Malaikat-malaikat “Rawinala”

Malaikat-malaikat “Rawinala”

Belum ada komentar 254 Views

Selasa 28 Maret 2006 sekitar jam 9.30, dengan iring-iringan lima mobil rombongan GKI Pondok Indah beranjak meninggalkan gereja menuju ke jalan tol Simatupang. Maksud kepergian kami adalah mewakili jemaat GKI Pondok Indah mengunjungi sebuah yayasan pendidikan untuk anak-anak cacat di bilangan Condet-Batuampar, serta menyerahkan sumbangan bagi yayasan itu. Rasanya tidak ada seorang pun dari antara kami yang menyangka bahwa keberangkatan kami itu adalah untuk bertemu dengan malaikat-malaikat.

Setelah kurang-lebih satu jam berkendara dan melewati beberapa rintangan yang tidak terlalu berarti, – misalnya kemacetan di sekitar lampu lalu-lintas yang menyebabkan beberapa mobil terrtinggal, dan “angkot-angkot” yang berhenti sesuka mereka,– kami berbelok memasuki kompleks militer Bulak Rante. Dan beberapa menit kemudian tibalah kami dengan selamat di Yayasan Pendidikan Dwituna Raniwala.

 

Dari luar gedung yang ditempati yayasan ini tampak sebagaimana lazimnya sebuah sekolah, kecuali barangkali dari segi ukuran. Ia tampak lebih kecil dari sekolah-sekolah biasa. Dan memang ketika kami memasuki gedung sekolah jumlah kelas yang ada tidaklah terlalu banyak.

“Selamat datang di Yayasan Pendidikan Dwituna Raniwala,” ujar seorang pria berusia sekitar limapuluhan menyambut kami dengan ramah dan senyum lebar. “Bapak-bapak dan Ibu-ibu dari GKI Pondok Indah? Nama saya Windarto.”

Setelah bersalaman dengan kami semua Pak Windarto, yang menjabat sebagai kepala sekolah di situ, meminta kami bersabar sejenak karena bagian penyambutan masih harus menuntaskan beberapa hal. Maka sambil menunggu mulailah kami melihat-lihat sekeliling, dan ternyata ketika sudah berada di dalam, sekolah itu cukup besar dan luas. Sesekali kami melihat beberapa anak yang adalah pelajar/penghuni di situ. Kami sempat agak terpana ketika dua orang anak yang buta berpapasan dengan kami di lorong depan kelas-kelas. Mereka kelihatan riang dan wajar.

 

“Selamat datang di Raniwala, Bapak-bapak dan Ibu-ibu,” kata seorang wanita muda yang mendapati kami. “Bagaimana perjalanan Bapak-Ibu sekalian? Nama saya Lena. Perkenankanlah saya menjelaskan acara kita bersama pada hari ini…”

Acara pertama adalah mengunjungi kelas-kelas di mana anak-anak sedang belajar. Kelas pertama yang kami kunjungi adalah kelas yang menangani anak-anak yang mempunyai masalah dengan penglihatan dan kecerdasan rendah. Ada empat anak di situ yang harus dididik sesuai dengan apa yang ada pada mereka. Dan ada empat guru di kelas itu, karena setiap anak perlu didampingi dan dibantu secara intensif dan khusus. Dan kami yang datang hanya untuk melihat, dapat merasakan betapa sulitnya mendidik anak-anak itu. Tetapi keempat guru itu melakukan tugas mereka dengan sabar sambil bersama Ibu Lena menjawab pertanyaan-pertanyaan kami.

Dari situ kami ke kelas berikutnya yang menangani anak-anak yang buta dan tuli. Dari situ ke kelas yang menangani anak-anak tuli dan dengan kecerdasan rendah, dan ke kelas-kelas yang lainnya. Kondisi kelas-kelas itu ini mirip dengan kelas yang pertama. Jumlah murid yang sedikit, dan jumlah guru yang praktis sama dengan jumlah murid. Murid-murid ‘belajar” dengan susah-payah mengingat keterbatasan mereka yang memang sangat parah. Dan guru-guru bekerja dengan tekun, sabar dan penuh dedikasi.

“Memang latar-belakang pendidikan kami adalah pendidikan luar biasa. Tetapi hanya untuk satu jenis “tuna” atau kecacatan, misalnya khusus buta, khusus bisu-tuli, khusus kecerdasan rendah.” Kata Ibu Lena memberikan penjelasan.

“Lalu bagaimana para guru dapat melakukan tugas mereka di sini?” tanya salah seorang dari kami.

“Kami belajar sendiri, terutama dari pengalaman.”

 

Yayasan Pendidikan Dwituna Raniwala ini didirikan oleh jemaat Gereja Kristen Jawa di Jakarta (Rawamangun) pada tahun 1973. Motivasi dasarnya adalah memberi jalan ke luar bagi anak-anak yang mempunyai kecacatan ganda (lebih daripada satu). Karena mereka itu tidak dapat mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah luar biasa milik pemerintah yang hanya menerima anak-anak dengan satu jenis kecacatan. Yayasan ini mulai dengan mendidik 2 (dua) orang anak, dan sekarang lebih daripada 50 (limapuluh anak). Pada awalnya berlokasi di Rawamangun, dan kini berkat bantuan asing dan berbagai pihak, Yayasan Raniwala dapat membeli tanah dan membangun sekolah, lengkap dengan gedung pertemuan sederhana dan asrama di alamat sekarang ini.

“Bagaimana sikap dan peran pemerintah terhadap sekolah ini?”

“Mereka menggolongkan kami sebagai pendidikan Sekolah Luar Biasa bagian G (yang melayani anak-anak penyandang cacat ganda). Pemerintah DKI memberikan subsidi tahunan, tetapi amat kecil.”

“Bagaimana lalu dengan pembiayaan sekolah ini?”

“Sebagai yayasan kami berdiri sendiri, dan setiap tahun kami memulai tahun anggaran dengan anggaran defisit. Tetapi Tuhan senantiasa memberikan jalan keluar. Ada saja lembaga atau pribadi yang menyumbang dan mendukung kami, juga secara finansial.” Ujar Pak Windarto menjelaskan segi-segi organisatoris sekolah ini.

“Kunjungan dan sumbangan seperti yang Bapak dan Ibu lakukan saat ini juga amat berarti bagi kami.”

“Apakah orangtua anak-anak ini turut berpartisipasi dengan pendidikan anak-anak mereka?”

“Pada awalnya kami mengira bahwa mereka pasti akan sangat membantu, mengingat sekolah ini adalah satu-satunya sekolah di mana anak-anak mereka bisa mendapatkan pendidikan.” Jawab Ibu Lena sambil menghela nafas.

“Namun kenyataannya sama sekali lain. Terkadang kami harus mengemis-ngemis agar anak mereka dikirimkan ke sini. Atau mereka menarik anak mereka, bila mereka diminta untuk berpartisipasi dengan pembiayaan sekolah ini…”

Yang juga sangat mengagumkan adalah bahwa anak-anak ini juga dilatih untuk mandiri dalam kehidupan. Mereka dilatih makan atau mandi sendiri, bahkan untuk yang bisa melakukannya, diajarkan memasak, membuat benda-benda kerajinan, menyablon kaos untuk dijual sebagai penunjang dana.

“Pada akhirnya yang kami lakukan bukanlah sekadar mendidik mereka seperti murid-murid di sekolah biasa. Tetapi melatih mereka agar dengan apa yang ada pada mereka, mereka dapat hidup di tengah keluarga dan masyarakat.”

 

Seusai mengunjungi kelas-kelas, semua murid dan staf sekolah serta rombongan kami berkumpul di aula. Kami disambut oleh hingar-bingar sebuah band yang dengan apik mengalunkan musik secara instrumental. Dua anak duduk di belakang keyboard, satu anak menabuh drum. Satu anak menabuh perkusi dan satu anak lagi memainkan pianika. Dan tak lama setelah kami semua mengambil tempat duduk, seorang anak perempuan mulai menyanyi diiringi band yang luar biasa ini. Menyaksikan mereka mampu bermain dalam keterbatasan mereka, kami selain kagum juga terharu.

Rombongan kami dipersilakan untuk mengadakan kebaktian singkat yang diikuti oleh semua yang hadir dengan bersemangat, baik staf dan guru-guru maupun terutama para murid. Setelah itu sambutan dari pihak yayasan yang disampaikan oleh Pak Windarto, disusul dengan penjelasan mengenai yayasan yang diberikan oleh Ibu Lena. Sesudah acara penyerahan sumbangan dari GKI Pondok Indah, maka kami memasuki acara bebas, di mana beberapa anggota rombongan GKI Pondok Indah menyanyikan beberapa lagu diiringi band Raniwala. Acara hari itu ditutup dengan makan siang bersama dalam suasana yang benar-benar ramah-tamah. Beberapa guru dan staf terlihat memakai jilbab.

“Memang yayasan ini bernaung pada jemaat Gereja Kristen Jawa di Jakarta. Tetapi yayasan dan sekolah ini adalah lembaga yang terbuka. Bahkan Pak Windarto adalah seorang muslim,” ujar Ibu Lena.

“Kami berkonsentrasi pada masa depan dan kepentingan anak-anak ini, bukan pada yang lain-lain…”

Mendengar ini kami mengangguk-angguk. Mungkin mengerti, mungkin tidak. Mungkin setuju, mungkin tidak. Tetapi satu hal amat jelas bagi kami. Visi dan misi yayasan pendidikan Raniwala ini mulia. Kata “rawinala” berarti “hati yang terang”. Dan menyaksikan para staf, dan terutama guru-guru yang dengan sabar terus mendampingi anak didik mereka, –bahkan selama makan siang,– kami juga yakin bahwa mereka semua benar-benar berhati terang.

 

Siang itu kami meninggalkan Condet-Batuampar dengan trenyuh, terutama membayangkan anak-anak yang dididik di Yayasan Pendidikan Dwituna Raniwala yang baru saja kami jumpai. Tetapi kami juga pulang dengan dada yang hangat, karena kami baru saja bertemu dengan malaikat-malaikat. Malaikat-malaikat Raniwala! Malaikat-malaikat berhati terang!

 

 

 

Pdt. Purboyo W. Susilaradeya

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Refleksi
  • SLOW LIVING
    Setelah purna tugas, saya kadang-kadang merindukan suasana pedesaan seperti kehidupan masa kecil saya. Hidup tenang, sepi, tidak ada yang...
  • Apakah Aku Domba Yang Baik?
    sebuah refleksi diri setelah lama mengikuti Sang Gembala Yang Baik
    Gembala Yang Baik “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba dombanya,” adalah ungkapan Yesus yang...
  • SESAMI vs LIYAN
    Sesami dan liyan. Sesami, yang saya bahas di dalam tulisan ini, tidak ada hubungannya dengan wijen, tetapi masalah sesama...
  • LEGACY
    Sebagai bangsa Indonesia, sejarah mencatat bahwa para pemimpin bangsa meninggalkan legacy atau warisan kepada generasi setelah mereka. Tidak usah...
  • Seribu Waktu
    Seribu Waktu
    Entah, kenapa terlintas di benakku banyak hal tentang waktu. Karena banyaknya, kusebut saja seribu … padahal satu pun tak...