Masa Pra Paska (h) di GKI kini mengikuti jejak gereja-gereja lainnya, yaitu dengan memperingatinya selama enam minggu, atau tepatnya empat puluh hari. Perhitungan ini tidak termasuk hari Minggu, sebab umat Tuhan tidak pernah berpuasa pada hari Minggu. Tiap hari Minggu adalah peringatan hari kebangkitan Tuhan. Dengan demikian, masa Pra Paska berjumlah 6 minggu (6 x 6 = 36 hari) ditambah empat hari. Jadi hari pertama masa Pra Paskah jatuh pada hari Rabu. Inilah yang diperingati sebagai Rabu Abu.
Pada masa-masa yang lalu, GKI merayakan 7 minggu Pra Paskah. Mengapa? Ada dua kemungkinan:
- Karena gereja kita tidak pernah merayakan Rabu Abu, sehingga perayaan hari pertama ini digeser ke hari Minggu sebelumnya, lalu dianggap sebagai minggu “Pra-Paskah Pertama.” Jumlah minggu Pra Paskah pun menjadi tujuh.
- sejarah gereja, pernah muncul tradisi di mana seminggu sebelum memasuki masa Pra Paskah, diadakan “Persiapan Pra Paskah.” Kebiasaan ini sudah lama dihilangkan, karena masa Pra Paskah sendiri sebenarnya adalah masa persiapan. Aneh jika kita harus mempersiapkan diri untuk masa persiapan.
Apapun penyebabnya, selama ini GKI telah memiliki kebiasaan menghayati masa Pra Paskah yang tidak tepat. Ini bukan soal pilihan atau selera, namun soal perlunya meluruskan kembali tradisi yang tidak memiliki dasar teologis/liturgis. Itulah sebabnya Persidangan Majelis Sinode GKI tahun lalu telah menetapkan perlunya kita memperbaiki kesalahan ini, dengan menetapkan bahwa masa Pra Paskah akan kita hayati selama enam minggu.
O, ya, masih ada satu lagi hal yang mengganjal. Terkadang orang berkata, masa Pra Paskah itu sama dengan minggu-minggu Sengsara. Padahal tidak. Minggu Sengsara jatuh pada hari Minggu terakhir sebelum Hari Paskah. Sedangkan minggu-minggu sebelumnya disebut sebagai minggu-minggu Pra Paskah. Mengapa? Karena kita baru memperingati kesengsaraan Kristus seminggu sebelum Ia disalib, tepatnya mulai saat Ia memasuki Yerusalem dan disambut dengan lambaian daun palma. Itulah sebabnya hari Minggu sebelum Paskah itu disebut juga dengan Minggu Palma.
Paskah Kristiani berasal dari Paskah Yahudi. Pada zaman Perjanjian Lama, Paskah merupakan peringatan keluarnya bangsa Israel dari Mesir setelah setiap rumah mengorbankan seekor anak domba dan menyapukan darahnya ke ambang pintu masing-masing. Dalam tradisi Israel, Paskah didahului oleh 40 hari masa persiapan yang dimulai dengan Hari Penebusan (Yom Kippur) dan melambangkan 40 tahun perjalanan Israel di padang gurun. Perayaan Paskah Kristiani mengikuti pola Paskah Yahudi, sebab kita pun mengenal Anak Domba Paskah yang dikorbankan, yaitu Yesus Kristus. Bagi kita, makna 40 hari ini dihubungkan dengan masa persiapan Yesus menghadapi pelayanan-Nya, dengan berpuasa 40 hari lamanya di padang gurun.
Seperti dijelaskan di atas, Rabu Abu adalah hari pertama masa Pra Paskah (Lent). Lent adalah masa pertobatan, pemeriksaan batin dan berpantang guna mempersiapkan diri bagi Kebangkitan Kristus dan Penebusan dosa kita. Pada tahun ini Rabu Abu jatuh pada tanggal 25 Februari yang akan datang.
Pada hari Rabu Abu, umat yang datang ke gereja Katolik Roma diberi tanda salib dari abu di dahinya sebagai simbol untuk mengingatkan pada ritual Israel kuno ketika seseorang menabur abu di atas kepalanya atau di seluruh tubuhnya sebagai tanda kesedihan, penyesalan dan pertobatan. Abu yang dipergunakan berasal dari daun-daun palma yang telah diberkati pada perayaan Minggu Palma tahun sebelumnya, dan telah dibakar.
Bapa Pius Parsch, dalam bukunya “The Church’s Year of Grace” menyatakan bahwa “Rabu Abu Pertama” terjadi di Taman Eden setelah Adam dan Hawa berbuat dosa. Tuhan mengingatkan mereka bahwa mereka berasal dari debu tanah dan akan kembali menjadi debu. Biasanya pemberian tanda tersebut disertai dengan ucapan, “Ingatlah, kita ini abu dan akan kembali menjadi abu” (Kej. 3:19) atau “Bertobatlah dan percayalah kepada Injil”.
Sejak lama, bahkan berabad-abad sebelum Kristus, abu telah menjadi tanda tobat. Misalnya, dalam Kitab Yunus dan Kitab Ester. Ketika Raja Niniwe mendengar nubuat Yunus bahwa Niniwe akan ditunggangbalikkan, maka turunlah ia dari singgasananya, ditanggalkannya jubahnya, diselubungkannya kain kabung, lalu duduklah ia di abu. (Yunus 3:6). Dan ketika Ester menerima kabar dari Mordekhai, anak dari saudara ayahnya, bahwa ia harus menghadap raja untuk menyelamatkan bangsanya, Ester menaburi kepalanya dengan abu (Ester 4C:13). Di dalam Mazmur 102:10, penyesalan juga digambarkan dengan “memakan abu”: “Sebab aku makan abu seperti roti, dan mencampur minumanku dengan tangisan.”
Umat Katolik menganggap hari Rabu Abu sebagai hari untuk mengingat kefanaan dan keterbatasan manusia. Tanda abu pada dahi mendorong umat untuk bertobat, sekaligus sebagai tanda akan ketidakabadian dunia dan tanda bahwa satu-satunya keselamatan ialah dari Tuhan, Allah kita. Pada hari tersebut, umat Katolik berusia 18-59 tahun diwajibkan berpuasa, dengan batasan makan kenyang paling banyak satu kali, dan berpantang.
Jemaat Kristen Protestan memeringati hari Rabu Abu tanpa pembubuhan abu di dahi. Tradisi puasa umat Protestan juga bukan sekedar ibadah yang “ikut-ikutan” dengan saudara-saudara kita umat Katolik atau agama lainnya. Kita melaksanakan puasa karena sesungguhnya puasa dipakai oleh Tuhan untuk melatih rohani kita agar spiritualitas kita semakin terbuka untuk menghayati pertobatan sebagai sikap hidup. Pertobatan yang dimaksud adalah agar kehidupan kita makin berkenan di hati Tuhan dan setia memelihara kekudusan hidup. Itulah sebabnya makna pertobatan bukan terletak pada upacara lahiriah dan kebiasaan keagamaan, melainkan pada pertobatan hati. Yoel 2:13 berkata: “Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu”. Jadi yang dikehendaki oleh Tuhan dalam ibadah puasa adalah “hati yang mau dikoyakkan” sehingga kita dengan sungguh-sungguh menyesali semua kesalahan dan dosa kita. Kita diajak untuk mengalami kasih dan pengampunan Allah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Sebab Yahweh adalah Allah yang pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia, dan Ia menyesal karena hukuman-Nya (ayat 13b).
Di sisi lain, nabi Yoel menegaskan bahwa Allah adalah Tuhan yang berdaulat penuh atas hidup manusia. Itulah sebabnya Yoel 2:14 diawali dengan perkataan “siapa tahu….” Dengan demikian, pada hakikatnya Allah senantiasa bertindak berdasarkan keputusan dan kehendak-Nya yang berdaulat, dan tak seorang pun dapat mengendalikan atau mengatur kehendak Allah dengan berbagai doa dan puasanya. Karena itu, pada saat kita berpuasa, kita tidak boleh memiliki motivasi lain kecuali mau merendahkan diri secara total di hadapan Allah. Melalui puasa, kita ingin mengekspresikan sikap pertobatan kita dalam perbuatan, bukan sekedar rangkaian kata-kata yang saleh. Nabi Yoel mengajak umat Israel untuk bertobat dengan melakukan puasa yang kudus (Yoel 2:15).
Wujud dari puasa yang kudus tersebut tidak hanya tertuju kepada pribadi atau perseorangan tertentu, tetapi melibatkan seluruh elemen atau seluruh tingkat usia dan berbagai generasi umat Allah (Yoel 2:16-17). Mereka semua dipanggil untuk menangis di antara balai depan dan mezbah sambil berkata: “Sayangilah, ya Tuhan umat-Mu, dan janganlah biarkan milik-Mu sendiri menjadi cela, sehingga bangsa-bangsa menyindir kepada mereka” (Yoel 2:17). Jadi pertobatan yang dituntut oleh Allah bukan hanya ditujukan secara individual belaka, tetapi juga suatu pertobatan yang bersifat komunal, yaitu pertobatan sebagai umat Allah (kahal Yahweh). Itulah sebabnya tindakan puasa sebagai wujud dari pertobatan umat diungkapkan oleh nabi Yoel dalam bentuk perintah (imperatif), yaitu: “Kumpulkanlah bangsa ini, kuduskanlah jemaah” (Yoel 2:16).
Sering kali makna puasa hanya dihayati sebagai bentuk kesalehan pribadi. Padahal Tuhan menghendaki agar kita selaku pribadi dan selaku persekutuan umat konsisten dalam memberlakukan kekudusan hidup. Itulah sebabnya sejak dahulu, selama masa Pra Paskah, gereja-gereja Tuhan senantiasa memotivasi dan memberlakukan puasa kepada seluruh anggota jemaat agar mereka, selaku persekutuan yang telah ditebus oleh Kristus, sungguh-sungguh mau setia untuk memelihara hidup kudus dengan sikap bertobat. Kita sungguh-sungguh berdamai dengan Allah yang akan memampukan kita untuk berdamai dengan diri sendiri dan berdamai dengan sesama.
Saat kita berpuasa juga dapat kita pakai sebagai media untuk melatih dan mempertajam spiritualitas dan iman yang kita miliki, sehingga setelah berpuasa, kita mengalami perubahan hidup dan menjadi lebih arif dalam menghadapi berbagai persoalan dan pergumulan yang terjadi. Hasil dari puasa adalah kemampuan spiritual untuk mengendalikan diri kita dengan lebih optimal, serta penuh kasih dan pengampunan kepada sesama. Karena itu menegakkan kekudusan Allah tidak dapat dibenarkan dengan penggunaan cara-cara kekerasan, sebab setiap cara penggunaan kekerasan selalu bertentangan dengan kasih dan pengampunan-Nya.
Selain itu dalam menghayati sikap pertobatan, kita tidak boleh melakukan puasa secara demonstratif sehingga orang banyak mengetahui dan memberi pujian kepada kita, sebab makna pertobatan yang dikehendaki oleh Tuhan Yesus adalah “spiritualitas yang tersembunyi,” yaitu sikap rohani yang tidak mencari nama, pujian atau penghargaan manusia. Di dalam Mat. 6:1 Tuhan Yesus berkata: “Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di surga.” Allah sebagai Bapa hanya melihat yang tersembunyi (Mat. 6:4). Ia hanya peduli kepada umat-Nya yang sungguh-sungguh merendahkan diri dan bertobat secara tulus serta mengasihi-Nya tanpa syarat. Karena itu makna pertobatan adalah sikap hati yang mau berubah di hadapan Allah, dan perubahan hidup itu dapat dirasakan oleh setiap orang di sekitarnya.
Salah satu bentuk pertobatan adalah sikap yang tidak terbelenggu oleh harta, kekayaan dan uang. Itulah sebabnya di dalam Mat. 6:19, Tuhan Yesus berkata: “Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; sebab di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya.” Orang yang bertobat pada hakikatnya menyatakan bahwa hidupnya sepenuhnya milik Allah dan tidak lagi dimiliki oleh kuasa lain. Sebaliknya orang yang tidak bertobat, walau secara ritual telah banyak berdoa dan berpuasa, masih tetap dimiliki dan dibelenggu oleh kuasa dunia ini. Bagi mereka, makna puasa hanya dihayati sebagai “diet” terhadap makanan dalam kurun waktu yang cukup panjang. Selama masa puasa mungkin mereka mampu menolak setiap makanan yang ada di depannya, tetapi mereka menjadi sangat serakah setelah puasa selesai. Juga mereka mungkin sangat taat untuk tidak menyentuh setiap makanan selama masa berpuasa, tetapi tak lama kemudian mereka merebut secara sewenang-wenang dengan tipu daya setiap “makanan” yang dimiliki oleh sesamanya. Dalam hal ini mereka berpuasa bukan karena mereka bertobat dan menyesali semua kesalahan atau dosanya, tetapi melakukannya agar dapat memperoleh pahala dari Tuhan dan dosa-dosa yang diperbuat sebelumnya diampuni. Padahal sesungguhnya, jiwa dan roh mereka masih terikat oleh kuasa Mammon.
Bukankah kita menyadari betapa sulitnya bagi kita untuk melepaskan diri dari kuasa Mammon? Tuhan Yesus berkata: “Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada” (Mat. 6:21). Selaku umat percaya kita dipanggil oleh Tuhan agar kita berpuasa untuk melawan kuasa Mammon. Makna puasa dalam pengertian ini ialah melawan segala bentuk nafsu konsumerisme dan dorongan materialisme, sehingga hidup kita tertuju hanya untuk mempermuliakan nama-Nya.
Sampai sejauh mana kita telah mempraktikkan spiritualitas yang bebas dari keterikatan dengan harta milik dan kuasa Mammon? Sebenarnya ketika kita mampu melepaskan diri dari keterikatan itu, kita telah mempraktikkan puasa dalam pengertian yang sesungguhnya. Mungkin kita tidak pernah “diet” makanan selama masa berpuasa, tetapi sesungguhnya jiwa dan roh kita telah berpuasa, sebab terbukti kita telah mampu menolak segala keinginan dan hawa nafsu dunia ini.
Jadi bagaimanakah sikap hidup kita saat ini? Apakah kita semakin menghayati makna hari Rabu Abu sebagai sikap pertobatan agar hidup kita tidak lagi dibelenggu oleh kuasa dunia ini dan mau memberlakukan kasih dan pengampunan Allah secara nyata kepada setiap orang? Apakah spiritualitas kita semakin jernih sehingga dengan penuh empati kita dapat merasakan kebutuhan orang-orang yang menderita dan kelaparan?
(Diambil dari Wikipedia; Denmas Marto: Renungan Malam-Maret 2003; Pdt. Yohanes Bambang Mulyono: Makna Puasa Sebagai Pertobatan-6 Februari 2008)
1 Comment
Ronny Deddy Rondonuwu
Maret 5, 2014 - 9:31 amThanks buat infonya, saya sedang memperdalam tentang makna Pra paskah dan Rabu Abu dan saya berterima kasih untuk penjelasan yang dishare di web ini. Tuhan Memberkati