Doa Pelepasan Kutuk dan Dosa, Perlukah?

Doa Pelepasan Kutuk dan Dosa, Perlukah?

Komentar ditutup 5316 Views

Belakangan ini saya sering mendengar orang berbicara tentang dosa keturunan dan kutuk yang diturunkan secara turun-temurun.

Pada suatu hari seorang perempuan muda meninggal dunia dalam kecelakaan, dan ternyata hal yang serupa juga dialami oleh kakaknya beberapa tahun sebelumnya. Kedua orang ini dikenal sebagai orang-orang Kristiani yang taat dan giat di dalam penginjilan. Ada orang yang berpendapat bahwa mereka tewas karena menyandang kutuk dari nenek moyang mereka.

Terus terang saya tidak setuju dengan pendapat ini. Saya meyakini bahwa kalau Yesus sudah menebus dosa kita, seluruh kutuk dan dosa keturunan juga sudah dihapuskan-Nya. Saya lebih tidak setuju lagi, ketika orang-orang tersebut mengatakan bahwa kita harus didoakan secara khusus dengan doa pelepasan sebelum kutuk dan dosa keturunan itu hilang.

Apakah pendapat saya salah? Mohon penjelasan Bapak. Terima kasih!

Niti, Jakarta

Pdt. Rudianto Djajakartika:

Saudara Niti yang baik, pendapat anda benar!

Di dalam Yesus, tidak ada lagi dosa dan kutuk keturunan. Mengapa demikian? Karena sejak peristiwa salib Kristus, Allah sudah tidak marah lagi pada kita, anak-anak tebusanNya. Semua kemarahan Allah sudah tertumpah di kayu salib! Karena itulah Yesus berteriak di kayu salib: “Allahku, Allahku, mengapa engkau meninggalkan Aku?” (Mat. 27:46). Ya, Yesus ditinggalkan supaya kita tidak ditinggalkan oleh Allah selama-lamanya.

Pemahaman ini sejajar dengan ungkapan Paulus dalam 1 Kor. 6:20; 7:23 “Kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar”. Ya, memakai analogi perdagangan, maka di dalam Kristus diri kita ini sudah lunas dibayar! Jadi tidak ada lagi hutang. Bagaimana mungkin masih ada ‘sisa hutang’ kutuk keturunan?

Begitu juga ungkapan Paulus dalam 2 Kor. 5:17-18. Diungkapkan di sana bahwa kita adalah ciptaan baru! Haleluyah! Yang lama sudah berlalu. Lebih lanjut dikatakan bahwa ‘semuanya ini dari Allah yang dalam Kristus telah mendamaikan diriNya dengan kita’. Jadi Allah sudah berdamai dengan kita! Mana mungkin masih ada kutuk keturunan? Kalau benar masih ada kutuk keturunan berarti perdamaian Allah itu cuma main-main! Masa sudah berdamai masih mengutuk? Tetapi syukurlah bahwa kesaksian Firman Tuhan justru menyatakan tidak ada lagi kutuk keturunan, sebab yang lama itu sudah berlalu! (termasuk seandainya ada kutuk keturunan, ya ikut berlalu!).

Sesungguhnya masih banyak ayat-ayat lain yang menyatakan bahwa kuasa darah Kristus itu cukup! Jadi bagaimana mungkin masih ada ‘sisa’ kutuk keturunan yang tertinggal? Sesungguhnya pemahaman masih adanya ‘kutuk keturunan’ itu punya konsekuensi teologis yang sangat serius:

  1. Secara Pastoral, ia membawa keputusasaan, bukannya penghiburan. Sudah sedih saudara meninggal, atau sakit, masih dikatakan ada kutuk keturunan.
  2. Secara teologis, berarti darah Kristus itu ‘tidak cukup’. Masih diperlukan doa pelepasan yang ‘kuasanya’ melebihi darah Kristus. Wah… berarti yang mendoakan itu lebih hebat dari Yesus dong?
  3. Tuhan main-main dengan karya PenebusanNya. Sudah ditebus, didamaikan, tapi Tuhan masih marah dan mengutuk? Kok seperti manusia saja. Katanya sudah mengampuni dan memaafkan, tapi kenyataannya justru sebaliknya.

Nah, mungkin pertanyaannya adalah, kalau Tuhan ‘sudah tidak marah’ kenapa masih bisa kecelakaan, sakit dll? Justru di sinilah persoalannya! Kehadiran Tuhan dalam hidup kita seringkali dikaitkan dengan hidup yang mulus, lancar, tanpa masalah dan sakit penyakit. Ini pemahaman keliru! Justru Yesus yang bangkit itu hadir di tengah ketakutan murid-muridNya. Semasa hidupNya di dunia, Yesus justru mencari dan datang pada yang sakit. Para Rasul dan Nabi serta orang beriman lainnya juga seringkali mengalami situasi hidup yang sulit, tetapi justru Tuhan datang di tengah kesulitan itu.

Kisah kematian Stefanus misalnya, sungguh menarik. Sebelum Stefanus meninggal, ia melihat Yesus yang bertahta dalam kemuliaanNya (Kis. 7:56). Lalu kenapa Yesus diam dan membiarkan Stefanus dirajam sampai mati? Wah, itu misteri Illahi, saya tidak tahu. Tetapi yang saya tahu (dan disaksikan oleh Alkitab) adalah, bahwa Allah hadir di tengah penderitaan Stefanus! Dan kehadiran Allah itu cukup! Itu menjadi penghiburan luar biasa buat Stefanus dalam menghadapi deritanya.
Allah hadir di tengah penderitaan umat manusia. Justru kehadiran Allah itulah yang harus kita nyatakan pada mereka yang menderita melalui penghiburan kita. Kita lalu menjadi alat di tangan Tuhan untuk menyatakan kehadiranNya dan penghiburanNya. Jadi, janganlah orang sudah hidupnya susah, sedih, sakit, masih dikatakan ‘ada kutuk keturunan’.

Nah, saudara Niti, sampai di sini dulu yah. Saya tunggu pertanyaan anda yang lain, Tuhan memberkati!

Arsip kategori Pastoralia
  • KAMI BERTANYA
    KAKAK PENDETA MENJAWAB
    Kak, kenapa kalau saya disuruh ikut doa sama papa mama kok ngantuk terus nggak konsentrasi, apalagi kalau doanya lama?...
  • Yesus yang Sulung
    Bapak Pendeta yang baik, Mohon pencerahan dari Bapak perihal kebangkitan orang mati. Dalam Kolose 1:18 dikatakan bahwa: Ialah kepala...
  • Kerajaan Surga vs Kerajaan Allah?
    Bapak Pendeta yang baik, 1. Apakah sebenarnya yang disebut dengan Kerajaan Allah itu? Samakah ia dengan Kerajaan Surga? Saya...
  • Tentang Hari Sabat
    Bapak Pendeta yang baik, Mohon pencerahan dari Bapak Pendeta atas kebingungan serta ketidakmengertian saya supaya iman dan ibadah saya...