Harus diakui, dalam kehidupan masyarakat pluralis di Indonesia, bukanlah hal yang gampang memperlakukan orang yang berbeda ras, bahasa, suku, dan status sosial sebagai sesama yang patut dihargai. Juga tidak dapat disangkal bahwa sikap yang seperti ini juga telah merambah masuk ke dalam kehidupan gereja.
Sejak abad ke-19 secara perlahan suku-suku Dayak masuk Kristen. Ketika terjadi konflik antar etnis terutama antara orang Dayak dan Madura pada tahun 1930-an yang memuncak pada tahun 1970-an, yang banyak terlibat dalam konflik adalah penganut agama Kaharingan, meskipun demikian ada juga sebagian umat Kristen terlibat didalamnya. (Jan. S.Aritonang, “sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam”)
Konflik-konflik ini diawali dengan tindakan kekerasan di antara penduduk asli setempat dan pendatang. Bagaimanakah sikap dan tindakan Tuhan Yesus dalam situasi yang seperti ini ?
Ungkapan “Tuhan, tolonglah aku” dari seorang perempuan Kanaan yang ditanggapi dengan tindakan Yesus yang menyembuhkan anaknya, menunjukkan kepedulian-Nya tidak dibatasi hanya kepada suku/bangsanya sendiri.
Sikap peduli terhadap bangsa non yahudi juga ditunjukkan-Nya dengan mengunjungi wilayah utara Galilea ke desa-desa (ayat 29). Di sana Ia menyembuhkan berbagai penyakit (ayat 30-31). Dan pada puncak peduli-Nya Ia memberi makan empat ribu orang yang telah mengikuti rombongan Tuhan Yesus selama tiga hari (ayat 32-39). Perbuatan mukjizat yang pernah dibuat-Nya terhadap umat Yahudi kini dilakukan-Nya kepada orang-orang non yahudi.
Sikap dan tindakan Tuhan Yesus ini seharusnya menjadi teladan bagi kehidupan umatNya di tengah-tengah masyarakat yang berbeda-beda baik status sosialnya, rasnya, maupun suku bangsa dan bahasanya. Mampu dan mau kah kita mengikuti apa yang telah Tuhan ajarkan kepada kita dalam kehidupan-Nya ?
(TT)
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.