Menghormati Tuhan-Menghargai Sesama

Menghormati Tuhan-Menghargai Sesama

1 Komentar 1503 Views

1. Hari Sabtu, 9 April 2011, adalah hari yang kelam dalam perjalanan GKI Pondok Indah sebagai tubuh Kristus. Pada hari itu untuk pertama kalinya terjadi, seorang anggota jemaat GKI Pondok Indah mengacaukan dan melecehkan sebuah kebaktian peneguhan dan pemberkatan pernikahan.

Begitu pendeta yang memimpin ibadah selesai mengucapkan “ayat pembukaan”, ia, bersama suaminya, masuk dari pintu samping di dekat tempat duduk Majelis Jemaat, langsung menyambar mikrofon di mimbar kecil. Setelah mendapati mikrofon itu tidak bekerja, ia, bersama suaminya, berdiri di hadapan pengantin dan jemaat, berteriak-teriak sambil sesekali menuding-nuding ke pendeta yang berdiri di belakang mimbar. Tidak terlalu jelas apa sebenarnya maksud perbuatannya ini. Setidaknya dengan cara ini ia menyatakan kembali, –beberapa bulan terakhir ini ia telah bebeberapa kali mengutarakannya dengan cara lain,– ketidaksetujuannya atas pernikahan yang terjadi saat itu.

Sempat terjadi kekacauan kecil waktu itu. Seorang penatua berusaha menghentikan si anggota jemaat dengan menariknya. Sang suami menghalangi upaya si penatua itu, sementara seorang penatua lain berusaha menenangkannya. Dan beberapa penatua lain berjaga-jaga di dekat pengantin. Akhirnya setelah beberapa saat, sang anggota jemaat bersama suaminya keluar gedung gereja melalui pintu utama, menaiki mobil yang sudah siap menantikan mereka dan langsung pergi. Rupanya tindakan sang anggota jemaat itu sudah direncanakan dengan lumayan rapi.

Ada beberapa orang yang mengomentari kejadian itu sebagai sesuatu yang biasa terjadi di gereja tertentu. Barangkali memang demikian halnya. Tetapi peristiwa ini terjadi di gereja kita, GKI, tepatnya di jemaat kita, GKI Pondok Indah. Dalam bahasa Belanda ada ungkapan yang amat tepat untuk ini: “Zo zijn onze manieren niet!” (“Ini tidak sesuai dengan tata sopan-santun kita!”). Dan memang tindakan sang anggota jemaat bukanlah sesuatu yang lazim dilakukan dalam persekutuan orang percaya yang kita sebut sebagai jemaat Tuhan, tubuh Kristus. Namun menurut hemat saya, ini bukan cuma masalah etiket bergereja atau berjemaat.

2. Hampir setiap hari Minggu pagi terjadi perdebatan seru di rumah kami, antara istri saya dan anak kami. Pasalnya adalah soal pakaian yang dipandang pantas untuk menghadiri kebaktian remaja. Anak saya berpendapat bahwa memakai celana panjang jin dan kemeja, bukan t-shirt, sudahlah amat baik. Tetapi istri saya berkeras bahwa pakaian yang patut untuk menghadiri kebaktian Minggu adalah rok. Dan ini belum mempersoalkan jenis sepatu yang juga sebaiknya dipakai.

Ini mirip dengan perdebatan kecil yang terkadang terjadi antara Majelis Jemaat GKI Pondok Indah, yang diwakili beberapa penatua perempuan, dengan para katekisan perempuan yang hendak dibaptis dan mengaku percaya. Beberapa katekisan, terutama yang muda, berpendapat bahwa  celana panjang dan blus, atau rok terusan berwarna gelap, sudahlah amat pantas bagi mereka yang menerima baptisan atau mengaku percaya. Tetapi para penatua perempuan, sebagaimana kebiasaan di GKI Pondok Indah, menegaskan bahwa pakaian yang patut dipakai oleh mereka adalah rok terusan berwarna putih, dan sedapatnya dengan sepatu putih juga atau hitam. Dan tentunya perdebatan kecil yang sama terjadi dengan para katekisan laki-laki, yang amat gemar berpakaian tidak formal, atau santai.

Namun ini bukan sekadar soal pakaian yang pantas atau tidak, atau bahkan masalah kebiasaan yang tepat atau tidak. Tetapi di baliknya terdapat sesuatu yang jauh lebih serius yaitu sikap terhadap ibadah itu sendiri, yang antara lain (dapat) ditunjukkan melalui etiket berpakaian atau yang kerap kita kenal dengan dress code. Etiket berpakaian memang tidak dapat digunakan sebagai ukuran mutlak sikap terhadap ibadah. Tetapi cara berpakaian banyak orang akhir-akhir ini, yang terkadang pula ditunjukkan oleh beberapa pengunjung kebaktian Minggu, juga di GKI Pondok Indah, cukup memrihatinkan.

Bila seseorang diundang untuk ke sebuah pesta pernikahan, lazimnya ia akan berusaha untuk berpakaian sebaik mungkin. Bukan hanya demi dirinya sendiri. Tetapi demi menghormati si pengundang yang telah menghargainya dengan mengundangnya ke pesta itu. Begitu pun bila misalnya seseorang diundang untuk menghadiri sebuah resepsi oleh perusahaan tempatnya bekerja, untuk menyambut kedatangan presiden direktur dari kantor pusat di luar negeri. Lazimnya untuk itu ditetapkan dress code tertentu, misalnya laki-laki diharapkan memakai jas dan dasi, dan perempuan memakai long dress. Bukan sekadar demi kerapian dan ketertiban resepsi, tetapi demi menghormati sang presiden direktur. Oleh karena itu bisa pula dibayangkan bagaimana bila seseorang diundang untuk menghadiri audiensi dengan menteri atau bahkan presiden.

Namun anehnya, sikap serupa tidak terlalu tampak dalam etiket berpakaian ketika menghadiri ibadah. Dalam hal ini mungkin saya termasuk ke dalam kelompok tradisional. Kalau saya ke pesta atau resepsi resmi mesti rapi, maka menghadiri ibadah pun setidaknya juga mesti demikian. Tetapi pendapat dan selera setiap orang tentang ini bisa saja berbeda. Belum lagi bila kita mempertimbangkan hak setiap orang untuk memutuskan sendiri caranya berpakaian.

Lalu perlukah gereja/jemaat menetapkan  dress code untuk ibadah (Minggu)? Menurut hemat saya tidak. Sebagaimana yang berlaku dalam khidupan kita dengan Tuhan, pada hakikatnya kita mengamini,–setidaknya di gereja kita, GKI,– bahwa tidak ada “aturan baku” dari apa yang boleh/pantas atau tidak dilakukan. Yang ada adalah prinsip dasarnya, yaitu bagaimana relasi kita dengan Tuhan, dan dengan sesama kita.

Maka sebagai orang-orang percaya yang “dewasa”, kita mestinya dapat menerjemahkan sendiri prinsip dasar itu ke dalam berbagai pertimbangan, keputusan dan tindakan, termasuk etiket berpakaian. Begitu pun, berkaitan dengan insiden yang menyedihkan di atas, jemaat kita tidak perlu menetapkan sikap atau tindakan apa yang boleh/pantas atau tidak dilakukan di tengah ibadah. Masalah utamanya lalu adalah sikap terhadap ibadah dalam terang relasi kita dengan Tuhan dan dengan sesama.

3. Ada banyak kisah dan contoh di dalam Alkitab yang dapat kita jadikan dasar untuk merefleksikan  sikap kita sebagai orang percaya terhadap ibadah. Saya memilih sebuah peristiwa yang penting dalam sejarah ibadah Israel, dalam 2 Tawarikh 5-7.

Dalam teks di atas dikisahkan betapa Bait Allah telah usai dibangun. Dan umat Allah tiba-tiba dihadapkan pada sebuah momen perubahan yang tak dapat lagi diputar balik. Mereka tiba  di ambang era yang baru, khususnya dalam hidup peribadahan. Salomo mengumpulkan para tua-tua Israel, pemimpin suku dan seluruh kepala kaum, seluruh wakil umat Allah. Tabernakel dibawa masuk ke tempatnya yang khusus dalam ruang maha suci. Para pemusik dan pujian memimpin umat memuji dan memuliakan Tuhan, menyanyikan mazmur.

Lebih daripada biasanya, ibadah kepada Allah saat itu menjadi begitu mengesankan dan indah. Bukan hanya karena dentingan berbagai alat musik dan nyanyian yang dilantunkan, tetapi karena bertambah panjangnya daftar anugerah Tuhan yang mereka terima dan alami sebagai umat-Nya. Memang hakikat ibadah adalah pengucapan syukur dan pujian atas Tuhan, yang kasih setia-Nya tak pernah lekang oleh apa pun. Dan bukan sekadar upacara peresmian Bait Allah, yang pada akhirnya dapat saja bergeser menjadi upacara pemuliaan Salomo, yang paling berjasa dalam perjuangan menuntaskan pembangunannya.

Ibadah Israel, yang diilhami oleh ibadah-ibadah suku dan religi setempat, sejak awalnya sudah secara mendasar berbeda dari sumbernya. Ia adalah ibadah yang tidak pernah berpusat pada umat, kebutuhan, maupun dambaan mereka. Tetapi ibadah yang sungguh-sungguh ditujukan kepada Tuhan yang maha baik, dan yang kasih setia-Nya untuk selama-lamanya. Ibadah yang pada hakikatnya adalah perjumpaan umat dengan Tuhan, mensyukuri kehadiran-Nya dalam segala aspek kehidupan, serta memuji Nama-Nya.

Yang juga amat menarik untuk dicermati adalah refleksi Salomo dalam ibadah syukur seusai pembangunan itu. Dengan rendah hati ia menyatakan bahwa ia hanya dapat menyelesaikan pembangunan ini berkat segala upaya yang sudah dilakukan mendiang ayahnya, Daud. Tetapi lebih mendasar lagi ditegaskannya bahwa betapa pun megah dan indahnya “rumah” yang dibangun dan dikhususkannya bagi Allah itu, belum tentu akan berkenan di mata Allah. Maka dengan tulus, bersama segenap umat Israel, Salomo memohon kepada Allah untuk berkenan menempatinya, dan berdiam di antara umat dan hamba-hamba-Nya.

Begitu pun mestinya ibadah kita saat ini. Ibadah yang adalah manifestasi dari umat (baca: segenap jemaat) yang, walau sebenarnya tidak layak, diperkenankan datang kepada Tuhan. Ibadah yang oleh karena itu, tidak pernah boleh berpusat pada diri seseorang atau beberapa orang, bahkan juga tidak berpusat pada jemaat itu sendiri sebagai entitas, melainkan hanya pada Tuhan. Ibadah adalah perjumpaan antara Tuhan dengan jemaat-Nya. Apa pun bentuk dan motivasi ibadah itu, ia tidak pernah boleh menjadi ajang, atau bahkan alat, untuk kepentingan atau apa pun yang lain. Sebab apabila itu terjadi, maka itu berarti tidak adanya respek terhadap Tuhan dan jemaat-Nya.

Sikap Salomo yang rendah hati, yang menyadari sepenuhnya siapa dirinya di hadapan Tuhan, yang dalam relasinya dengan Tuhan tidak pernah menganggap bahwa dirinya sendiri di atas umat, adalah sikap yang setidaknya telah membuat Allah berkenan tinggal di Bait Allah yang dibangun bagi-Nya. Sikap yang mestinya juga menjadi sikap mendasar kita terhadap segala bentuk ibadah kita, khususnya di sini, di gereja kita, GKI, di jemaat kita, GKI Pondok Indah. Sikap menghormati Tuhan dan menghargai sesama orang percaya.

4. Bagi saya, tetap saja tidak jelas maksud si anggota jemaat di atas, yang bersama suaminya telah mengacaukan dan melecehkan sebuah kebaktian peneguhan dan pemberkatan pernikahan. Apakah dengan itu ia bermaksud menggagalkan pernikahan yang tidak disetujuinya itu? Atau barangkali ia ingin agar pendapatnya, yang walau berkali-kali telah diutarakannya dengan berbagai cara, didengar dengan baik oleh segenap jemaat dan Majelis Jemaat GKI Pondok Indah, warga jemaat gereja lain yang juga hadir saat itu, serta segenap keluarga mempelai? Ataukah ia sekadar ingin memuaskan dirinya sendiri? Tidak ada seorang pun yang benar-benar tahu, kecuali dirinya sendiri dan Tuhan.

Tetapi kenyataan bahwa anggota jemaat itu telah begitu sampai hati untuk melakukannya, kiranya ini menjadi pokok refleksi yang penting dari kita semua, warga jemaat Tuhan, khususnya di GKI Pondok Indah. Refleksi atas sikap yang patut terhadap ibadah, serta atas sikap menghormati Tuhan dan menghargai sesama orang percaya.

5. “Being brilliant is no great feat if you respect nothing.” (Goethe)

Pdt. Purboyo W. Susilaradeya

1 Comment

  1. markus

    saya baca ikut merasa sedih dan prihatin, yang penting doakan orang itu. biarkan ini menjadi pelajaran.
    terima kasih, menjadi berkat buat saya. Tuhan memberkati.

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Refleksi
  • SLOW LIVING
    Setelah purna tugas, saya kadang-kadang merindukan suasana pedesaan seperti kehidupan masa kecil saya. Hidup tenang, sepi, tidak ada yang...
  • Apakah Aku Domba Yang Baik?
    sebuah refleksi diri setelah lama mengikuti Sang Gembala Yang Baik
    Gembala Yang Baik “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba dombanya,” adalah ungkapan Yesus yang...
  • SESAMI vs LIYAN
    Sesami dan liyan. Sesami, yang saya bahas di dalam tulisan ini, tidak ada hubungannya dengan wijen, tetapi masalah sesama...
  • LEGACY
    Sebagai bangsa Indonesia, sejarah mencatat bahwa para pemimpin bangsa meninggalkan legacy atau warisan kepada generasi setelah mereka. Tidak usah...
  • Seribu Waktu
    Seribu Waktu
    Entah, kenapa terlintas di benakku banyak hal tentang waktu. Karena banyaknya, kusebut saja seribu … padahal satu pun tak...