raksasa

Raksasa yang Baik Hati

Belum ada komentar 103 Views

Tidak lama setelah saya mulai melayani di jemaat, tepatnya di GKI Klaten tahun 1981, saya banyak memanfaatkan fasilitas pembinaan maupun berkonsultasi dengan staf Lembaga Pendidikan Kader (LPK) milik Sinode Gereja Kristen Jawa (GKJ) dan GKI Jawa Tengah di bilangan Samirono Baru di kota Yogya. Kadang-kadang bila saya berkunjung ke kompleks LPK yang sekarang disebut sebagai LPPS itu, beberapa kali saya melihat sebuah jip “Land Rover – long chassis” abu-abu diparkir di garasi.

“Ini mobil siapa?” Tanya saya kepada karyawan di situ.

“Oh… mobilnya Pak Reinders… pendeta Belanda…”

Dari seorang staf LPK saya mendapatkan keterangan bahwa Pak Reinders adalah pendeta pembinaan yang diperbantukan dari gereja Belanda untuk GKJ. Tugas utamanya adalah memfasilitasi jemaat-jemaat GKJ untuk mengembangkan program pembinaan di jemaat. Mendengar uraian tugasnya saya sebenarnya amat tertarik untuk bertemu dengan Pak Reinders. Namun hingga saya meninggalkan kota Klaten untuk kemudian memulai pelayanan di GKI Malang tahun 1984, saya tidak pernah sempat bertemu dan berkenalan dengannya. Baru sekitar tahun 1992, ketika saya memulai pelayanan saya di Gereja Kristen Indonesia Nederland (GKIN) saya berkenalan dengan Pak Reinders.

 

Pada suatu hari Pdt. Rudy Budiman, senior saya di GKIN, mantan dosen Perjanjian Baru di STT Duta Wacana – Yogya, mengajak saya berbicara.

“Purboyo, bagaimana menurut pendapatmu bila kita melibatkan pendeta-pendeta Belanda yang pernah bertugas di Indonesia untuk mendukung pelayanan kita?”

“Wah itu gagasan yang amat baik. Bila mereka bersedia tentu akan amat membantu. Bagaimanakah lalu ikatan kerjanya?”

“Terus terang saya sudah sempat mendekati seseorang. Dia pernah bekerja di Jawa Tengah. Saat ini ia masih melayani penuh di jemaat gereja gereformeerd di Amsterdam Barat. Tetapi sebentar lagi ia akan mulai dikurangi tugasnya untuk mempersiapkan diri memasuki masa pensiun. Ia mau bekerja paruh-waktu bagi GKIN.”

“Siapakah dia?”

“Pdt. Wim Reinders.”

“Yang pernah bekerja sebagai pendeta pembinaan di GKJ?”

“Benar. Kamu sudah mengenalnya?”

“Saya pernah mendengar tentangnya…”

Begitu rapat Majelis Jemaat GKIN menyetujui dan memutuskannya Pdt. Rudi Budiman, seorang penatua dan saya ditugasi untuk mendekati dan meminta beliau menjadi pendeta paruh-waktu GKIN.

 

Pada hari dan waktu yang telah disepakati kami tiba di pastori yang ditinggali Pdt.Reinders dan keluarganya di sebelah gedung gereja gereformeerd di Amsterdam Barat.

“Selamat pagi… selamat datang di rumah kami!” Sambut Pdt. Reinders dengan suara lantang namun ramah.

Ia adalah seorang Belanda asli berjenggot lebat dengan perawakan yang tinggi besar. Saya harus menengadah untuk dapat memandang matanya dan berbicara dengannya. Di sebelahnya berdiri Ibu Reinders yang hampir setinggi suaminya, ikut menyambut kami dengan senyuman lebar. Begitu memasuki rumah itu, saya langsung tahu bahwa penghuni rumah ini pernah tinggal di Indonesia, tepatnya di Jawa Tengah. Ukiran Jepara, wayang kulit, gong kecil dan banyak lagi bertebaran menghiasi ruang tamu yang terlihat rapi dan amat nyaman.

“Nama saya Wim Reinders… memang saya termasuk “raksasa”… tetapi tolong pangil saya Wim…”

“Dan saya Liesbeth… bukan Mevrouw atau Ibu Reinders…” sambung istrinya.

Dan kami pun saling berkenalan dalam suasana yang sangat menyenangkan.

“Monggo pinarak… (Jawa: Silakan duduk)…” Kata Pdt. Reinders dengan riang yang membuat saya dan sang penatua terheran-heran.

Pdt. Rudy Budiman tersenyum melihat kami dan berkata:

“Pdt. Reinders lama sekali bertugas di Jawa Tengah. Ia bahkan dapat berkhotbah dalam bahasa Jawa…”

“Wah…” seru saya dengan takjub.

“Saya tidak akan berani melakukannya, karena saya tidak terlalu menguasai bahasa Jawa yang halus…”

“Ah… Rudy agak berlebihan memuji saya. Itu kan dulu. Sekarang banyak istilah bahasa Jawa yang saya lupa…” ujar Pdt. Reinders.

 

Wim Reinders adalah seseorang yang amat teguh memegang prinsip, lugas sebagaimana pada umumnya orang Belanda, namun pengalamannya bekerja di antara orang Jawa di Jawa Tengah maupun di Suriname meninggalkan warna yang cukup jelas. Ia mengerti dan menghargai kepribadian Jawa, baik yang positif maupun yang negatif, misalnya mentalitas “alon-alon asal kelakon” (Jawa: biar lambat yang penting toh dilakukan/terjadi). Ia juga sangat penolong dan selalu siap membantu siapapun. Dan ia adalah seorang pekerja yang ulet dan mau bekerja keras. Amat membelajarkan dan menyenangkan bekerja sama dengan rekan sepertinya.

Sejak pertemuan pertama di rumahnya kami menjadi teman baik, kalau saya boleh menyebutnya demikian. Walau beda umur kami cukup besar, ia tidak pernah menganggap saya sebagai yuniornya, tetapi benar-benar sebagai rekan yang setara. Pertemuan para pendeta GKIN seminggu sekali rasanya sepi tanpa kehadirannya. Kerja sama dengannya dalam berbagai kepanitiaan dan pelayanan di lingkup GKIN juga selalu berjalan dengan baik. Sumbangsihnya bagi perkembangan dan pertumbuhan GKIN cukup besar dan tidak bisa diabaikan.

 

Wim Reinders adalah seorang pendeta yang baik. Walau terkadang sikap prinsipialnya disalahmengerti terutama oleh orang Indonesia, ia dicintai bahkan juga disukai oleh para remaja dan pemuda. Dalam banyak hal ia cocok dengan saya. Terkadang memang tak terhindarkan perbedaan pendapat di antara kami berdua atau antara dia dengan rekan-rekan yang lain. Tetapi kami selalu dapat menerima dan menyelesaikannya dengan baik. Dan ia adalah seseorang yang sangat serius dengan spiritualitasnya. Seorang yang dekat dengan Tuhan dan sesamanya.

Yang tak terlupakan adalah kesediaannya untuk menjadi pastor for pastor bagi saya pribadi. Terkadang di saat saya membutuhkan teman karena menghadapi masalah yang sulit saya bagi dengan orang lain yang tidak mengerti liku-liku profesi kependetaan, saya selalu dapat mengandalkannya. Kadang-kadang saya mempunyai kesan bahwa kedekatannya dengan saya, membuatnya membela saya. Tetapi kemudian akan menjadi jelas bahwa ia tidak pernah kehilangan obyektivitasnya. Dan yang indah adalah bahwa ia pun mau berbagi, bahkan pada suatu saat mencurahkan uneg-unegnya kepada saya yang jauh lebih muda darinya. Kami benar-benar rekan-rekan yang setara.

 

Saat ini Wim sudah benar-benar pensiun. Ia tidak lagi melayani GKIN, kecuali sesekali bersedia memimpin kebaktian. Bersama Liesbeth ia tinggal di sebuah rumah yang asri di Belanda timur, di sebuah kota kecil. Menurutnya ia sangat menikmati hari-harinya bersama Liesbeth di tempat tinggalnya yang baru, bersepeda, berjalan-jalan dan kadang-kadang menjaga cucu. Saya terkadang rindu untuk bertemu dengannya. Apalagi ketika pada suatu hari Damar dan Dian melihat-lihat album foto lama, Damar bertanya:

“Kapan kita ketemu lagi ya dengan Opa Wim dan Oma Liesbeth?”

Saya sangat bersyukur pernah mempunyai rekan dan sahabat dalam diri Wim Reinders. Darinya saya belajar dan mendapatkan banyak sekali. Baik bagi pelayanan saya maupun bagi hidup saya secara pribadi. Kiranya Tuhan memberi hari-hari pensiun yang menyenangkan bagi si raksasa yang baik hati itu.

 

 

Pdt. Purboyo W. Susilaradeya

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Refleksi
  • SLOW LIVING
    Setelah purna tugas, saya kadang-kadang merindukan suasana pedesaan seperti kehidupan masa kecil saya. Hidup tenang, sepi, tidak ada yang...
  • Apakah Aku Domba Yang Baik?
    sebuah refleksi diri setelah lama mengikuti Sang Gembala Yang Baik
    Gembala Yang Baik “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba dombanya,” adalah ungkapan Yesus yang...
  • SESAMI vs LIYAN
    Sesami dan liyan. Sesami, yang saya bahas di dalam tulisan ini, tidak ada hubungannya dengan wijen, tetapi masalah sesama...
  • LEGACY
    Sebagai bangsa Indonesia, sejarah mencatat bahwa para pemimpin bangsa meninggalkan legacy atau warisan kepada generasi setelah mereka. Tidak usah...
  • Seribu Waktu
    Seribu Waktu
    Entah, kenapa terlintas di benakku banyak hal tentang waktu. Karena banyaknya, kusebut saja seribu … padahal satu pun tak...