Tikkun Olam

Belum ada komentar 575 Views

Dalam tradisi Yahudi pada umumnya dan tradisi Kabbalah secara khusus, tikkun olam merupakan gagasan yang sangat sentral. Sekalipun kata ini tak muncul secara tersurat dalam teks Kitab Suci Perjanjian Lama, gagasan di baliknya berserakan di seluruh Perjanjian Lama dan sedikit banyak diteruskan hingga Perjanjian Baru.

Apakah tikkun olam?

Makna aslinya adalah “mereparasi dunia.” Dalam tradisi Kabbalah, dunia dicitrakan seperti sebuah bejana yang disinari oleh terang ilahi. Namun karena keterbatasan dan kelemahannya, dunia tak mampu menerima sepenuhnya terang ilahi tersebut dan iapun terpecah berkeping-keping. Namun, masing-masing serpihan tetap menyimpan terang ilahi tersebut. Tikkun olam merupakan sebuah panggilan agar setiap insan berpartisipasi dalam usaha mereparasi dunia yang terpecah itu.

Saya berkesempatan membagikan gagasan ini dalam dua persekutuan kecil. Tentu saja, pertanyaan yang muncul adalah, mengapa bicara masalah “dunia yang luas” kepada “kelompok yang kecil”? Atau: apa hubungannya masalah global dengan hidup personal? Tikkun olam merupakan gagasan yang bermakna tak lain karena ia menyediakan sebuah gambaran global bagi setiap orang untuk memaknai hidupnya, sebagai anggota masyarakat dunia, dalam konteks hidupnya kini dan di sini. Kecuali seseorang memiliki gambaran global semacam ini, apa pun yang dikerjakannya dengan mudah menjadi tak bermakna dan kehilangan arah dan visi utamanya.

Jadi, di satu sisi, tikkun olam menyediakan jangkar iman yang jelas, bahwa apa pun yang kita kerjakan selalu berada di antara dua pilihan: ikut mereparasi dunia atau ikut merusak dunia. Tak ada pilihan lain. Di sisi lain, tikkun olam memberi peluang pada setiap insan untuk menyadari bahwa ia dipercaya untuk ikut mereparasi dunia yang luas dan besar ini, melalui serpihan kecil yang memang menjadi bagiannya. Maka, tak ada tugas mereparasi dunia yang terlalu kecil hingga tak bermakna sama sekali, atau terlalu besar hingga tak terjangkau oleh setiap orang. Tugas mereparasi dunia yang diemban oleh masing-masing orang merupakan bagian dari jejaring yang lebih luas.

Dalam telaah yang lebih mendalam, dapatlah ditegaskan bahwa setiap orang mengambil bagian dalam tugas mereparasi dunia yang memiliki dua wajah sekaligus: kontekstual dan katolik. Kontekstual, karena tugas mereparasi dunia tak bisa dilakukan selain dalam situasi atau konteks khusus tertentu, kini dan di sini. Kepada setiap orang dipercayakan sebuah serpihan dunia. Sekaligus, ia bersifat katolik (kata-holos: umum, menyeluruh), karena serpihan dunia yang dipercayakan kepada setiap orang itu adalah bagian dari dunia seutuhnya. Sama seperti, setiap orang merupakan warga dunia ini.

Tikkun olam menyiratkan keyakinan bahwa dunia ini, sekalipun rusak dan terpecah, tetap dihargai dan dicintai. Dunia yang rusak ini tak ditinggalkan oleh Allah. Dan karenanya, tak boleh juga diabaikan oleh manusia. Dunia yang rusak itu tetaplah dunia yang diciptakan Allah dengan indahnya dan dicintai sepenuhnya oleh Sang Pencipta. Citra semacam ini sungguh bertolak belakang dengan citra lain yang disuguhkan oleh banyak teologi kontemporer yang menganggap bahwa pada saatnya Tuhan akan menciptakan dunia lain, sebagai kediaman abadi kita, yang sama sekali berbeda dengan dunia yang pernah diciptakan-Nya, yang kita diami kini. Teologi semacam ini menciptakan kesadaran palsu, karena tugas manusia di tengah dunia lantas dipahami sebagai persiapan meninggalkan dunia yang rusak ini demi memasuki dunia yang ideal (entah dengan nama surga, atau apa pun). Tugas “meninggalkan dunia” ini berlawanan secara kontras dengan tikkun olam, yang justru mengandaikan tugas “memasuki dunia” yang terpecah ini dan ikut mereparasinya.

Dalam terang iman Kristen, tindakan mereparasi dunia ini merupakan tindakan Allah sendiri. Missio Dei, misi Allah. Ia pertama-tama bukan misi gereja-gereja, missiones ecclesiae. Misi gereja tak lain adalah berpartisipasi-mengambil bagian-dalam misi Allah yang tunggal itu. Allahlah yang empunya seluruh karya pembaruan dunia. Dan Ia mengutus Anak-Nya, Kristus, dalam kuasa Roh Kudus, untuk mengerjakan karya pembaruan ini. Manusia, yaitu kita semua, diundang untuk berpatisipasi dalam karya ilahi ini. Gagasan semacam ini dituangkan secara jelas, misalnya dalam undangan Yesus kepada para murid-Nya di dalam Yohanes 9:4a, “Kita harus mengerjakan pekerjaan Dia yang mengutus Aku.” Ada tiga kata ganti yang dipakai di sini: Kita, Dia, Aku. “Kita” menunjuk pada Yesus dan murid-Nya; kata “Dia” mengacu pada Allah Bapa, yang memiliki “pekerjaan” atau misi tunggal itu; “Aku” tentu saja menunjuk pada Yesus yang diutus sebagai pengemban misi Allah itu. Singkatnya: Misi Allah yang tunggal itu diserahkan pada Kristus (dalam kuasa Roh Kudus) dan manusia diundang untuk berpartisipasi ke dalamnya. Kita bukan pemilik misi itu, kita hanya pembantu-atau mungkin lebih terhormat lagi: mitra-Allah.

Kita hanyalah “turut” di dalam karya ilahi itu. Kita bukan aktor utama, apalagi sutradara drama tikkun olam. Secara jernih, Wahyu 21 mengalimatkan ulang tikkun olam, lewat ucapan Yesus: “Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!” Inilah visi global yang menjadi sumbangan kristiani dalam memaknai tugas bersama tikkun olam. Sang Sabda, yang melalui-Nya Allah menciptakan seluruh dunia (Kej.1), kini membeberkan visi global bersama, di mana Ia akan mereparasi dunia dan memperbarui seluruh ciptaan.

Sidang Raya REC (Reformed Ecumenical Council) tahun 2000, yang diselenggarakan di Yogyakarta, mengambil tema “Making All Things New.” Nyanyian tema yang dipakai dalam sidang raya tersebut, Behold I Make All Things New (The Iona Community, 1995), agaknya mencerminkan spiritualitas tikkun olam. Perhatikan kalimat kedua dari syairnya:

Behold, behold,
I make all things new,
Beginning with you and starting from today.
Behold, behold,
I make all things new,
My promise is true,
for I am Christ the Way.
Lihatlah, lihatlah,
Aku menjadikan segala sesuatu baru,
Berawal darimu dan bermula hari ini.
Lihatlah, lihatlah,
Aku menjadikan segala sesuatu baru,
Janji-Ku sungguh,
karena Akulah Kristus
Sang Jalan.

 

 
Pdt. Joas Adiprasetya

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Artikel Lepas
  • Kami Juga Ingin Belajar
    Di zaman ini, dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin cepat, manusia justru diperhadapkan dengan berbagai macam masalah...
  • KESAHAJAAN
    Dalam sebuah kesempatan perjumpaan saya dengan Pdt. Joas Adiprasetya di sebuah seminar beberapa tahun lalu, ia menyebutkan pernyataan menarik...
  • Tidak Pernah SELESAI
    Dalam kehidupan ini, banyak pekerjaan yang tidak pernah selesai, mulai dari pekerjaan yang sederhana sampai pekerjaan rumit seperti mengurus...
  • Mengenal Orang Farisi
    Bedah Sejarah Israel Di Masa Yesus
    Arti Kata Farisi Kata Farisi—yang sering diterjemahkan sebagai ‘memisahkan/terpisah’— menunjukkan sikap segolongan orang yang memisahkan diri dari pengajaran—bahkan pergaulan—...
  • Mengenal Sosok Herodes
    Bedah Sejarah Israel Di Masa Yesus
    Herodes dalam Injil Banyak orang tidak terlalu menaruh perhatian pada sosok Herodes dalam Injil. Kebanyakan mereka hanya tahu bahwa...