Ayahku-Temanku

Ayahku-Temanku

Belum ada komentar 81 Views

“Kamu ngapain siang ini?” tanya ayah saya sesudah kami makan siang bersama.

“Nggak ada apa-apa. Baru nanti malam saya harus ke gereja.”

“Kita main barang dua partai?”

“Oke…”

Maka sepanjang siang hingga sore itu kami bermain catur. Sesekali ibu saya menengok kami dan sedikit bersungut-sungut karena beliau merasa diabaikan. Namun biasanya beliau meminta pembantu untuk membuatkan kopi bagi kami dan menghidangkan camilan. Dan hal ini paling tidak terjadi seminggu sekali di rumah kami, ketika saya masih tinggal di rumah orang tua.


Barangkali relasi antara seorang ayah dengan anaknya tidak dapat digambarkan dengan lengkap dan utuh melalui permainan catur yang rutin terjadi di antara mereka. Namun bagi saya saat-saat itu adalah saat yang menyenangkan. Saya merasa diperlakukan bukan lagi sebagai anak yang tahunya hanyalah taat kepada ayahnya. Memang sebelum duduk di SMA ayah dan ibu saya mendidik anak-anaknya dengan cukup keras. Tidak jarang saya mendapatkan hukuman badan. Tetapi begitu saya lulus SMP, entah bagaimana saya diperlakukan sebagai teman. Dan pasti bukan hanya sebagai teman main catur. Karena di sela-sela masa berpikir, terjadi percakapan yang sama sekali tidak menegangkan.

“Bagaimana kabarnya si ‘Itu’? Sudah sebulan ini dia tidak mampir…” tanya ayah saya sambil menggerakkan bentengnya untuk melahap bidak saya yang tidak terlindung.

“Baik-baik saja…. sibuk barangkali…”

“Kalian pacaran nggak sih…?”

“Nggak… kami cuma berteman…”

“Teman baik?”

“Ya.”

“Baik sekali….?”

“Begitulah…” jawab saya sambil menggerakkan kuda mengancam bentengnya yang hendak menghancurkan pertahanan saya.


Yang juga berkesan bagi saya adalah bahwa dalam percakapan seperti itu ayah saya pun bersedia berbagi dengan saya.

“Bapak jadi mengajar di Universitas Empu apa itu…?” tanya saya sambil menunggu beliau memikirkan jawabannya atas langkah pembelaan diri saya.

“Universitas Empu Tantular… memangnya kenapa?”

“Apakah Bapak tidak akan terlalu sibuk…. di STT, di UKI, di sinode, tugas kemajelisan… ditambah lagi di universitas baru itu…?”

“Ya memang sibuk, tetapi sejauh ini aku bisa mengatur waktuku… Sejauh aku mampu aku selalu mau membantu siapapun…. Lagipula aku punya semacam obligasi moral terhadapnya… schaak…!”


Ayah saya selalu memperlakukan saya sebagai temannya, walau beliau tidak pernah membuat saya melupakan bahwa beliau adalah tetap ayah saya. Masih segar dalam ingatan saya nasihat beliau ketika saya untuk pertama kali berpacaran.

“Di zamanku berpacaran berarti selangkah sebelum menikah… Oleh karena itu jangan pernah lupa bahwa perjalananmu menuju ke situ masih jauh. Jadi hati-hatilah, jangan sampai terlanjur…!”


Dan ketika saya mengaku percaya, beliau menghadiahi saya sebuah Alkitab (pada waktu itu GKI Kebayoran Baru belum memberikan Alkitab kepada mereka yang mengaku percaya atau baptis dewasa). Pada halaman judul beliau menuliskan: ‘Untuk Pungky…. 1 Timotius 4:12… Love, Bapak’

“Menurutku ayat yang kukutip di situ cocok untukmu. Tolong dibaca dan diingat….”


Sebagai seorang guru ayah saya amat peduli pada rencana studi kami, anak-anaknya. Namun beliau tidak pernah menuntut kami untuk memilih bidang studi pilihannya.

“Menurutku, kamu mampu studi ilmu pasti maupun ilmu sosial. Kami bisa jadi dokter atau analis kimia, tetapi juga bisa menjadi ahli bahasa atau psikolog…”

“Dokter… analis… psikolog…?”

“Atau bidang studi yang merupakan kombinasi ‘otak kanan’ dan otak kiri’..”

“Misalnya…?”

“Arsitektur…. atau teologi…!”


Waktu saya memutuskan untuk studi teologi, walau saya sudah mempersiapkan diri untuk mengikuti tes masuk di ITB jurusan arsitektur, ayah saya memandang saya dengan mata berkaca-kaca.

“Kamu yakin….?”

“Ya…!”

Lalu beliau mengajak saya berdoa bersama dengan ibu saya. Dan sejak itu beliau amat mendukung saya dalam studi. Begitupun dilakukannya terhadap adik-adik saya. Buku-buku dan perlengkapan yang kami perlukan selalu diupayakannya agar tersedia bagi kami. Tetapi juga bimbingan dan nasihat studi selalu dapat kami harapkan darinya.


“Angka rata-ratamu semester ini menurun…. Memang prestasi akademis bukanlah jaminan prestasi lapangan. Tetapi prestasi akademis akan diperhitungkan bila kamu hendak studi lanjut…”

Beliau mengatakan hal itu karena beliau menempuh jalan yang cukup keras untuk dapat studi lanjut. Tetapi tidak pernah beliau menyombongkan diri. Ketika ibu saya dan saya menyortir buku-buku beliau setelah beliau meninggal, saya menemukan map yang berisi catatan akademisnya. Ternyata beliau lulus S-2 dengan nilai rata-rata 3,9 dari nilai maksimal 4.


Selain dalam studi bimbingan dan nasihat dalam pelayanan juga selalu dapat saya harapkan dari beliau. Tahun 1976 saya melakukan tugas penelitian di desa Winongsari dekat Wonosobo. Di situ saya membantu seorang ibu pembuat tempe. Ketika saya meminta kiriman uang untuk memodali ibu itu, tanpa bertanya beliau mengirimkannya. Dan ketika ternyata usaha pembuatan tempe itu tidak berhasil, beliau dengan mudah menerima penjelasan saya.

Pernah ada saat di mana saya mempertanyakan apakah saya cocok untuk menjadi pendeta. Beliau mengusulkan kepada saya untuk menjalani masa praktik (‘stage’) di Universitas Satya Wacana dan menumpang di rumah teman ayah saya seorang pendeta Gereja Kristen Jawa di Salatiga. Saya menuruti nasihat beliau. Dan selesai masa praktik saya merasa mantap kembali untuk menjadi pendeta jemaat, walau sempat ditawari pekerjaan sebagai konselor bila saya lulus.

Selama masa pelayanan di Klaten (jemaat pertama saya) dan di Malang, ada momen-momen di mana saya amat membutuhkan beliau. Dan beliau dengan sabar mendengarkan keluh-kesah saya sebagai seorang konselor yang baik. Tetapi juga sebagai teman. Teman yang saya tahu berpihak kepada saya, tetapi yang juga tidak akan membiarkan saya mengambil keputusan yang bodoh.


Ayah saya juga adalah seseorang yang realistis. Ketika tiba masa di mana pernikahan saya menjadi di ambang pintu, ayah saya bertanya kepada saya:

“Sudah siap…?”

“Yah… begitulah…”

“Jangan kuatir…. tidak ada seorang pun yang benar-benar siap untuk itu pada awalnya.”

Ketika saya tidak menjawab, beliau menyambung:

“Nanti kalau kamu sudah mendapat cuti, kamu bisa beli cincin kawinmu di jalan Kenanga. Dulu kami juga membeli cincin kawin kami di situ.”

“Oke.”

“Kamu punya uang cukup?”

Saya tidak menjawab. Karena gaji saya sebagai calon pendeta di GKI Klaten ditambah uang cuti waktu itu memang tidak cukup untuk membayar sepasang cincin kawin. Beliaulah yang akhirnya membayarnya.

“Kelak saya bayar kembali Bapak.”

“Tidak perlu. Hadiah dari saya.”


Ketika saya hendak memulai pelayanan di Klaten, beliau mengantar saya untuk membereskan rumah saya. Beliau mengerti bahwa anak sulungnya tidak terlalu trampil melakukannya. Juga ketika saya memasuki pelayanan di kota Malang, beliau pun turut menghantar saya dan selama seminggu turut membereskan rumah kami.

Tentu sebagai manusia, ayah saya mempunyai juga kelemahan dan kekurangan. Selain sikapnya yang selalu prinsipial bahkan cenderung kaku, salah satu lagi di antaranya adalah ketidakmampuannya untuk mengutarakan perasaannya dengan jelas memakai kata-kata. Tetapi sikap dan perbuatannya selalu adalah bukti nyata dari kasih-sayangnya. Rasanya tak mungkin saya bisa menjadi seorang ayah seperti beliau.

Tahun 1986 ayah saya didapati mengidap penyakit kanker. Kurang dari tiga bulan sejak itu beliau meninggal dunia. Beliau meninggalkan kekosongan yang tak mungkin diisi oleh siapapun, dalam keluarga kami, dan terutama dalam hidup saya. Banyak saudara dan sahabat hadir dalam kebaktian pemberangkatan jenazah di GKI Kwitang Jakarta, di mana beliau hingga akhir hidupnya melayani sebagai penatua. Memang komitmennya pada pekerjaan maupun pelayanan adalah sesuatu yang patut saya teladani. Beliau terlibat dalam begitu banyak pelayanan yang baru kami ketahui dan sadari ketika beliau meninggal.


Saat ini sudah lebih daripada 20 tahun beliau meninggalkan saya. Namun terkadang ada saat-saat di mana saya amat merindukannya. Untuk mencurahkan perasaan dan keluh-kesah saya. Untuk bermain catur sambil mengobrol dengannya. Saya tidak ingat persis tanggal beliau meninggal. Tetapi saya tidak akan melupakan tanggal 12 Juli, hari ulang tahunnya.

“Ik houd van u, Bapak….!”



Pdt. Purboyo W. Susilaradeya

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Refleksi
  • SLOW LIVING
    Setelah purna tugas, saya kadang-kadang merindukan suasana pedesaan seperti kehidupan masa kecil saya. Hidup tenang, sepi, tidak ada yang...
  • Apakah Aku Domba Yang Baik?
    sebuah refleksi diri setelah lama mengikuti Sang Gembala Yang Baik
    Gembala Yang Baik “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba dombanya,” adalah ungkapan Yesus yang...
  • SESAMI vs LIYAN
    Sesami dan liyan. Sesami, yang saya bahas di dalam tulisan ini, tidak ada hubungannya dengan wijen, tetapi masalah sesama...
  • LEGACY
    Sebagai bangsa Indonesia, sejarah mencatat bahwa para pemimpin bangsa meninggalkan legacy atau warisan kepada generasi setelah mereka. Tidak usah...
  • Seribu Waktu
    Seribu Waktu
    Entah, kenapa terlintas di benakku banyak hal tentang waktu. Karena banyaknya, kusebut saja seribu … padahal satu pun tak...