Pohon Natal yang Istimewa

Pohon Natal yang Istimewa

Belum ada komentar 116 Views

 

“Bapak, bulan depan hari Natal, kan?” tanya Ary, adik saya laki-laki pada suatu malam menyambut ayah saya pulang dari kantor.

“Benar. Memangnya kenapa?”

“Ya, memangnya ada apa sih?” tanya ibu saya sambil menggendong adik saya perempuan yang baru berumur sekitar satu setengah bulan.

“Tadi kan kamu sudah menanyakannya kepada Mama.”

“Eh… nggak apa-apa kok…”

Ayah saya melihat kepada Ary dengan tersenyum, lalu berkata: “Tolong, ambilkan buku Bapak di laci depan skuter.”

Ketika adik saya masuk di garasi, ayah saya menyusulnya dan bertanya lagi: “Ada apa to Ary…?”

“Eh… kalau nanti kita sudah membeli pohon Natal, bolehkah saya turut menghiasnya?”

“Tentu… hanya…”

“Bolehkah teman saya si Buyung membantu saya menghias pohon Terang kita?” potong adik saya dengan antusias.

“Begini Nak, kita lihat bulan depan ya. Nanti kita putuskan apakah kita akan membeli pohon cemara atau tidak.”

“Mengapa?” tanya adik saya tanpa dapat menyembunyikan kekecewaannya.

“Sekarang pohon cemara kan mahal. Padahal kita baru saja mengeluarkan banyak biaya untuk biaya perawatan Mama dan kelahiran Enny adikmu… Kamu mengerti kan?”

“Ya.” sahut adik saya pendek seraya bergegas meninggalkan ayah saya masuk ke kamarnya dan berdiri di sudut dengan sedih.


Sejak saya mampu mengingatnya, setiap tahun pada awal bulan Desember ayah saya membeli pohon cemara. Lalu kami bersama-sama menghiasnya. Tetapi adik saya masih terlalu kecil di tahun yang lewat, sehingga ia belum boleh naik tangga untuk menggantungkan hiasan di bagian atas pohon. Ayah saya berjanji bahwa di tahun berikutnya ia boleh membantu ayah saya melakukannya, karena ia sudah akan berumur tujuh tahun. Namun tampaknya di tahun ini janji itu tidak dapat dipenuhi.

Saya tidak tahu bagaimana harus membayangkan bulan Desember tanpa pohon Natal di rumah kami. Terus terang saja saya sendiri agak kecewa mendengar hal itu, walau saya dapat mengerti dan menerima alasannya. Masih segar dalam ingatan saya betapa selama mengandung adik saya, ibu saya harus keluar masuk rumah sakit karena kondisinya yang lemah. Dan sebelum melahirkan, ibu saya beberapa minggu dirawat di rumah sakit. Saya dapat membayangkan betapa besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk itu. Namun tetap saja saya merasa bahwa mestinya hal-hal khusus seperti pohon Natal perlu dikecualikan.

Menjelang akhir November adik saya bertanya: “Akankah ada pohon Natal di rumah kita?”

Ibu saya mengacak-acak rambut adik saya dengan penuh kasih dan menjawabnya: “Sabarlah. Mungkin Bapak mendapat uang Natal dari kantor.”

“Wah! Jadi ada harapan ya?”

“Mungkin lho… Jadi belum tentu. Yang penting kan kita bersukacita Tuhan Yesus lahir…”

Namun adik saya sudah meninggalkan ibu saya dengan riang dan tidak mendengar kata-kata beliau itu.


Akhir November adik saya menunggu kepulangan ayah saya dari kantor dengan berdebar-debar. Kami, ibu saya dan saya, turut tegang. Begitu suara skuter ayah saya terdengar memasuki halaman adik saya langsung menghambur ke luar. Belum sempat ayah saya mematikan mesin skuter ia menarik tangan ayah saya.

“Bagaimana Bapak?”

“Tunggu dulu dong. Bapak parkir skuter dulu, nanti Bapak jelaskan…”

Wajah adik saya kelihatan berubah mendengarnya. Dengan kecewa ia masuk ke kamarnya.

Walau dapat dimengerti, penjelasan yang diberikan ayah saya memang mengecewakan. Bulan itu sebenarnya ayah saya mendapatkan uang Natal. Akan tetapi uang Natal itu tidak dibayarkan kepada beliau karena sebelum tanggal gajian ayah saya sudah meminta sebagian dari gaji bulan itu.

Ayah saya memasuki kamar adik saya.

“Besok kan hari Sabtu. Bapak bekerja setengah hari. Kalau Bapak pulang dari kantor kita menghias pohon Natal. Mau membantu?”

Adik saya yang tadinya berdiri menangis di sudut, berbalik dengan wajah tidak percaya.

“Maksud Bapak, kita toh akan membeli pohon cemara?”

“Lihat saja besok.”

“Oke saya mau membantu. Buyung juga boleh ikut?”

“Tentu saja.”

Adik saya langsung berubah menjadi gembira. Ia kemudian mengambil salah satu mainannya dan asyik bermain sendiri.

Ibu saya menggamit ayah saya.

“Jangan menjanjikan sesuatu yang tidak dapat kau penuhi.”

“Jangan kuatir,” jawab ayah saya.

“Jadi kau hendak membeli pohon cemara? Duit dari mana?”

“Siapa bilang aku mau membeli pohon cemara?”

“Lalu bagaimana besok?”

“Besok, alih-alih membeli, kita akan membuat pohon Natal.”

“Bagaimana?”

“Surprise dong?”


Keesokan siangnya, pulang dari sekolah, agak sulit bagi ibu saya untuk menyuruhnya berganti pakaian. Ia sudah tidak sabar ingin menagih janjinya. Buyung, teman baiknya juga sudah hadir dan siap untuk membantunya. Tidak lama kemudian terdengar derum skuter ayah saya. Kedua anak itu langsung lari menghambur ke luar.

“Mana pohon cemaranya?” tanya adik saya dengan kecewa karena ia mengharapkan ayah saya membawa sebuah pohon cemara di belakang skuternya.

“Sabar dulu dong. Bapak ganti pakaian dulu.”

Setelah berganti celana pendek dan kaos ayah saya mengambil sebuah parang. Dengan heran adik saya bertanya: “Buat apa itu?”

“Kita tidak akan membeli pohon cemara. Kita akan membuatnya.”


Begitulah yang terjadi. Ayah saya yang memang amat kreatif itu membuat sebuah pohon cemara untuk pohon Natal. Batangnya terbuat dari batang pohon pisang yang sedang besarnya. Dahan-dahannya terbuat dari ranting-ranting pinus dari sebuah pohon pinus yang terdapat di kebun kosong di seberang rumah kami. Ranting-ranting itu ditancapkan dalam-dalam pada batang pohon pisang itu, sehingga kokoh.

“Batangnya pucat,” protes adik saya. “Ia tidak kelihatan sungguh-sungguh.”

“Tenang saja.” kata ibu saya. Beliau lalu mengambil kertas krep berwarna coklat dan hijau. Dengan sedikit usaha keluhan adik saya terobati.

“Tetap agak aneh lho kelihatannya.” kata adik saya lagi kurang puas.

“Tenang saja,” kata saya menghiburnya. “Nanti kalau sudah dihias, kamu tidak akan melihat bedanya dengan pohon cemara biasa.”

Dan benar. Setelah digantungi hiasan-hiasan Natal, slinger dan lilin-lilin. Pohon Natal kami kelihatan megah dan indah. Ia cukup tinggi. Hampir 2 meter. Biasanya pohon di rumah kami hanya sekitar 1,5 meter tingginya. Adik saya dan temannya tak berkedip melihatnya. Mereka juga kelihatan bangga karena turut menghiasnya.

“Bola yang merah itu aku yang menggantungnya.” kata adik saya dengan bangga seraya menunjuk ke atas. Ia menaiki tangga untuk melakukannya.

“Yang emas aku yang menggantungnya.” kata si Buyung tak mau kalah.

“Ayo kita coba nyalakan lilin-lilinnya.” kata ayah saya.

Ketika itu hari sudah mulai malam. Dan ketika beberapa lilin pada pohon Natal kami dinyalakan, kami berdiri dengan tak berkedip menyaksikannya.

“Ah sebentar lagi Bapak…” kata adik saya ketika ayah saya bermaksud memadamkan lilin-lilin itu.

“Kan sekarang ini hanya mencoba. Nanti tanggal 24 malam baru kita nyalakan semua.”

“Buyung boleh datang?”

“Tentu saja. Pada hari Natal siapapun yang mau boleh datang. Itulah maksud dan makna Natal yang sesungguhnya.”




Pdt. Purboyo W. Susilaradeya

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Refleksi
  • SLOW LIVING
    Setelah purna tugas, saya kadang-kadang merindukan suasana pedesaan seperti kehidupan masa kecil saya. Hidup tenang, sepi, tidak ada yang...
  • Apakah Aku Domba Yang Baik?
    sebuah refleksi diri setelah lama mengikuti Sang Gembala Yang Baik
    Gembala Yang Baik “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba dombanya,” adalah ungkapan Yesus yang...
  • SESAMI vs LIYAN
    Sesami dan liyan. Sesami, yang saya bahas di dalam tulisan ini, tidak ada hubungannya dengan wijen, tetapi masalah sesama...
  • LEGACY
    Sebagai bangsa Indonesia, sejarah mencatat bahwa para pemimpin bangsa meninggalkan legacy atau warisan kepada generasi setelah mereka. Tidak usah...
  • Seribu Waktu
    Seribu Waktu
    Entah, kenapa terlintas di benakku banyak hal tentang waktu. Karena banyaknya, kusebut saja seribu … padahal satu pun tak...