Palestina Milik Siapa?

Palestina Milik Siapa?

1 Komentar 242 Views

Penduduk di Palestina tidak saling tanya agama; nama seseorang tidak menandakan agama (tertentu), dan mereka saling mengasihi. Demikian sepenggal kalimat yang diucapkan Dubes Palestina untuk Indonesia, Fariz N. Mehdawi, dalam acara Bedah Buku “Palestina Milik Siapa? Fakta yang Tidak Diungkapkan Kepada Orang Kristen tentang Tanah Perjanjian” karya Gary M. Burge di gedung GKI Pondok Indah pada Sabtu, 21 Mei 2011 lalu.

Selain Pak Dubes sebagai narasumber utama, Komisi Perpustakaan yang menjadi penyelenggara acara tersebut mengundang Pendeta Stanley Rambitan dari GKJ yang juga dosen di STT Jakarta. Sementara itu Pendeta Purboyo sebagai moderator didampingi oleh Penatua Chandra Suria yang menjadi penerjemah saat diperlukan, karena Dubes menggunakan bahasa Inggris.

Buku yang judul aslinya adalah “Whose Land, Whose Promise?” terbitan tahun 2003 ini menurut Pdt. Rambitan merupakan pergumulan pribadi atas dasar pengalaman Burke hidup bersama bangsa Palestina dan Israel, dan perenungan-perenungan teologisnya sebagai pendeta Kristen Injili. Penulis juga sangat alkitabiah, kata Rambitan. Burge mendukung Alkitab yang mengatakan bahwa Israel pilihan Allah, tetapi timbul dilema dan pergumulan batin dalam dirinya: mengapa bangsa ini disebut milik Allah, kepunyaan Allah dan melalui bangsa ini dunia diberkati, tapi sikapnya kasar?

Perlakuan kasar ini digambarkan Burge secara detil karena selama berdiam di sana ia kerap menyusuri daerah-daerah rawan, dan melihat tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan tentara Israel terhadap penduduk Palestina. Burge juga menyaksikan buruknya keadaan pengungsi, penangkapan tanpa alasan dan tanpa proses hukum, pengusiran bahkan penghancuran rumah-rumah warga Palestina menggunakan bom atau buldozer yang lalu diambil alih dan diganti pemukiman baru warga Yahudi. Belum lagi blokade jalan ke pemukiman warga Palestina yang sering kita baca dan saksikan di media cetak atau televisi, yang mengakibatkan ekonomi Palestina mandek dan rakyat kelaparan.

Dari uraian Pdt. Rambitan, Pdt. Purboyo menyimpulkan bahwa Israel alkitabiah tidak sama dengan Israel sekarang. Perlakuan warga Israel pada warga Palestina sekarang ini tidak bisa ditoleransi. Burge menekuni isu ini dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yaitu bahwa Yesus sendiri tidak mementingkan tanah, sehingga dengan tegas Burge menyebutkan bahwa mendukung Israel sekarang sama dengan mendukung kejahatan!

Menurut Rambitan, pendapat Burge ini sah dari sisi Injili, namun dari segi etik ini adalah dosa. Rambitan juga mengkritik buku ini tidak cover-balance atau tidak imbang. Saat ini di tanah Palestina juga hidup orang Yahudi, maka pertanyaannya: bagaimana menyikapi ini dengan bijak: Tanah suci siapa dan Yerusalem itu kota sucinya siapa? Realitas ini harus diterima dan dicarikan jalan perdamaiannya karena orang Kristen di Palestina mengalami penderitaan berat seperti kaum muslimnya; Israel tidak membedakan Kristen dan Islam di Palestina.

Tanah Palestina yang menjadi bahan pertikaian ternyata tidak luas namun sangat indah. Seperti tayangan video oleh Bapak Dubes Fariz N. Mehdawi, jarak Palestina dari sisi selatan ke sisi utaranya hanya dua jam dengan naik mobil. Suhu udaranya pun beragam, dari 35 derajat Celcius sampai suhu ideal untuk menyimpan anggur. Di Yerusalem, ungkap Dubes, ada 50 mesjid, gereja Kristen, gereja Katolik dan gereja aliran-aliran Kristen lainnya. “Lucunya, kadang-kadang orang tidak bisa membedakan mesjid dan gereja karena keduanya bisa ada di satu tempat. Dan tidak ada yang peduli kalau salah masuk,” urainya.

Lalu beliau bercerita tentang kawan karibnya sejak sekolah menengah yang baru ia ketahui beragama Kristen setelah hendak menikah. “Abdalla (nama sang kawan, red.) berkata kalau ia sejak lahir memang Kristen,” tutur Dubes. “Waktu saya tanya mengapa ia tidak bilang, ia jawab karena saya tidak menanyakan,” lanjutnya disambut tawa hadirin. Banyak juga warga yang kawin campur, normal saja di sana. “Sejarah agama di Palestina berbeda dengan negara-negara lain, karena kami eksportir agama, baik agama Islam, Kristen, Judaisme, bukan importir agama seperti Indonesia,” urai Dubes. Secara bercanda ia juga mengatakan bahwa semua bapa leluhur memilih Palestina sebagai tempatnya. Israel seharusnya tanah universal, tidak bisa diklaim siapapun.

Jadi, kata Dubes, tidak ada masalah agama di Palestina. Masalahnya adalah politik; murni power dan interest, bukan agama. “Tapi agama digunakan terus oleh politik,” tambahnya.

Ada tiga macam kolonialisme, kata Dubes. Pertama, kolonialisme ekonomi seperti yang terjadi di Indonesia: apa yang kamu miliki yang bisa saya ambil. Kedua, mengambil yang kamu miliki dan mengambilmu juga, seperti terjadi di Australia dan Palestina. Terakhir, antara pertama dan kedua seperti terjadi di Afrika Selatan dan Algeria; menempati tanahnya dan tidak membasmi bangsanya. Saat ini kolonialisme sudah hilang dari dunia tetapi tidak di Palestina, kata Dubes. Ada 10 juta orang di Palestina: 5 juta Yahudi, 5 juta lagi Islam dan Kristen. Artinya, seperti kata Rambitan, warga Kristen dan Islam sama-sama menderita akibat kolonialisme tersebut.

Anggapan bahwa Yahudi tidak boleh masuk Palestina adalah salah, tegas Dubes. “Secara politik kami tidak peduli, apapun bagus. Tetapi Israel yang harus memilih,” katanya lagi. Ia tahu baik Israel maupun Palestina punya teritori sendiri, hanya batasnya di mana? Palestina menghendaki batas sesuai kesepakatan tahun 1967 tapi ini jadi masalah karena Israel tidak mau menaatinya dan terus berusaha menggeser batas itu. “Padahal Yesus dan nabi saja tidak setuju ini,” tukasnya. Negara Palestina membutuhkan dukungan saat ini terutama karena bulan September ingin jadi anggota PBB seperti negara lain di dunia yang memiliki hak itu.

Menurut Dubes, buku Burge tidak membahas Palestina secara politis tapi teologis dan etis. Ia menanyakan apakah Israel bisa mengklaim tanah berdasarkan Kitab Suci dan apakah Israel mengerti betul mengapa Allah menjanjikan tanah itu. Beliau juga mempertanyakan apakah tindakan kejam tersebut adalah tindakan kristiani. “Kalau kita belajar tentang Kristus yang mengasihi, berpihak pada yang lemah dan lain-lain, apakah ini (tindakan Israel) tepat?” tanyanya. Menurutnya, sekarang ini apa tidak lebih tepat mencari solusi yang realistis bahwa Palestina untuk semua, bukan untuk Israel saja atau Palestina saja? “Get married to become one country or divorce to become two countries,” imbuhnya.

Sesi tanya jawab pernyataan Pdt. Rambitan maupun Dubes menjadi ajang yang menarik dalam memahami isi buku dan isu ini. Semua pertanyaan dijawab dengan bijaksana oleh pembicara. Sebagai kesimpulan, Pdt. Purboyo mengatakan bahwa isu sekarang adalah tentang samakah Israel Alkitab dan Israel sekarang? Buku mengatakan tidak sama, banyak gereja juga mengatakan itu. Masalah lain adalah the state of Israel. Banyak yang tidak paham bahwa tidak hanya ada Jews Zionis tapi ada juga Jews ateis dan Kristen. Lalu klaim alkitabiah tersebut apakah bisa diterima atau tidak sebagai alasan sah Israel untuk menduduki Palestina. Bahwa bangsa butuh tanah tinggal itu tidak salah, namun kita tidak bisa memaksakan keyakinan kita kepada bangsa lain.

Kekerasan paling banyak terjadi oleh Israel, tapi juga dari garis keras Palestina. Selama hal itu terjadi, tidak akan ada damai. Seharusnya ini membuat kita berpikir apakah kekerasan didukung? Dan terakhir Pdt. Purboyo menyimpulkan bahwa kita harus mengupayakan perdamaian, dan harus bisa hidup berdampingan. Semua agama harus hidup berdampingan di bangsa manapun.

Masih banyak jemaat yang ingin bertanya tapi mengingat waktu sudah lewat, maka talk show ditutup pukul 13.10, tepat tiga jam sejak pembukaan acara. Sebelum ditutup, ucapan terimakasih disampaikan oleh Ketua Komisi Perpustakaan, Ibu Erna Fernadi, untuk Dubes dan semua pihak. Penyerahan cendera mata untuk Dubes dan Pdt. Rambitan pun disampaikan dari GKIPI dan BPK Gunung Mulia. Sebagaimana awalnya, acara pun ditutup dengan doa pada Tuhan Yesus atas terselenggaranya acara ini dengan baik.

(Lily G. Nababan)

1 Comment

  1. miya

    Terjemahan yang paling tepat dari buku tersebut adalah “Tanah siapa,Perjanjian siapa.
    Bila laporan dari ibu Llily G Nababan itu lengkap,maka saya menilai dalam diskusi bedah buku tersebut kuranglah lengkap dan tidak berimbang karena tidak adanya pihak yang merepresentasikan Israel , yang hanya ada Duta Besar Palestina (Fariz N Mehdawi),untuk Indonesia dan tidak ada bahasan sejarah konflik timur tengah,seperti perjanjian Belfour dan kemerdekaan Israel tahun 1948,karena bicara Israel tidak bisa dilepaskan dengan Orang Yahudi,Agama Yahudi dan Bible.
    Usulan saya ,supaya bisa lebih objektip buku tersebut bisa ditulis dalam website,sehingga jemaat bisa menanggapi isi buku tersebut ,bukan menanggapi isi acara bedah buku.

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Artikel Lepas
  • Kami Juga Ingin Belajar
    Di zaman ini, dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin cepat, manusia justru diperhadapkan dengan berbagai macam masalah...
  • KESAHAJAAN
    Dalam sebuah kesempatan perjumpaan saya dengan Pdt. Joas Adiprasetya di sebuah seminar beberapa tahun lalu, ia menyebutkan pernyataan menarik...
  • Tidak Pernah SELESAI
    Dalam kehidupan ini, banyak pekerjaan yang tidak pernah selesai, mulai dari pekerjaan yang sederhana sampai pekerjaan rumit seperti mengurus...
  • Mengenal Orang Farisi
    Bedah Sejarah Israel Di Masa Yesus
    Arti Kata Farisi Kata Farisi—yang sering diterjemahkan sebagai ‘memisahkan/terpisah’— menunjukkan sikap segolongan orang yang memisahkan diri dari pengajaran—bahkan pergaulan—...
  • Mengenal Sosok Herodes
    Bedah Sejarah Israel Di Masa Yesus
    Herodes dalam Injil Banyak orang tidak terlalu menaruh perhatian pada sosok Herodes dalam Injil. Kebanyakan mereka hanya tahu bahwa...