Pada tanggal 27 Juli 2018, halaman 33 harian Kompas melaporkan hal penting di bawah judul “Upaya Menangkis Hepatitis,” yang mengisi 70% halaman tersebut.
Aku sangat tertarik membaca laporan itu, karena menyadari lagi betapa Tuhan telah bermurah hati membebaskan aku dari hepatitis C. Sampai sekarang belum ada vaksin terhadap penyakit itu, padahal dari serentetan jenis hepatitis A, B, C, D dan E, hepatitis B dan C yang paling ganas dan menewaskan.
Apakah hepatitis itu? Hepatitis adalah virus yang menyebabkan infeksi dan inflamasi pada hati. Hepatitis B dan C dapat menjadi penyakit akut dan berisiko menyebabkan kematian. Di seluruh dunia, setiap satu menit, dua orang meninggal karena hepatitis B. Upaya meningkatkan kewaspadaan terhadap penyakit ini pun terus dibangun. Salah satu caranya, dengan memperingati Hari Hepatitis Dunia pada tanggal 28 Juli.
400 juta orang hidup dengan hepatitis. Sekitar 6–10 juta orang terinfeksi setiap tahunnya. Bagaimana upaya mencegah hepatitis?
- Memastikan prosedur medis yang aman, terutama dalam penggunaan jarum suntik.
- Melakukan pemeriksaan darah dulu sebelum didonorkan untuk ditransfusikan kepada orang yang membutuhkan penambahan darah.
- Melakukan hubungan seks yang aman. Memeriksakan diri sebelum dan dalam masa kehamilan.
Kenali Sejak Dini
Pada sebagian besar orang, hepatitis B dan C terlambat diketahui karena biasanya tidak menunjukkan gejala spesifik pada awal terinfeksi, karena gejala tersebut terlalu menyerupai penyakit umum yang kerap dianggap enteng, misalnya demam, mual, muntah, nyeri sendi dan otot, serta diare. Ketika organ hati mulai terserang, tanda-tanda lain baru akan muncul, antara lain urine berubah warna menjadi gelap seperti coca-cola, mata dan kulit menjadi kekuningan, rasa kelelahan yang amat sangat, mual, muntah-muntah, dan nyeri perut. Jika terabaikan atau terlambat terdeteksi, penyakit ini bisa berkembang menjadi kanker atau pengerasan hati, yang menyebabkan kematian.
Di Indonesia, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, prevalensi hepatitis B adalah 7,2 % yang waktu itu setara dengan kira-kira 18 juta orang. Sementara itu, hepatitis C terjadi pada sekitar 3 juta orang. Data ini pun bisa jadi merupakan fenomena gunung es. Di luar ini kasus yang tidak tercatat jauh lebih banyak, dan belum ada data-data mutakhir. Yang di atas adalah laporan dari Kompas edisi 27 Juli, 2018.
Bagaimanakah aku terinfeksi hepatitis C? Berikut kesaksianku. Tuhan memanggil kami untuk mendirikan cabang Gereja Kristus Kebayoran Baru pada tahun 1963. Lokasi kami adalah di daerah pertokoan di Jl. Melawai VI/17-19, Blok M, Kebayoran Baru.
Almarhum suamiku, Alfred Gunadi, memiliki dua buah ruko berlantai dua; lantai bawah kami gunakan untuk membuka Shinta Artshop dan Toko Buku Marco, sedangkan aktivitas gerejawi, Sekolah Minggu, kebaktian, dan Pemahaman Alkitab kami lakukan di lantai dua.
Aku sedang hamil anak ke-6 setelah mengalami dua kali keguguran. Ini semua karena almarhum suamiku suka anak-anak dan merencanakan dua belas anak, tanpa memperhitungkan risikonya buatku, karena pencegahan kehamilan belum begitu berhasil pada saat itu.
Seorang ibu menasihatkan aku supaya berhati-hati, karena kelahiran prematur lebih membahayakan daripada keguguran. Kehamilanku memasuki bulan keenam, dan aku baru merasakan gerakan bayiku. Suatu hari, aku menuruni tangga dan tidak melihat undakan yang terakhir, sehingga aku terjatuh. Aku merasakan seperti ada sesuatu yang pecah di dalam perutku, dan ternyata air ketubanku mulai keluar, sehingga aku segera dibawa ke rumah sakit. Dokter spesialis kandungan langgananku ditelepon, tetapi waktu itu berlaku jam malam, sehingga beliau tidak bisa datang, tetapi memberikan instruksi kepada bidan yang menjaga malam itu.
Aku diberi suntikan supaya melahirkan bayiku sebelum air ketubanku habis. Suntikan itu membuatku sangat mulas, tetapi bayinya tidak mau keluar, walaupun diberikan suntikan berkali-kali, sehingga aku sangat menderita. Akhirnya, keesokan paginya, dokter menyuruh bidan menekan perutku, dan bayiku keluar dalam keadaan tidak bernyawa lagi. Yang tidak kusadari, setelah bayiku keluar, aku mulai mengeluarkan darah berlebihan, karena aku mendengar suster yang satu berbisik kepada yang lain, “Wah, kalau banyak begini terus, kita akan kehabisan pembalut malam ini!”
Aku baru menyadari bahwa aku sedang mengalami perdarahan yang luar biasa. Tidak lama setelah itu, aku merasa sangat kedinginan, mulai dari jari-jari kakiku, dan perlahan-lahan merayap naik ke betisku. Aku segera memanggil suster supaya memberitahukan bidannya, mungkin salah obat karena aku sangat alergis.
Tuhan telah mengatur semuanya. Tanpa kuketahui, seorang dokter wanita, temanku dari PMKRI, mendengar tentang kasusku. Ia menelepon suamiku, dan memberinya nasihat agar menanyakan kepada dokter kandunganku apakah tidak perlu disiapkan darah untuk transfusi, karena biasanya hal itu dibutuhkan. Yang juga tidak kuketahui adalah bahwa waktu itu sulit dapat darah. PMI tidak ada persediaan, dan hanya siap melayani jika ada seorang donor. Semua saudara dari kedua pihak kami berdarah jenis O, sedangkan aku berdarah jenis B.
Mendengar tentang kebutuhan kami, seorang pelukis dari sanggar di artshop kami, menawarkan darahnya yang kebetulan B, sehingga suamiku membawanya ke PMI. Ternyata dia hanya sanggup mendonorkan 250 cc, padahal aku membutuhkan 500 cc. Apa boleh buat. Saat itu tahun 1974, belum ada pemeriksaan darah yang didonorkan. Jadi suamiku memberikan kantong darah berisi 250 cc kepada bidan untuk persediaan bilamana aku perlukan.
Saat itulah aku membutuhkan transfusi darah, karena rasa dingin seperti es sudah menjalar sampai ke lututku. Ibu bidan datang berlari-lari membawa gantungan dengan kantong darah, serta memberi perintah kepada suster, “Cepat, tidak usah pakai air garam lagi, tapi langsung transfusikan darahnya.” Kantung darah itu baru saja dikeluarkan dari lemari es, jadi darahnya sangat dingin, tetapi begitu darah itu menetes masuk ke dalam tubuhku yang dingin, tubuhku menjadi hangat, dan aku yang hampir mati, menjadi hidup kembali. Bahwa kematian dimulai dari jari-jari kaki, aku baca kesaksian seseorang yang mengalaminya di Readers’ Digest. Puji Tuhan yang menghalau maut dariku!
Belum selesai kesaksianku sampai di sini. Yang Mahakuasa tahu semuanya, tiada yang luput dari perhatian-Nya. Yang kami tidak tahu, Tuhan tahu, karena Dialah yang merencanakan segala sesuatu.
Sekitar tahun 1980-an, kalau tidak salah, Jakarta kejangkitan hepatitis, sehingga orang-orang dianjurkan untuk vaksinasi hepatitis A dan B, karena C sampai sekarang belum ada vaksinnya.
Aku dan suamiku pergi ke Puskesmas. Suamiku divaksinasi, tetapi ketika tiba giliranku diperiksa, Pak mantri melaporkan bahwa aku sudah terinfeksi hepatitis C, yang tidak ada vaksinnya. Dokternya bahkan memberitahukan bahwa di Indonesia belum ada pengobatan dan perawatan untuk penderita hepatitis C. Beliau bertanya apakah aku pernah mendapat transfusi darah. Aku benarkan, dan berkata bahwa hal itu sudah terjadi beberapa tahun lalu. Beliau bertanya apakah ada gejala atau keluhan sepanjang waktu itu. Aku menjawab, “Tidak ada.” Dokternya Kristen, sehingga beliau memuji Tuhan dan berkata, “Itu adalah mukjizat Tuhan. Darah terinfeksi hepatitis C ditransfusikan ke tubuh Ibu, tapi penyakitnya tidak berjangkit sama sekali selama ini, sedangkan bila jarum suntik bekas terpakai penderita hepatitis C saja sudah pasti menularkan hepatitis C itu kepada orang yang disuntik!”
Sungguh besar kasih-setia-Nya bagiku, hamba-Nya! Mungkin, Allah Bapa masih mau memakaiku. Malahan, suamiku dipanggil pulang lebih dulu pada tahun 2005, sedangkan aku diberi panjang umur oleh Tuhan, yang menentukan usia setiap orang.
» VILMA KRISTINA GUNADI
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.