktrin transubstansiasi yang memunculkan penghargaan sangat tinggi pada roti dan anggur hingga kekhawatiran penumpahan anggur atau penjatuhan roti menjadi sangat riil. Maka, teori “usia akal budi” mulai muncul di Konsili Lateran Keempat dan ditajamkan di dalam Konsili Trente, dan diwariskan terus kepada gereja-gereja Calvinis. Sejak itu, pemahaman orang Kristen menjadi syarat bagi keikutsertaan ke dalam perjamuan kudus.
- Luther menjadi reformator yang unik karena sikap terbukanya, walau tidak secara eksplisit, menerima paedocommunion. Sangat mungkin keterbukaan ini dilandasi prinsipnya bahwa semua orang Kristen adalah imam. Namun, gereja-gereja Lutheran selanjutnya tampak lebih mengikuti argumentasi gereja-gereja Calvinis (atau Barat pada umumnya) dengan menolak paedocommunion dan terus melestarikan teori “usia akal budi.”
- Sementara gereja Katolik menganut teori “usia akal budi” atas dasar doktrin transubstansiasi, Calvin dan penerusnya mengadopsi teori ini, sembari menolak doktrin transubstansiasi, dengan memakai teks 1 Korintus 11 sebagai dasarnya, khususnya tuntutan bagi yang layak mengikuti perjamuan kudus untuk mengingat Kristus (ay. 24-25), “menguji dirinya sendiri” (ay. 28), dan “mengakui tubuh Tuhan” (ay. 29).
- Kritik Anabaptis terhadap credocommunion harus sungguh-sungguh kita dengarkan terkait dengan koherensi teologis kita; apakah kita sungguh berporos pada rahmat ilahi yang memungkinkan kita berpartisipasi ke dalam persekutuan ilahi, ataukah kita memfilter partisipasi tersebut berdasarkan pemahaman. Dalam hal ini, konsistensi kaum Anabaptis tampak lebih masuk akal ketimbang dikotomi gereja Katolik dan Calvin yang memisahkan persyaratan baptisan kudus dan perjamuan kudus.
- Di GKI, penyingkiran kanak-kanak yang sudah dibaptis dari perjamuan kudus diperparah oleh sistem pelayanan kategorial yang memisahkan warga jemaat para-sidi dari warga jemaat sidi. Kebaktian Minggu Umum—demikian kerap dikatakan—sebenarnya adalah Kebaktian Minggu Dewasa, sebab mereka yang muda disisihkan atau dikhususkan ke dalam kebaktian-kebaktian minggu kategorial. Alhasil, perjamuan kudus lazimnya juga dilaksanakan di dalam Kebaktian Minggu Umum atau Dewasa. Pemisahan ini secara alamiah ikut melanggengkan keengganan GKI untuk memikirkan ulang secara kritis praktik credocommunion.
- Selebihnya tentang GKI, kita semua telah mengetahui bahwa gereja kita meneruskan tradisi Calvinis yang menolak Hal ini tercermin di dalam “Pengantar” liturgi Perjamuan Kudus, Tata Gereja (Tata Laksana, pasal 25, ayat 1), dan mungkin pula dokumen-dokumen lain. Bahkan teori “pemahaman” dipergunakan di dalam menentukan perjamuan kudus khusus bagi mereka yang uzur dan sakit, yaitu sepanjang mereka “masih mampu memahami dan menghayati arti perjamuan kudus” (Tata Laksana, pasal 25, ayat 6). Klausa itu dengan sendirinya menyingkirkan kanak-kanak dan mereka yang mentally challenged.
- Dari semua ulasan di atas, rekomendasi saya sangat jelas. Kita perlu menerima paedocommunion sebagai sebuah kewajaran iman dan gerejawi, jika kita sungguh mau setia pada keyakinan iman kita pada anugerah yang berlaku pada semua orang, terlepas dari tingkat pemahamannya. Untuk itu, hal-hal teknis yang merepotkan harus dihadapi dan diatasi demi menjaga prinsip iman dan teologis yang lebih penting.
> Pdt. Joas Adiprasetya
1 Comment
Yulianto
Agustus 1, 2024 - 8:51 amInformasi yang mencerahkan. Di saat gereja kami (GKJ) masih harus mengumpulkan.