Figur Suami dan Ayah Di dalam Keluarga Kristen

Figur Suami dan Ayah Di dalam Keluarga Kristen

Belum ada komentar 18272 Views

Suami adalah kepala keluarga. Efesus 5:23 mengatakan, “Karena suami adalah kepala istri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dia adalah yang menyelamatkan tubuh.” Begitu pula suami sebagai kepala keluarga wajib mengasihi istrinya, sama seperti tubuhnya sendiri (Efesus 5:28).

Sebagai pemimpin di dalam keluarga, suami diharapkan bisa menyatukan keluarganya untuk mencapai tujuan bersama. Ia harus dipercaya oleh semua anggota keluarganya dan menjadi teladan yang baik bagi mereka. Selain itu, ia perlu waspada untuk tidak mengidolakan istri dan anak-anaknya sehingga mengalahkan Tuhan (counterfeit God ).

Bagaimana Figur Suami Kristen yang Diharapkan Oleh Istrinya?

Setiap istri ingin dicintai oleh suaminya dengan sepenuh hati. Hal itu dapat dijabarkan dalam akronim COUPLE

C = Closeness (Kedekatan)

“Sebab itu seorang laki laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kejadian 2:24). Awal pernikahan sangat penting untuk menciptakan suasana atau kebiasaan hubungan erat di antara suami istri, sebelum mereka menghadapi masalah di kemudian hari.

O = Openess (Keterbukaan)

Istri menginginkan keterbukaan dari suaminya, karena itu jangan ada yang ditutupi oleh suami. Istri ingin agar masalah yang dihadapi suaminya juga menjadi masalah bersama.

U = Understanding (Pengertian)

Istri mendambakan pengertian dari suaminya dan suami diharapkan untuk banyak mendengarkan apa yang diceritakan oleh istri.

P = Peacemaking (Menciptakan Perdamaian)

Istri berharap bahwa suaminya dapat menjadi juru damai di antara mereka. Suami diharapkan untuk bersikap rendah hati dan mau mengakui kesalahan yang dilakukannya serta meminta maaf kepada istrinya. Permintaan maaf yang enggan diucapkan dapat menimbulkan dendam di hati istri dan menjadi sumber pertengkaran yang tidak ada habisnya. “Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang” (Roma 12:18).

L = Loyalty (Kesetiaan)

“Yakni orang-orang yang tidak bercacat, yang mempunyai satu istri” (Titus 1:6a). Istri harus yakin bahwa suaminya cinta dan setia kepadanya, sehingga membuatnya bersemangat dan termotivasi. Inilah yang Tuhan inginkan dalam perkawinan, yaitu pasangan suami-istri yang setia satu sama lain sampai maut memisahkan mereka. Tiger Wood mengatakan, “It may not possible to repair the damage I have done, but I want to do my best to try… I need to focus my attention on being a better husband, father and person.” (Barangkali saya tidak dapat memperbaiki kerusakan yang sudah saya lakukan, tetapi saya akan berusaha keras untuk mencobanya… Saya perlu memusatkan perhatian saya untuk menjadi suami, ayah dan pribadi yang lebih baik). Tiger Wood menyadari bahwa sesuatu yang sudah rusak tidak mudah diperbaiki dan ada banyak kemungkinan untuk gagal.

E = Esteem (Penghargaan)

Istri menginginkan agar suaminya menghargai pendapatnya dan memberi dorongan kepadanya. Ia juga berharap bahwa suaminya menghargai apa yang dilakukannya bagi keluarga.

Sebagai suami Kristen, seorang laki-laki harus memberikan kasih yang tak bersyarat. “Hai suami kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya. (Efesus 5:25). Di dalam Efesus 5:28-29 juga dikatakan, “Demikian juga suami harus mengasihi istrinya sama seperti tubuhnya sendiri. Siapa yang mengasihi istrinya mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat.”

Ayah Dalam Keluarga Kristen

Seorang ayah di dalam keluarga Kristen wajib mengenalkan anak-anaknya kepada Tuhan dan mendidik mereka agar siap menghadapi masa depan. Efesus 6:4 mengatakan, “Dan kamu, bapak-bapak, jangan bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka dalam ajaran dan nasihat Tuhan.” Amsal 2:6: juga mengajarkan, “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.”

Apakah tugas mengenalkan anak-anak kepada Tuhan dapat dipercayakan kepada pendeta atau guru Sekolah Minggu? Tentu saja tidak. Tugas ini tidak dapat didelegasikan kepada orang lain, karena merupakan tangung jawab orangtua. Pendeta dan guru Sekolah Minggu hanya membantu anak-anak untuk mengenal Tuhan, tetapi bimbingan yang terutama harus dari ayah dan ibu, yang menjadi panutan bagi anak-anak mereka dalam sikap dan kehidupan mereka sebagai anak-anak Allah.

Pendidikan adalah proses penanaman dan pengembangan hal-hal yang baik dalam diri anak. Karena itu orangtua perlu terlebih dahulu mempunyai pemahaman yang baik tentang apa yang perlu dipupuk demi kepentingan hari depan anak-anak mereka. Pendidikan membutuhkan kerja sama yang erat antara ayah dan ibu. Keduanya perlu sepakat dalam mengarahkan pendidikan itu dan sama-sama mengajarkan hal yang benar. Jika upaya ini hanya dilakukan oleh ibu, kelak ayah akan melihat hasil suatu produk yang mungkin berbeda sekali dengan apa yang dikehendakinya.

Apa yang dilarang oleh ibu, hendaknya juga tidak diizinkan oleh ayah. Apa yang dikecam ayah, jangan disanjung oleh ibu. Amsal 1:8 dengan tegas menyatakan hal itu, “Hai anakku, dengarkanlah didikan ayahmu dan jangan menyia-nyiakan ajaran ibumu.” Begitu juga kalau ayah dan ibu berbeda pendapat, apalagi terlibat konflik, sebaiknya hal itu tidak dilakukan di depan anak-anak mereka.

Ayah dan Suami Teladan

Seorang anak datang ke rumah Pak Pendeta dengan muka yang sangat sedih. Ia mohon agar Pak Pendeta mau datang ke rumahnya karena ada yang sakit di sana dan perlu didoakan. Dengan tergopoh-gopoh Pak Pendeta datang ke rumah anak itu, tetapi betapa kagetnya ia karena yang sakit hanyalah kucing peliharaan anak itu. Meskipun demikian, agar tidak mengecawakan anak itu, Pak Pendeta tersebut berdoa, “Hai kucing, kalau kamu mau mati, matilah, dan kalau kamu mau hidup, hiduplah. Amin.” Kemudian Pak Pendeta itu pulang.

Beberapa hari kemudian kucing itu sembuh, sehingga anak itu sangat gembira. Untuk menyatakan rasa terima kasihnya ke Pak Pendeta, ia membuat sebuah lukisan. Setelah lukisan itu selesai, ia segera membawanya ke rumah Pak Pendeta, tetapi tidak ada orang yang membukakan pintu untuknya, meskipun ia sudah mengetuknya beberapa kali. Ia hampir beranjak pergi, ketika didengarnya pintu dibuka oleh Pak Pendeta yang kelihatan kuyu dan tidak sehat. Anak itu dipersilakan masuk dan ia lalu menyerahkan lukisan hasil karyanya kepada Pak Pendeta. Sebelum pulang, ia meminta izin kepada Pak Pendeta untuk mendoakannya. Dengan wajah yang serius, anak ini lalu berdoa, “Hai Pak Pendeta, kalau kamu mau mati, matilah, dan kalau kamu mau hidup, hiduplah. Amin.”

Kisah ini menggambarkan bahwa anak mudah menirukan sikap dan gaya orang yang lebih tua, karena itu kita harus selalu menjaga perilaku kita dan memberikan teladan yang baik kepada mereka. Ulangan 6:4 dengan jelas mengatakan, “Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.” Ayah akan mudah mendidik anak-anaknya apabila anak-anaknya mempercayainya, demikian pula istrinya.

Ada beberapa saran agar istri dan anak-anak memercayai ayah:

1. Jujur

Seorang ayah harus jujur mengakui kesalahannya kepada anak dan istrinya, demikian pula kepada orang lain. Buatlah suasana akrab di dalam keluarga, agar masing-masing mau mengakui perbuatannya yang salah dan meminta maaf, sehingga dapat dicarikan jalan keluarnya. Orangtua yang tidak rendah hati mengakui kesalahannya, memberikan teladan buruk kepada anak-anaknya, dan kelak juga akan menanggung akibatnya.

2. Konsisten

Kata dan perbuatan kita harus sama. Orangtua juga harus menghindari tindakan menganak-emaskan anak yang satu, dan memojokkan anak yang lain, sehingga timbul persaingan tidak sehat di antara anak-anak itu. Anak yang dikalahkan akan merasa iri, dendam atau rendah diri, sedangkan anak yang dimenangkan akan bersikap sombong dan tidak mau mengalah.

3. Integritas

Kepentingan keluarga dan kepentingan bersama harus didahulukan. Hal ini dicontohkan oleh Tuhan Yesus ketika Ia berdoa di taman Getsemani untuk menyerahkan diri sebagai penebusan dosa manusia: “Ya Bapa-Ku jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendak-Mu!” (Mat. 26:42). Billy Graham pun tidak gentar menghadapi celaan orang banyak ketika ia mengunjungi seorang pendeta yang di penjara karena korupsi, “sebab Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang” (Lukas 19:10).

4. Komunikasi

Komunikasi sangat penting di dalam sebuah keluarga dan harus dimulai sejak awal pernikahan. Anak-anak yang sejak kecil dididik untuk membina komunikasi yang baik dengan orangtua mereka, akan selalu merasa nyaman untuk mencurahkan isi hati kepada orangtua mereka, meskipun mereka sudah beranjak dewasa.

Untuk bisa berkomunikasi dengan baik, ayah yang bijaksana harus lebih banyak mendengarkan anak dan tidak cepat membuat kesimpulan sendiri yang akhirnya membuat anak menutup diri. Buatlah suasana yang terbuka dan bersahabat, dan hindarilah penggunaan kata-kata yang otoriter dan merasa benar sendiri. Sedapat mungkin, berbicaralah kepada anak dengan bahasa sederhana dan mudah dimengerti. Ada pepatah yang mengatakan, “Masuklah kandang ayam dengan berkotek-kotek, dan masuklah kandang kambing dengan mengembik.”

Keempat pokok di atas sangat membantu seorang ayah di dalam mendidik anak-anaknya, karena mereka memercayainya dengan sepenuh hati. Kita juga harus selalu melibatkan Tuhan di dalam mendidik anak-anak kita, karena anak-anak merupakan anugerah indah yang Tuhan percayakan kepada kita untuk dipelihara dan dibesarkan dengan penuh kasih sayang.

Memang tidak mudah mendidik anak-anak, karena kita tidak dapat terus-nenerus bersama mereka. Banyak hal yang dapat memengaruhi mereka, baik teman-teman, lingkungan, televisi, ataupun internet, yang belum tentu berdampak baik bagi pertumbuhan mereka. Namun kita harus berpikir positif dan melakukan tugas yang menjadi bagian kita. Tuhan akan menolong kita.

Think the right thing.

Do your best and God will

do the rest.

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Keluarga
  • Menjembatani GAP Antar Generasi
    Friksi dalam Keluarga Di era pandemi ini banyak timbul gesekan di antara anggota keluarga. Apa yang tadinya tidak dianggap...
  • Kekuatan Hidup Harmonis
    Kej. 2:18-24; Mk. 10:2-16
    Manusia itu makhluk yang aneh. Sudah jelas Allah berkata, “Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja,” atau dalam...
  • Keluarga Harta Paling Berharga
    “Harga dari segala sesuatu adalah sejumlah kehidupan yang kautukarkan dengannya.” ~Henry David Thoreau ~ Hal yang paling menarik untuk...
  • Tanggung Jawab
    Tanggung Jawab Tidak Dapat Diajarkan?
    “Saya ingin anak saya bertanggung jawab. Itu sebabnya saya mewajibkannya melakukan tugas tugas ini setiap hari. Kalau dia tidak...