Pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini merupakan pertanyaan yang sangat serius dan sangat penting dalam sejarah penciptaan dan kehidupan manusia, karena jawaban atas pertanyaan tersebut;
- bukan hanya terkait dengan dimensi kekinian, tetapi juga mempengaruhi kehidupan di dimensi kemudian, dan pula
- bukan hanya memberi “informasi”, tetapi lebih penting lagi membawa “transformasi”.
Tidak dapat disangkal betapa kehadiran Kristus di dunia ini 2000 tahun lalu walaupun hanya 33 tahun telah sangat mempengaruhi arah sejarah manusia di dunia ini dalam sangat banyak segi dan cara. [1.] Tetapi, di atas pengaruh Kristus atas kehidupan dunia fisik ini dan terhadap kehidupan setiap kita selama kehidupan kita masing-masing di dunia ragawi ini, yang justru lebih penting lagi adalah bagaimana Kristus mentransformasi kehidupan kita selama masih hidup di dunia ini dan menjadi satu-satunya faktor penentu atas kehidupan kita kelak di seberang kematian ragawi kita.
Dengan sudut pandang di atas, sebagai introspeksi, pertanyaan tersebut di atas memang terlalu serius dan luas untuk ditelaah dan dikaji dalam artikel singkat ini, belum lagi bahwa penulis hanyalah seorang awam. Namun, dengan segala keterbatasan tersebut, tulisan ini dimaksudkan bukan semata untuk mendiskusikan “konsep tentang Kristus” dimana Kristus menjadi “obyek” tulisan, tetapi juga diharapkan dapat mendorong kita makin giat mempelajari sehingga nantinya kita dapat memberi pertanggung-jawaban atas iman kita (1 Petrus 3:15), dan yang paling penting, dengan meminjam istilah yang sering dipakai Bapak Rico Sahuleka, mitra pelayananan saya di Komisi PI GKI-PI, Kristus bukan menjadi “juru obat”, “juru bayar”, dan “juru-juru” lainnya dalam menangani keinginan duniawi kita, tetapi Ia benar-benar menjadi “Juru Selamat” kita secara pribadi.
Kristus harus menjadi “subyek” kehidupan kita, dan karenanya Ia adalah sudut pandang dan rujukan kita dalam mengisi hari-hari kita di dunia ini dengan didasarkan hubungan pribadi dengan-Nya sehingga kita dapat mencapai suatu tingkatan dimana kita memiliki hati dan pikiran Kristus (1 Korintus 2:16), yakni kita akan membenci apa yang Kristus benci dan mencintai apa yang Kristus cintai, atau dalam istilah John Wesley “…fearing nothing but sin…desiring nothing but God…”
1. Dosa: “luput dari sasaran”
Salah satu istilah Yunani yang digunakan untuk kata “dosa” adalah “hamartia”, yang artinya “luput dari sasaran”. Sederhananya, dosa membuat kita tidak dapat memenuhi standar yang ALLAH tetapkan untuk menjadi satu dengan ALLAH dan karenanya kita menjadi terpisah dari ALLAH.
Apakah standar ALLAH itu? Tidak lain adalah kesucian ALLAH. ALLAH sungguh dan terlalu suci sehingga tidak ada orang yang sanggup bertemu muka dengan ALLAH (Yohanes 1:18; 1 Yohanes 4:12). Kemaha-suci-an ALLAH akan serta merta membuat manusia, yang berdosa, mati seketika (Kel 33:20). Tidak mungkin yang Maha Suci dapat bersatu dengan yang berdosa, sebagaimana air dan minyak, semata karena sifat mereka masing-masing, tidak akan dapat bersatu.
Dosa sudah menjadi sifat (nature) kita, bukan sekadar merupakan suatu perilaku (culture). Sifat keberdosaan kita membuat kita mempunyai kecenderungan untuk melakukan perilaku dosa, bukan sebaliknya. Budaya manusia, antara lain melalui agama dan pendidikan, berusaha “memanusiakan” manusia, tetapi tetap gagal. Betapa ada agama yang menghalalkan cara yang bahkan bertentangan dengan nilai moral universal dalam upaya-upaya untuk “menegakkan suatu nilai keagamaan”.
Lebih lagi, di tengah cara-cara yang tidak lagi manusiawi dan agamawi pihak-pihak tersebut masih tanpa ragu menyebut-nyebut, dan berkilah berlindung di balik, nama TUHAN. Seolah-olah TUHAN begitu lemah sehingga memerlukan “pembela”. Mereka mengabaikan fakta bahwa TUHAN itu adalah Pencipta langit dan bumi beserta segala isinya, dan karenanya tidak membutuhkan manusia untuk “melindungi”Nya.
Selanjutnya, di dunia pendidikan, semua orang yang pernah mengenyam bangku sekolah di Indonesia, atau setidaknya di dalam keluarga sendiri, pasti pernah diajari ilmu tentang budi pekerti. Namun, upaya “memanusiakan” manusia ini juga tidak berhasil secara sempurna karena walaupun tanpa pernah diajari berbuat jahat, manusia sudah punya kecenderungan untuk melakukan bahkan menikmati dan, lebih jauh lagi, membanggakan perilaku yang tidak benar di mata TUHAN, sadar maupun tidak sadar.
Dosa juga sudah merupakan suatu realita objektif. Suka maupun tidak suka, suatu saat nanti di hari penghakiman setiap kita akan memberi pertanggung-jawaban kepada Pencipta kita atas bagaimana kita menanggapi tawaran keselamatan kekal dalam Yesus Kristus dan menghidupi kehidupan kita di dunia ini. Percaya atau tidak percaya, semua yang tidak bertobat dan menerima Kristus sebagai Juru Selamat akan menghadapi kenyataan penghukuman kekal. [2.]
Umpamakan saya tidak percaya atas adanya ular kobra, suatu kali memasuki kandang ular kobra dan tidak menghidarkan diri saya dari ular kobra yang hendak menyerang saya, fakta bahwa saya tidak percaya tersebut tidak akan merubah realita bahwa ular kobra adalah suatu kenyataan objektif, dan akan dapat membunuh saya bila saya berhasil dipagutnya.
Persepsi subjektif seseorang tentang ada tidaknya TUHAN, sorga-neraka dan dosa tidaklah relevan dan tidak mempengaruhi realita objektif adanya penghukuman kekal di seberang kematian.
2. Hukum Taurat: “cermin diri kita dan penunjuk jalan keselamatan”
ALLAH kemudian memberikan Hukum Taurat kepada manusia sehingga manusia dapat bercermin dari Hukum Taurat betapa kita sungguh telah berdosa kepada Pencipta (Roma 3:20).
Hukum Taurat bukan “jalan keselamatan”, tetapi Hukum Taurat diberikan sebagai “penunjuk jalan” bahwa “rute memenuhi Hukum Taurat” bukan merupakan pilihan bagi keselamatan manusia karena tidak ada orang yang dapat memenuhinya secara sempurna. [3] Hukum Taurat disertai kesadaran ketidakberdayaan manusia untuk memenuhinya selanjutnya akan merujuk kepada Yesus Kristus sebagai satu-satunya Jalan Keselamatan. Hukum Taurat juga merupakan pintu masuk untuk menyadarkan manusia tentang dosa, dan dasar rasional perlunya penebusan Yesus Kristus.
Guna menerangkan aplikasi Hukum Taurat ini, kita dapat meninjaunya dari sudut hukum buatan manusia. Mari kita bayangkan seseorang berkata kepada saya bahwa ia baru membayarkan bagi dan atas nama saya denda atas pelanggaran yang secara tidak sadar saya lakukan, umpama, karena merokok di tempat umum di Jakarta. Walaupun apa yang disampaikan ke saya itu adalah kabar baik, tetapi kabar tersebut dapat saya tanggapi secara sebaliknya karena saya tidak pernah merasa atau mengetahui bahwa saya mempunyai kewajiban denda tersebut.
Kabar tersebut akan tampak di mata saya sebagai suatu “kebodohan” atau penghinaan terhadap saya karena melalui berita tersebut saya “divonis” telah melanggar suatu aturan dimana saya sebaliknya tidak berpikiran atau menyadari pelanggaran tersebut.
Sebaliknya, kabar tersebut akan mungkin dapat saya terima apabila disampaikan dengan cara berikut: Sekarang ini, Pemerintah DKI Jakarta menetapkan pembatasan merokok di tempat umum; saya yang mungkin tidak mengetahui adanya larangan tersebut, telah merokok di, umpama, Mal Pondok Indah; Hukum segera akan ditegakkan terhadap saya atas pelanggaran tersebut dengan pengenaan suatu denda uang ketika kemudian ada orang lain yang membayarkan bagi saya denda tersebut.
Dengan penyampaian demikian dimana pertama-tama harus dijelaskan bahwa telah terjadi pelanggaran, maka berita bahwa ada orang yang mau membayarkan bagi saya denda atas pelanggaran tersebut semestinya akan menjadi kabar baik bagi saya.
Demikian juga dalam konteks Hukum ALLAH. Ketika kabar baik Keselamatan Yesus Kristus disampaikan sebagai satu paket dengan pemaparan tentang Hukum ALLAH dan dosa, maka kabar baik Keselamatan Yesus Kristus akan menjadi kabar baik yang sebenarnya. [4.]
Hukum TUHAN harus senantiasa diberitakan sebagai bagian organik pada setiap pemberitaan Injil Keselamatan dalam Yesus Kristus agar pertobatan dan keputusan menerima Yesus sebagai Juru Selamat memang didasarkan pada kesadaran akan dosa dan ketidak-berdayaan manusia untuk menyelamatkan dirinya sendiri.
Charles Spurgeon, yang dikenal sebagai Pangeran Pengkotbah, berkata: “I don’t believe that any man can preach the gospel who doesn’t preach the Law. The Law is the needle, and you can’t draw the silken thread of the gospel through a man’s heart unless you first send the needle of the Law to make way for it.”
Pemberitaan Firman yang mengajak keputusan menerima Yesus sebagai Juru Selamat dengan iming-iming insentif kesembuhan, kekayaan, kesuksesan dan life enhancement lainnya kemungkinan hanya akan melahirkan petobat-petobat yang tidak akan tahan uji dan akan berpaling kembali dari Yesus bila janji-janji tersebut tidak tercapai. Juga, mereka yang sudah menikmati kenikmatan tersebut, mungkin tidak akan mendapatkan bagi dirinya kebutuhan akan Keselamatan Kristus. Keselamatan Kristus berlaku atas orang miskin dan orang kaya, orang sehat dan orang sakit, orang sukses dan mereka yang mengalami tantangan hidup.
Keputusan menerima Yesus sebagai Juru Selamat harus selalu disertai pertobatan yang didahului kesadaran penuh akan dosa. Sukacita pada malaikat-malaikat ALLAH lahir karena adanya pertobatan orang berdosa (Lukas 15:10).
Damai dan sejahtera harus ditempatkan sebagai buah, bukannya sebagai insentif bagi, keputusan menerima Yesus. Sebagai “buah”, berkat-berkat dari ALLAH tersebut juga akan menjadi “beban” dan bahkan “peluang” bagi kita yang telah menerimanya untuk dibagikan kepada orang lain juga.
3. Keadilan ALLAH: “yang bersalah harus tetap dihukum”
ALLAH kita tidak kompromi dengan dosa. Berbeda dengan persepsi sejumlah orang yang hanya menekankan bahwa ALLAH itu kasih adanya, IA juga membunuh makhluk ciptaan-Nya. Umpamanya, Kejadian 3: 21, ALLAH membunuh binatang guna dikenakan oleh Adam dan Hawa. Kejadian 38:9-10 mencatat bahwa ALLAH membunuh Onan karena melakukan perbuatan yang jahat di mata TUHAN.
Jikalau kita masih hidup dan diberi kesempatan untuk bertobat hingga saat ini, itu semata-mata karena kesabaran-Nya pada kita.
Pada tanggal 8 Juli 1741 di hadapan jemaat Kota Enfield, Connecticut, Amerika Serikat, Jonathan Edwards, pendeta yang menjadi Rektor Universitas Princenton, membawa khotbah yang sangat terkenal dan juga kontroversial berjudul “Sinners in the Hand of an Angry God”. Ia mengutip Ulangan 32:35 “Hak-Kulah dendam dan pembalasan, pada waktu kaki mereka goyang, sebab hari bencana bagi mereka telah dekat, akan segera datang apa yang telah disediakan bagi mereka” untuk menggambarkan bagaimana keadaan para pendosa yang sudah jatuh dalam penghukuman ALLAH dimana kita sebenarnya berdiri di atas lantai yang licin sehingga kita, karena sifat posisi kita sendiri yang labil tersebut, dapat jatuh setiap saat tanpa perlu tangan orang lain mendorong kita. Kalau hingga saat ini kita masih tidak “jatuh” itu karena waktu yang TUHAN tetapkan (“hari bencana”) belum tiba dan karena keMaha Kuasa-an TUHAN sajalah yang menahan kita dari jatuh ke dalam penghukuman.
Ketika khotbah tersebut disampaikan, Roh TUHAN bekerja luar biasa sehingga khotbah tersebut sering disela oleh teriakan dan tangisan “Apa yang harus aku lakukan untuk dapat diselamatkan?”
ALLAH memang ALLAH yang Maha Baik dan Maha Kuasa. Namun, penerapan sifat ALLAH itu tidak akan melanggar sifat ALLAH lainnya yakni Maha Adil dimana IA harus tetap menghukum yang bersalah. Dalam konteks kehidupan kita sehari-hari, seorang hakim, justru apabila ia adalah hakim yang baik, pasti akan menghukum orang yang bersalah.
4. Kasih karunia ALLAH: “gratis tapi sangat mahal”
Upah dosa yakni maut sudah dijatuhkan atas manusia dan masih terus berlangsung dan berlaku. Hanya jika orang tersebut ditebus Ia akan lolos dari hukuman. Jika tidak, ia akan tetap berada dalam hukuman. Dosa manusia yang telah melahirkan keterpisahan sejati tersebut juga telah membuat manusia menjadi seteru ALLAH (Roma 8:7). Kita tidak mungkin datang ke Sorga dimana ALLAH tinggal apabila kita tidak terlebih dahulu berdamai dengan-Nya. Tujuan inilah yang menjadi maksud agama-agama di dunia ini.
Segala upaya manusia tersebut tidak akan pernah mencapai standar ALLAH karena jurang hendak dijembati adalah jurang yang bersifat kualitatif dan karenanya tidak akan pernah dapat ditutup dengan upaya manusia sendiri. Disebut “jurang kualitatif” karena dua pihak yang berada pada masing-masing kutub jurang mempunyai perbedaan kualitas, yang satu adalah Sang Pencipta dan yang satu lagi adalah makhluk ciptaan belaka sehingga jurang yang ada mempunyai posisi vertikal, bukan lagi horizontal dalam pengertian jurang yang selalu kita temui. Semua upaya manusia tersebut karenanya merupakan upaya “bottom up”, yang sayangnya hanya akan berakhir sia-sia menjadi “mboten up” (tidak naik-naik) karena ketidak-berdayaan sejati manusia itu sendiri. Karenanya, upaya pendamaian harus bersifat “top-down”.
Karya Keselamatan ALLAH merupakan suatu “operasi gabungan” antara “Keadilan ALLAH” dan “Kasih ALLAH”. Sebagaimana sudah disebut di atas, kedua sifat ALLAH ini harus berjalan seiring dan menjadi satu paket kendati kedua sifatnya kelihatannya berseberangan satu sama lain. Keadilan ALLAH menuntut penghukuman atas setiap dan semua manusia, yang sudah berdosa. Sebaliknya, Kasih ALLAH membawa pengampunan atas setiap dan semua manusia, yang sudah berdosa.
Sifat ALLAH yang satu tidak akan dapat menyangkal atau mengesampingkan sifat ALLAH yang satunya lagi. Kedua sifat yang sedemikian mendapatkan keselarasan dan harmoninya hanya di dalam Yesus Kristus. Kematian Kristus merupakan saat dan tempat dimana “Keadilan ALLAH” dan “Kasih ALLAH” terjalin bersama pada saat yang sama sebagai suatu harmoni. Kristus mati menggantikan kita semua menerima Keadilan ALLAH sehingga pada saat yang sama Kasih ALLAH dapat berlaku atas kita semua.
Dalam fungsi dan tujuan tersebut di atas, Kristus haruslah manusia sejati sekaligus adalah ALLAH sejati. Kristus adalah sepenuhnya manusia, tetapi juga sepenuhnya ALLAH. Kristus menjalani kehidupan normal sebagai manusia, hanya saja bahwa Ia tidak berdosa (1 Petrus 2:22; Ibrani 4:15). Ia juga ALLAH (Kolose 1:19 dan 2:9).
Sang Juru Selamat harus mengambil rupa seorang manusia. Ia disebut Juru Selamat karena misinya di dunia adalah untuk mengalahkan musuh terbesar dan terakhir manusia, yakni maut (1 Kor.15:26). Semua manusia karena dosanya pasti mengalami maut (Roma 3:23 dan 6:23). Memang, hanya manusia sajalah yang mengalami kematian (untuk kemudian dihakimi). Karenanya, agar Kristus dapat mengalahkan maut, Kristus harus menjadi manusia sehingga Kristus dapat mati, dan kemudian bangkit (Ibrani 2:14).
Kristus adalah korban pengganti bagi manusia berdosa yang menerima-Nya sebagai satu-satunya Juru Selamat. ALLAH berkenan menerima-Nya (Efesus 5:2) karena Ia adalah “domba yang sempurna”, tidak ada dosa pada-Nya. Sebagai pengganti, Kristus harus mempunyai sifat yang sama dengan yang digantikan-Nya, yakni manusia. Makanya Yesus adalah sepenuhnya manusia. Dalam posisi dan fungsi tersebut, Kristus akan mewakili seluruh manusia yang menerima-Nya dalam menjalani ditimpanya murka ALLAH atas dosa-dosa manusia.
Kita tidak dapat membayangkan betapa menderitanya Kristus ketika Ia dalam kematian-Nya harus menerima tumpahan Keadilan ALLAH atas seluruh dosa seluruh manusia sehingga Ia harus menyerukan dengan suara nyaring tragedi dan ironi terbesar dalam dunia ini: “Eli, Eli, lama sabakhtani?” yang artinya: Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? (Matius 27:46; Markus 15:34).
Jawaban atas pertanyaan Yesus itu adalah bahwa ALLAH Bapa memang harus meninggalkan-Nya agar supaya kita yang menerima Keselamatan Kristus dapat bersatu kembali dengan ALLAH Bapa melalui persekutuan kita dengan Yesus Kristus. Tabir Bait ALLAH yang terobek dua memberi simbol bahwa tidak ada lagi pemisah antara ALLAH dan manusia, bahkan kini kita dapat memanggil Pencipta langit dan bumi dengan sebutan “Bapa…” yang menunjukkan keintiman dan kesatuan dalam suatu hubungan yang sangat ekslusif.
Hanya Kristus yang sanggup menghadapi murka ALLAH dan menanggung seluruh dosa manusia, karena Ia adalah sepenuhnya ALLAH, yang karenanya Maha Kuasa dan tidak terbatas.
Dalam matematika dikenal faktor dan simbol seperti angka delapan yang diletakkan secara horisontal dan biasa disebut sebagai “infinity” (artinya: tidak terbatas). Jumlah berapa pun dikalikan, dikurangi, ditambahkan ataupun dibagi dengan faktor tersebut, akan tetap menghasilkan “tidak terbatas”. Begitulah Ketuhanan Kristus, tidak terbatas. Dahsyatnya murka ALLAH, dan apapun jumlah dan jenis dosa manusia yang ditimpakan pada-Nya, hal itu tidak akan mempengaruhi sifat Keilahian-Nya yang tidak terbatas. Sehingga, walaupun Ia harus memikul dan menanggung dosa manusia, Ia tetap merupakan Yang Maha Suci sehingga Ia kini tetap dapat berada di sorga dan duduk di sebelah kanan ALLAH Bapa.
Orang sering menanyakan apakah kematian Kristus merupakan bagian dari grand scenario ALLAH atau atas dasar kerelaan Kristus? Pertanyaan yang bersifat alternatif tersebut (lihat kata “atau” yang digaris bawahi), seharusnya justru merupakan suatu pernyataan yang bersifat kumulatif: “kematian Kristus merupakan bagian dari grand scenario ALLAH dan didasarkan atas kerelaan Kristus”.
Karena Kristus adalah ALLAH itu sendiri maka Ia adalah Subyek, dan karenanya bukan obyek dari, grand scenario ilahi tersebut. Bahkan dalam Kolose 1:16 disebut “karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu… segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia.” Berbeda dengan kematian manusia yang disebabkan karena dosa manusia sendiri, kematian Kristus adalah satu-satunya kematian yang terjadi karena kehendak ALLAH (Yesaya 53:9-10; Galatia 1:4) dan kematian yang saatnya ditentukan sendiri oleh Kristus (Yesaya 53:12, Matius 27:50, Markus 15:37, Lukas 23:46, Yoh.10:17-18, Yohanes 19:30, I Yohanes 3:16). Kematian Kristus adalah kematian yang menelan kematian (Yesaya 25:8).
Ciptaan ALLAH yang kita nikmati saat ini penuh dengan paradoks. Ciptaan yang paling bernilai dalam hidup kita, seperti udara segar dan sinar matahari, dapat kita nikmati secara gratis, sementara itu, permata dan emas, yang sejatinya adalah batu dan tidak dapat menentukan mati hidupnya kita, diberi harga yang sangat mahal.
Kehidupan dan kematian Kristus juga diliputi banyak paradoks. IA yang adalah ALLAH itu sendiri harus lahir di kandang binatang, IA yang dapat mengubah air menjadi anggur, memberi makan 5000 orang sekaligus, menyembuhkan orang sakit, menghentikan badai, membangkitkan Lazarus bahkan mengampuni dosa, tidak berbuat perlawanan ketika dicacimaki dan diolok-olok, disiksa dan diremukkan dengan kesakitan. Bahkan, kayu salib-Nya pada dasarnya harus Ia pikul sendiri dan akhirnya makam-Nya pun diberikan karena belas kasihan. Kalau Yesus tetap bertahan di kayu salib, itu bukan karena ketiga paku yang menahan-Nya, tetapi semata karena KasihNya.
Paradoks terbesar Kristus adalah bahwa kita dapat menerima keselamatan dan pendamaian dengan ALLAH melalui kematian dan kebangkitan Kristus secara cuma-cuma. Kita untuk itu tidak perlu memberi Yesus apa-apa kecuali secara pribadi memberi diri kita sendiri melalui pertobatan dari dosa-dosa kita dan menerima Kristus sebagai Juru Selamat pribadi kita. Tetapi, kita harus selalu ingat paradoks tersebut bahwa walaupun keselamatan dan pendamaian tersebut gratis[5], tetapi sangat mahal karena untuk itu Yesus Kristus harus mengalami kehidupan dan kematian sedemikian (1 Petrus 1:19).
Oleh karenanya, sebagai penghargaan kita atas pengorbanan Yesus dan pendamaian dengan ALLAH yang sudah kita terima dariNya, kini sudah sewajarnya dan bahkan merupakan perintah Yesus sendiri bagi kita untuk membagikan kabar sukacita tentang pendamaian tersebut kepada sebanyak mungkin orang di tempat dan saat TUHAN tempatkan kita masing-masing. Damai dengan ALLAH adalah anugerah (grace), kabar dan kebutuhan paling utama dan mendesak bagi manusia di segala tempat dan zaman. Karena untuk anugerah pendamaian itulah, Kristus perlu dan harus mati dan bangkit. GRACE : God’s Redemption At Christ’s Expense.
Selamat Paska 2006!
Fabian Buddy Pascoal
- Untuk lebih rincinya tentang hal ini, disarankan untuk membaca, antara lain, buku D. James Kennedy dan Jerry Newcombe “What If Jesus had Never Been Born?” yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Bagaimana Jika Yesus Tidak Pernah Lahir
- Mereka yang tidak menerima Yesus sebagai Juru Selamat “…tidak memiliki hidup” (I Yohanes 5:12); Yohanes 3:18: “Barangsiapa percaya kepada-Nya, ia tidak akan dihukum; barangsiapa tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak Tunggal Allah.” Yohanes 3:36: “Barangsiapa percaya kepada Anak, ia beroleh hidup yang kekal, tetapi barangsiapa tidak taat kepada Anak, ia tidak akan melihat hidup, melainkan murka Allah tetap ada di atasnya.
- Yakobus 2:10: “Sebab barangsiapa menuruti seluruh hukum itu, tetapi mengabaikan satu bagian dari padanya, ia bersalah terhadap seluruhnya
- Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah” Yakobus 2:9 : “…oleh hukum itu menjadi nyata, bahwa kamu melakukan pelanggaran.”
- “Grace is free, but it is not cheap” diangkat secara jelas pertama kali oleh Dietrich Bonhoeffer, seorang teolog di German Evangelical church, yang bersatu dengan gerakan Confessing Church melakukan perlawanan terhadap upaya-upaya Adolph Hitler mendapatkan dukungan gereja-gereja Jerman atas agenda-agendanya. Di tahun 1937 Bonhoeffer menerbitkan The Cost of Discipleship, yang ditulisnya di penjara dan berhasil diselundupkan keluar untuk dijadikan buku. Dalam tulisannya tersebut ia menyerang konsep “karunia gratis” yang diangkat banyak gereja ketika itu bahwa kasih karunia ALLAH yang gratis tersebut dapat diterima secara serampangan tanpa pertobatan dan usaha merubah kehidupan penuh dosanya. 9 April 1945 Bonhoeffer dihukum gantung, hanya beberapa minggu sebelum pasukan sekutu mengambil alih dan membebaskan penjara yang ditempatinya.
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.