Tuhan Menagih Janji untuk  Melayani-Nya

Tuhan Menagih Janji untuk Melayani-Nya

Belum ada komentar 91 Views

Saya sungguh sangat bersyukur, karena sampai detik ini, dalam usia yang sudah mencapai angka 70, Tuhan masih memberi kepercayaan bagi saya untuk melakukan pelayanan, baik bagi sesama, maupun juga bagi Tuhan sendiri. Saya sendiri sebenarnya adalah OKB, bukan orang kaya baru, melainkan orang Kristen baru, karena saya merasa benar-benar dipanggil Tuhan baru pada tahun 1984, ketika saya mengaku percaya di depan jemaat di GKI Kebayoran Baru Cabang Kebayoran Selatan.

Dalam perjalanan waktu setelah itu, beberapa kali saya dilawat agar bersedia duduk di kemajelisan, namun karena berbagai kesibukan maka saya hanya bisa menjanjikan mungkin baru setelah pensiun nanti saya akan sepenuhnya bekerja di Ladang Tuhan.

Sekalipun saya juga banyak terlibat dalam berbagai kegiatan gereja, seperti dalam persekutuan, pelawatan dan diakonia dan kemudian pada pertengahan tahun ’90-an terlibat aktif dalam penerbitan Majalah Kasut hingga kini, namun baru pada tahun 1997, setelah saya pensiun, Tuhan benar-benar menagih janji saya untuk melayani-Nya sebagai tua-tua dan pada awal tahun 2000-an, oleh Pak Albert Napitupulu diminta oleh beliau membantu penyelenggaraan Pendidikan Teologia Jemaat (PTJ).

Senyatanya, hingga saat ini saya masih dipercaya oleh Tuhan untuk menyalurkan berkat bagi gereja-gereja kecil di pedesaan yang sedang melakukan perbaikan, renovasi atau pembangunan baru, khususnya di Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Barat.

Sekalipun melelahkan, pekerjaan pelayanan di Ladang Tuhan ini sangat menyenangkan karena melalui pelayanan ini saya dapat memperoleh banyak kenalan, khususnya para hamba Tuhan di daerah pedesaan. Melalui relasi ini, saya bisa memperoleh gambaran mengenai betapa sulitnya melakukan pelayanan di pedesaan, khsusnya di daerah terpencil.

Mungkin dapat Bapak/Ibu bayangkan! Bagaimana dapat mengelola gereja dengan baik bila kolekte mingguan yang terkumpul masih jauh di bawah Rp 100.000,-? Bagaimana para hamba Tuhan dapat melakukan pelayanan dan membina umat dengan pendapatan yang tidak pasti? Temuan-temuan semacam itulah yang mendorong saya untuk bersedia berbagi dan berbela rasa dengan para hamba Tuhan di daerah pedesaan.

Kendati hanya sebagai penyalur berkat, namun saya tetap bersyukur, karena Tuhan masih memberikan kepercayaan bagi saya untuk melakukan pelayanan-pelayanan tersebut. Bagi orang lain, hal ini mungkin dianggap gila.

“Apa yang kau peroleh dari pelayanan semacam ini?” tanya seorang kawan. Memang, saya tidak memperoleh apa-apa, bahkan kadang-kadang juga masih harus nombok. Tetapi kepuasan hati dan batin dapat kuperoleh melalui pelayanan ini. Aku dapat mengenali betapa beratnya tugas-tugas pelayanan para hamba Tuhan di daerah pedesaan. Selain melayani umat, para hamba Tuhan tersebut juga masih harus berjuang bagaimana mereka dapat menghidupi keluarga mereka.

Namun “Gusti Allah ora sare!” (Tuhan tidak tidur!) Tuhan masih memerhatikan mereka dengan menyediakan lahan untuk bercocok tanam. Kenyataan inilah yang menggetarkan hati saya, selain membina umat, para hamba Tuhan ini masih berjuang untuk menghidupi keluarganya dengan cara bertani.

Jadi menurut saya, pelayanan para hamba Tuhan ini tidak mungkin akan terwujud jika semua itu bukan merupakan panggilan.

Maka beberapa waktu yang lalu, saya, dengan didukung oleh seorang sahabat yang menyediakan kendaraan, berkesempatan untuk mengajak beberapa teman dari Kelompok Bernyanyi Kombas Trogong untuk “bersafari rohani” ke 12 gereja di Solo dan Banyuwangi. Teman-teman ini saya ajak untuk melihat kondisi pelayanan di daerah pedesaan, yang tidak senyaman dengan kondisi di GKI Pondok Indah.

Kepada teman-teman ini saya mewanti-wanti, agar jika nanti sampai di sana, jika dijamu makan atau apa saja, tolong habiskan, jangan sampai ada tersisa di piring yang kita pegang. Kita hormati mereka yang telah dengan berbagai cara berupaya untuk menyambut kami sebaik-baiknya. Mereka berpatungan untuk menjamu “saudara-saudara seiman dari Jakarta.”

Selama bersafari, kamipun juga tidur seadanya, bukan di hotel berbintang, tetapi di lantai, di beberapa ruangan gereja, di mana pihak tuan rumah telah menyediakan kasur dan bantal seperlunya. Ternyata teman-teman sangat menikmati perjalanan serta pelayanan ini. Hal ini sangat menguatkan hati saya untuk terus melanjutkan pelayanan di daerah pedesaan. Dan kebetulan pula, dalam bidang pelayanan ini sayapun diminta untuk mengambil bagian di dalam Komisi Kesaksian dan Pelayanan GKI Klasis Jakarta II, di mana tugas serta pelayanan juga tidak jauh berbeda dengan tugas-tugas pelayanan di GKI Pondok Indah.

Semuanya itu saya jalani dengan penuh sukacita, karena memang sudah menjadi obsesi saya, bahwa dalam pelayanan ini Nama Tuhan harus terus dipermuliakan dan ditinggikan, sementara kita sendiri harus semakin surut.

Awalnya

Saya lahir dari keluarga biasa di Yogyakarta. Ayah saya seorang pegawai negeri dan ibu saya adalah ibu rumah tangga. Saya lahir tanggal 12 Februari 1940 atau 70 tahun yang lalu. Pada waktu itu ibu saya nampaknya masih seorang gadis remaja sewaktu dipersunting oleh almarhum Ayah saya.

Saya dibesarkan dalam keluarga yang gemar membaca, sehingga sayapun sudah diajar oleh ibu dan tante saya untuk belajar membaca sebelum masuk sekolah, dalam usia lima tahun. Jadi, waktu itu, sebelum saya masuk sekolah, buku-buku “Gelis Pinter Matja” (Cepat Pandai Membaca) dan “Tataran” (Buku Kuncung) sudah habis saya baca berulang kali. Dan hobi membaca ini terus masih berlanjut hingga saat ini.

Berbagai buku saya telan, dari novelnya Danielle Steel, Stephen King dan John Grisham dll sampai ke buku-buku politik, ekonomi dan berbagai pengetahuan lainnya, sehingga kadang-kadang, dalam perjalanan tugas ke luar negeri, saya selalu berusaha untuk membeli buku yang pada waktu itu dilarang beredar oleh Pemerintah Soeharto, sebut saja antara lain, Brian May’s “The Indonesian Tragedy,” David Jenkins’ “Soeharto and His Generals,” Harold Crouch’s “The Army and Politics in Indonesia,” Richard Robison’s “The Rise of Capital,” Howard P. Jones’ “Indonesia: The Possible Dream,” John G. Taylor’s “Indonesia’s Forgotten War,” Adam Schwarz’s “A Nation in Waiting,” Michael R.J. Vatikiotis’ “Indonesian Politics Under Suharto” dlsb.

Saya menemukan “tulang rusuk saya yang terhilang yang bernama Kasmiyati Yohana pada tanggal 24 April 1972 dan hingga saat ini dikaruniai tiga orang anak, yaitu Eka Savitri, Adhityarini Dwi Astuti, dan Wahyu Tri Purnomo, serta seorang mantu, Yudhono Ari Parmanto dan dua orang cucu, Ezra Yudhaputramada dan Yosia Galadriel Arietya.

Dalam pendidikan, saya akui saya memang blong, karena saya waktu itu banyak bergiat di organisasi kemahasiswaan hingga saya hanya dapat menyelesaikan MA (mahasiswa abadi) dan S-3 saja, yaitu SR, SMP dan SMA, bukan S-3 atau doktor. Hobi saya DO alias drop out, saya DO dari tingkat Doktoral I (tingkat IV) Fakultas Hukum UGM dan juga DO dari tingkat Kandidat II (C-2–tingkat III) Fakultas Ekonomi di universitas yang sama. Namun ketidakberhasilan saya dalam pendidikan itu tidak menghalangi saya untuk terus belajar sendiri melalui berbagai bacaan dan buku koleksi saya.

Sewaktu bekerja di LKBN ANTARA saya diminta untuk mengikuti studi untuk pendidikan non-degree di Universitas Indonesia, dengan mengambil bidang studi Sosial Politik dan Kemasyarakatan serta bidang studi internasional Tinjauan Kawasan Amerika.

Bidang-bidang yang saya pelajari tersebut ternyata sangat menunjang dalam saya menjalankan tugas-tugas jurnalistik saya, karena kebetulan saya pada waktu itu dipercaya untuk memimpin Redaksi Internasional hingga saya menjalani masa pensiun saya pada akhir tahun 1990-an sebagai Redaktur Senior. Pada masa itulah saya banyak melakukan perjalanan ke luar negeri. Tak terhitung berapa kali perjalanan jurnalistik ke mancanegara itu saya jalani. Dan pada saat-saat itulah saya banyak mengenal para pemimpin kawasan dan mewawancarai mereka, seperti PM India Ny. Indira Gandhi, Presiden Corry Aquino, PM Singapura Goh Chok Tong, PM Singapura Lee Hsien Loong, Menlu Thailand Sidhi Savetsilla, dan juga Menlu China Xian Chi Chen.

Dan setelah bebas dari tugas-tugas pekerjaan rutin sebagai wartawan, saya kini menjadi pengacara atawa pengangguran banyak acara serta membantu Majalah Kasut ini.

Itulah sekelumit kisah perjalanan hidup saya dan semoga bermanfaat. Tuhan memberkati pelayanan kita semua. Amin!

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Sudut Hidup
  • Aku mencari wajah-mu, Tuhan…
    Kesaksian Dapot Parulian Pandjaitan
    Berharga di mata Tuhan (kematian) semua orang yang dikasihi-Nya (Mazmur 116:15) Oops… Kematian? Suatu kata yang sering dihindari orang...
  • Kasih-Nya Mengalir
    Namanya Helen Jayanti, biasa dipanggil Helen. Saat ini sedang menjalani Praktek Jemaat 1 di GKI Pondok Indah. Lulusan dari...
  • Jalan Pagi Lagi di Antara Jiwa-Jiwa
    perjumpaan dengan inspirasi kehidupan lain yang juga mendatangkan syukur
    Upaya Menjaga Kebugaran Sungguh tak mudah memulai kembali sebuah rutinitas, terutama yang menyangkut fisik, apalagi kalau memang pada dasarnya...
  • Jalan Pagi di Antara Jiwa-Jiwa
    Perjumpaan-perjumpaan yang menginspirasi kehidupan dan mendatangkan syukur.
    Jalan Pagi Untuk menjaga kondisi dan kesehatan jasmani di masa yang menekan ini sehingga tidak banyak aktivitas yang bisa...
  • In-Memoriam: Pdt. (Em.) Timotius Setiawan Iskandar
    Bapak bagi banyak anak yang membutuhkan kasih: yang kukenal dan kukenang
    Mencari Tempat Kos Setelah memutuskan untuk mengambil kuliah Magister Manajemen pada kelas Eksekutif (kuliah pada hari Sabtu-Minggu) di Universitas...