Dalam rangkaian acara peringatan hari ulang tahun GKI Pondok Indah ke-XX, pada hari Jumat, 15 Mei 2004, bertempat di gedung gereja diselenggarakan Persekutuan Nostalgia, berjudul: “GKI Pondok Indah Tempo Doeloe.”
Selain kesempatan berjumpa dengan rekan-rekan sepelayanan yang sudah lama tidak bersilang jalan, dalam tayangan foto-foto ”tempo doeloe,” ingatan penulis tersentak melihat wajah rekan-rekan yang telah berhasil mencapai garis “finish,” menurut ungkapan Rasul Paulus.
Tulisan ini diilhami oleh penyelenggaraan acara tersebut, yang dikaitkan pula dengan kisah empat puluh tahun perjalanan umat Israel menuju Tanah Perjanjian. Dalam konteks itu dilihat peran Roh Kudus dalam kepemimpinan Musa dan jajarannya, sebagai refleksi pola kepemimpinan Kristus, yakni pelayanan yang memimpin serta kepemimpinan yang melayani (ministerial leadership), dan proses alih generasi kepemimpinan. Pola itu kemudian dikembangkan oleh Rasul Paulus dalam lintasan sejarah pelayanan gerejawi (2 Kor. 3:7-9).
Berdasarkan perjalanan iman dalam konteks duapuluh tahun sejarah pelayanan Jemaat GKI Pondok Indah, dengan sendirinya terdapat aspek alih generasi secara alamiah. Pada kesempatan merayakan Hari Ulang Tahun ke-XX ini perlu direnungkan proses persiapan dan alih generasi tersebut serta tantangan pelayanan masa depan. Bagaimana perspektif kurun waktu duapuluh tahun mendatang, khususnya mengenai pelaksanaan visi dan misinya di bawah terang kepemimpinan Roh Kudus?
Perjanjian lama
Kitab Kejadian pasal 15:17-18 tentang Perjanjian Allah dengan Abram, memberikan suatu laporan pandangan mata rohani, demikian: “Maka kelihatanlah perapian yang berasap berserta suluh yang berapi lewat di antara potongan-potongan daging itu. Pada hari itulah Tuhan mengadakan perjanjian dengan Abram.”
Allah dengan sukarela melepaskan kedaulatan-Nya, dan merendahkan diri menjadi setaraf dengan Abram (level playing field) agar dapat melakukan perjanjian. Dalam rupa suluh berapi, Allah lewat di antara potongan-potongan daging, sehingga menginjak darah yang tercurah. Darah itulah meterai perjanjian, dan ”Pada hari itulah Tuhan mengadakan perjanjian dengan Abram.” (ayat 18). Jadi tanpa meterai darah, tidak akan ada perjanjian, serta sifat sakral dan kekhidmatan. Di dalam kekhidmatan perjanjian (covenant) itu Allah berfirman kepada Abram, bahwa: “Oleh dia segala bangsa di atas bumi akan mendapat berkat.” (Kej. 18:18).
Kitab Kejadian juga mencatat, bahwa umat Israel “diperbudak dan dianiyaya empat ratus tahun lamanya” (ayat 13). Itulah kasih setia Allah yang menetapi janji-Nya kepada Abram empat ratus tahun sebelumnya, dengan memberdayakan Musa dalam pelaksanaan misinya membawa umat Israel ke luar dari Mesir memasuki Tanah Perjanjian, Palestina.
Musa dan Jajarannya
Padanan istilah pendeta dalam bahasa Inggris ialah minister (to minister = melayani, oleh karena itu dalam tulisan ini dipakai ungkapan ministerial leadership dalam struktur kemajelisan, sebagai padanan ungkapan kepemimpinan yang melayani). Ungkapan itu dipakai dalam kaitan dengan fungsi kepelayanan para pejabat gerejawi, bahwa: “Tuhan memanggil sebagian anggota gereja menjadi pejabat gerejawi yang berperan melayani dan memperlengkapi gereja agar mampu melaksanakan misi gereja.” (alinea 5b Penjelasan Mukadimah Tata Gereja GKI).
Pernyataan itu membuka kesempatan, tanpa kecuali, bagi setiap anggota Jemaat GKI Pondok Indah untuk melayani dalam status sebagai pejabat gerejawi. Dan ini adalah penjabaran atas doktrin teologi “imamat am orang percaya” (1 Pet. 2:9). Itu adalah pemahaman kita kini dan di sini, yakni di GKI Pondok Indah. Lalu bagaimana dengan Musa dan jajarannya waktu itu, yang zamannya diberikan predikat purba? Cerita Sekolah Minggu tentang kisah “semak duri yang menyala” (Kel. 3:2), akhirnya membawa kita kepada perintah penugasan kepada Musa. Tetapi untuk melenyapkan unsur keraguan manusiawi Musa, maka Allah pun berfirman: “Bukankah Aku menyertai engkau?” (Kel. 3:12).
Kepemimpinan Musa dengan panduan Roh Kudus (Bil. 11:25) memberikannya kejernihan pemahaman tentang misinya, ketabahan iman, dan keteguhan hati menghadapi kesulitan. Musa bahkan menerapkan prinsip manajemen modern, yaitu delegasi wewenang (delegation of authority) dalam pola manajemennya, dengan mendengarkan advis gratis dari konsultannya, yakni sang mertua, Yitro (Kel. 18:17-27). Karakter Musa memperlihatkan, antara lain, sifatnya sebagai “seorang yang sangat lembut hatinya” (Bil. 12:3). Di dalam kelembutan dan keteguhan hatinya itu ia menghadap hadirat Allah, seraya menyembah dan minta ampun bagi para pengikutnya yang memberontak; bahkan dia rela mempertaruhkan segala-galanya. Musa pun memohon kepada Allah, seraya berkata: “Hapuskanlah kiranya namaku dari dalam buku yang telah Kautulis.” (Kel. 32:32).
Lingkungan orang yang mengelilinginya, yang seharusnya adalah bagian jajaran pimpinan yang mendampingi Musa, tetapi ternyata masing-masing mempunyai agenda sendiri. Bahkan kedua orang kakaknya, Miryam dan Harun, tidak terkecuali. Mereka memberontak terhadap Musa, sehingga Miryam terkena tulah, dan dihukum Tuhan dengan penyakit lepra. (Bil. 12:9-15). Demikian pun duaratus limapuluh pemimpin umat Israel, “semuanya orang-orang yang kenamaan, “ tetapi mereka berhasil dihasut oleh tiga serangkai: Korah, Datan, dan Abiram (Bil. 16:1-35). Akibatnya, mereka semuanya dimusnahkan Tuhan.
Setelah memimpin selama empat puluh tahun, dan menjelang saat memasuki Tanah Perjanjian terjadilah proses alih generasi kepemimpinan. Musa diganti oleh Yosua bin Nun. Sewaktu Musa meninggal dia berusia seratus duapuluh tahun, dan “matanya belum kabur dan kekuatannya masih belum hilang.” (Ul. 34:7). Ternyata untuk memasuki Tanah Perjanjian, Tuhan memerlukan dan menghendaki jenis dan kualitas kepemimpinan lain (job requirements). Menurut hasil pernilaian Tuhan (fit & proper test), Yosua bin Nun diberikan yudisium: “seorang yang penuh roh” (Bil. 27:18-23).
Perjanjian Baru
Ketiga penulis Injil Sinoptik: Matius, Markus, dan Lukas, mengisahkan tentang “darah perjanjian” (Mat.26:28) dan (Mark 14:24), tetapi dokter Lukas agak berbeda, karena dia mempergunakan ungkapan “perjanjian baru” (Luk. 22:21). Penulis berpendapat bahwa makna yang terdapat pada perumusan Rasul Paulus adalah kongruen dengan ungkapan Kej. 15:17-18, yang telah dikutip di atas, karena menyatakan, bahwa: “Cawan ini adalah perjanjian baru yang dimeteraikan oleh darah-Ku.” (1 Kor. 11:25). Kembali kita lihat, bahwa perjanjian dimeteraikan dengan darah, tetapi kali ini bukan darah hewan melainkan darah Kristus sendiri, yakni pada peristiwa Kalvari (The Passion of the Christ).
Dalam proklamasi tentang kasih-Nya, Allah Abram, Ishak, dan Yakub (Kel.3:6) berfirman mengenai karya kasih Kristus (Yoh.3:16). Kita mengenal identitas Kristus, bahwa Dia adalah inkarnasi Firman (Yoh.1:14), yang mati dalam peristiwa Kalvari, tetapi bangkit pada hari yang ketiga, naik ke sorga dan “duduk di sebelah kanan Allah Yang Mahakuasa.” (Luk.22: 69).
Dengan demikian, firman Allah dalam Perjanjian Lama (Kej. 15: 17-18 serta Kej. 18:18) digenapi dalam Perjanjian Baru, yang diungkapkan dengan indah sekali oleh Rasul Paulus, seperti telah dikutip di atas (1 Kor.11:25).
Kristus dan Allah adalah satu (Yoh. 10:30), dan “Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku dan Bapa-Ku akan mengasihi dia dan Kami akan datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan Dia.” (Yoh. 14:23). Yang hadir itu adalah Roh Kudus, yakni “Roh Kebenaran,” yang… “menyertai kamu dan akan diam di dalam kamu.” (ayat 17). Itulah secara singkat dan padat doktrin Trinitas, yang jelas bukanlah bagian dari matematika modern.
Para Rasul Dan Angkatan Penerus
Paralel dengan penugasan kepada Musa yang menyandang misi untuk mengantar umat Allah memasuki Tanah Perjanjian, maka Kristus pun menugaskan para rasul-Nya melalui Amanat Agung (Mat. 28:18-20) untuk membawa umat-Nya memasuki Kerajaan Allah. Dan sama seperti jaminan Allah kepada Musa (Kel.3:12), maka Krsitus pun bersabda: “Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (ayat 20). Itulah garansi Kristus!
Proses alih generasi kepemimpinan pada angkatan Musa di zaman purba juga dialami generasi martir Polykarpus (116 M), Uskup Smirna, dalam jajaran para Bapa Gereja, yang adalah murid Rasul Yohanes. Mereka secara estafet menerima misi pelaksanaan Amanat Agung dari para rasul, tanpa merasa perlu menyandang gelar nabi atau rasul (Kis. 1:21-22), seperti ditampilkan mode kontemporer yang menghasilkan dan mengedarkan produk imitasi, untuk memenuhi selera “pasar.”
Perenungan sekitar Hari Ulang Tahun ke-XX GKI Pondok Indah dapat mengangkat ke permukaan peristiwa pendewasaan GKI Cinere dan GKI Sarwo Indah. Akan tetapi, sebagai pelaku sejarah penulis dapat mengatakan, bahwa yang disebut pertama dimulai oleh Komisi Pemuda GKI Kebayoran Baru di rumah keluarga Silalahi. Sedang kehadiran GKI Sarwo Indah diprakarsai oleh Komisi Sekolah Minggu GKI Kebayoran Baru. Dengan demikian, apabila Desa Kemang dapat berkembang menjadi jemaat dewasa, maka itulah merupakan “anak pertama” dalam rangka pelayanan visioner yang misioner Jemaat GKI Pondok Indah. Itulah partisipasinya dalam proses meneruskan tongkat estafet pemberitaan Amanat Agung, yang dimulai pada peristiwa Bukit Zaitun beberapa ribu tahun yang lalu.
Pelaksanaan visi dan misinya itu membawa kita kepada proses mempersiapkan generasi penerus yang memberikan ministerial leadership sesuai pola Kristus, yang dikembangkan oleh Rasul Paulus dalam surat-suratnya, seperti telah dikutip di atas. Dalam hal ini, Majelis Jemaat secara berencana menempatkan Pdt. Tumpal Tobing sebagai Pendeta Siswa di Sekolah Tirta Marta dan Permata Bunda. Angkatan demi angkatan telah dihasilkan, di antaranya ada yang kini turut memperkuat jajaran kemajelisan.
Program Christian Character Building, sebagai bagian kurikulum sekolah dalam menghadirkan etika kristiani, merupakan jenis pelayanan kategorial gereja untuk membantu para keluarga, tanpa mengambilalih fungsi pendidikan dari tangan orangtua. Sangat membesarkan hati melihat anggota majelis dalam kategori muda dewasa muncul di gereja bersama isteri yang mendorong kereta anak. Dapat dibayangkan, bahwa kereta anak itu ditumpangi seorang calon anggota majelis GKI Pondok Indah, mungkin untuk periode pelayanan pada waktu generasi penerus memasuki kurun waktu ke-XX berikutnya.
Pandangan Rasul Paulus mengenai pemberitaan Injil secara kontekstual dengan menghadapi segala tantangan zaman (2 Kor. 4:1-15), yang diungkapkan secara metaforis, dengan memakai “bejana” sebagai konteks, yang berisikan “harta rohani,” yakni Injil kiranya masih relevan bagi generasi penerus di GKI Pondoki Indah. Teks di dalam konteks, di mana konteks berubah, tetapi Teks adalah abadi.
Dalam merayakan Hari Ulang Tahun GKI Pondok Indah ke-XX, dan dengan melihat generasi penerus, yang dengan penuh keyakinan menjemput periode duapuluh tahun berikutnya di bawah kepemimpinan Roh Kudus. Penulis ingin menutup tulisan ini dengan sebuah sajak tanpa nama dan tanpa identitas penggubahnya, yang dijumpai dalam buku “Paul W. Powell: Basic Bible Sermons, 1992,” tentang Keraguan (doubt) versus Iman (faith), dalam terjemahan bebas:
Keraguan sibuk hitung kendala
Iman dengan pasti terus berjalan
Keraguan diliputi gelap gulita
Iman dipandu sinar harapan
Keraguan terus bermuram durja
Iman terbang membelah awan
Keraguan bertanya siapa percaya?
Iman tegas menjawab: “Saya.”
Paul P. Poli, SH
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.