Tetap Teguh Kepada Janji Allah

Tetap Teguh Kepada Janji Allah

Belum ada komentar 1726 Views

Umumnya tindakan seseorang mengaku percaya atau beriman dinyatakan secara riel pada saat itu. Mengaku percaya kepada Tuhan sebagaimana yang dinyatakan dalam baptisan dewasa maupun dalam sidi selalu terjadi pada masa sekarang. Itu sebabnya dalam surat baptis-sidi terdapat pernyataan: “Di hadapan sidang jemaat sudah mengaku kepercayaannya dan diterima sebagai anggota sidi pada tanggal…”

Sikap iman kepada Tuhan seharusnya memang terjadi tiap-tiap saat dalam seluruh rangkaian kehidupan kita. Iman perlu terus kita rawat, dilatih dan dikembangkan agar iman kita kepada Kristus dapat tetap eksis dan terus bertumbuh dengan sehat. Ketika kita mengabaikan perawatan, pelatihan dan pertumbuhan terhadap iman, maka kehidupan iman kepada Tuhan dapat macet/“stagnan”, lalu mati. Karena itu iman kita kepada Tuhan perlu terus-menerus ditempatkan dalam persekutuan dan komunikasi yang personal dengan Tuhan dan kasih kepada sesama secara utuh.

Namun pada sisi lain, iman kita kepada Tuhan bukan hanya terjadi pada masa kini. Iman kita memang perlu terus-menerus berdialog dengan Tuhan dan sesama pada masa sekarang, tetapi kehidupan iman juga harus terarah kepada janji Tuhan di depan. Ini berarti iman kepada Tuhan memiliki dimensi masa kini dan masa mendatang.

Dalam dimensi masa kini, iman terus berdialog dengan realitas hidup yang nyata dan kelihatan. Sedang dalam dimensi masa mendatang, sikap iman terarah kepada janji Allah yang tidak kelihatan dan masih belum terjadi. Kedua dimensi iman yang terjadi pada masa kini dan masa mendatang pada hakikatnya merupakan realitas rohaniah yang saling terkait, saling mendukung dan saling mempengaruhi. Jadi bagaimana kita dapat tetap beriman manakala pada masa kini kita sedang mengalami problem hidup yang sangat berat. Apakah pada saat itu kita masih dapat memegang janji Tuhan di masa depan?

Di Roma 4:19-20 rasul Paulus membahas sikap iman Abraham, yaitu: “Imannya tidak menjadi lemah, walaupun ia mengetahui, bahwa tubuhnya sudah sangat lemah, karena usianya telah kira-kira seratus tahun, dan bahwa rahim Sara telah tertutup. Tetapi terhadap janji Allah ia tidak bimbang karena ketidakpercayaan, malah ia diperkuat dalam imannya dan ia memuliakan Allah”. Keadaan Abraham pada waktu itu telah sangat tua. Dia telah berusia sekitar 100 tahun dan rahim Sara juga telah tidak memungkinkan lagi untuk dibuahi dan melahirkan seorang anak. Padahal sebelumnya Allah telah berjanji akan mengaruniakan keturunan kepada Abraham sebanyak bintang di langit (Kej. 15:5).

Realitanya Abraham dan Sara saat itu sudah tidak lagi memungkinkan untuk memiliki keturunan. Fisik mereka telah sangat renta. Secara biologis Sara tidaklah mungkin dapat dibuahi lagi sel telurnya. Dan Abraham pun sebagai seorang suami sebenarnya tidak mungkin mampu melakukan tugasnya dengan baik. Dalam situasi demikian sebenarnya kepercayaan Abraham dan Sara terhadap janji Allah dapat segera pudar.

Ketika realitas masa kini sangat pahit dan tanpa harapan, maka dimensi iman kepada janji Allah di masa mendatang juga sebenarnya sangat sulit diwujudkan. Bagaimana mungkin seorang nenek yang telah berusia sekitar 90 tahun masih berharap memiliki seorang anak? Kalau harapan tersebut dikemukakan pada masa kini, pastilah kita semua juga akan tertawa dan mencemooh. Orang tersebut akan kita anggap “aneh” atau mungkin “kurang waras”. Sebab dari sudut ilmiah dan akal sehat tidaklah mungkin seorang wanita yang telah mati haid dan telah renta dapat melahirkan seorang anak.

Jadi seandainya Abraham dan Sara waktu itu pudar imannya terhadap janji Allah untuk mengaruniakan keturunan sebenarnya sikap mereka tidaklah terlalu keliru. Bukankah iman juga harus tetap realistis? Iman yang sehat tidak boleh dibangun di luar realitas kehidupan. Iman kita kepada Tuhan tidak boleh bersandar kepada harapan-harapan semu atau imaginasi yang tidak riel.

Tetapi tampaknya pernyataan dan janji Allah kepada Abraham sebagaimana yang disaksikan oleh Alkitab sangatlah khusus. Karena itu kasus Abraham dan Sara yang telah renta dan mati haid yang terus berharap untuk memiliki seorang anak tidaklah boleh menjadi dasar pijakan bagi setiap orang yang mendambakan kehadiran penerus keturunannya. Tidak setiap kasus yang terjadi dalam tokoh-tokoh Alkitab boleh dipakai sebagai dasar permohonan doa kita, sebab kasus pertolongan Allah tersebut kadang-kadang bersifat sangat khusus, unik dan hanya satu kali terjadi. Jika demikian, apa yang dapat kita teladani dalam sikap Abraham yang tetap teguh beriman kepada janji Allah?

Kepercayaan Abraham kepada janji Allah pada prinsipnya tidak terpengaruh oleh situasi dan keadaan jasmaniah atau keadaan lingkungan eksternal di sekitar dirinya. Iman kepada Tuhan dihayati oleh Abraham secara “otonom” (mandiri). Maksudnya iman kepada Tuhan tidak boleh tergantung oleh aspek-aspek lahiriah dan peristiwa-peristiwa yang sedang terjadi walaupun peristiwa tersebut sebenarnya sangat pahit. Abraham mampu berserah penuh dan percaya kepada kehendak Allah. Itu sebabnya di Roma 4:20-21 rasul Paulus berkata: “Tetapi terhadap janji Allah ia tidak bimbang karena ketidakpercayaan, malah ia diperkuat dalam imannya dan ia memuliakan Allah dengan penuh keyakinan, bahwa Allah berkuasa untuk melaksanakan apa yang telah Ia janjikan”. Jadi yang sangat menonjol dalam sikap iman Abraham adalah dia tetap memuliakan Allah, walaupun realitanya Abraham saat itu tidak atau belum menerima apa yang diharapkannya.

Abraham dapat memuliakan dan tetap percaya kepada Allah karena dia memiliki iman yang tanpa syarat (unconditional of faith). Justru kondisi iman kita sering tidaklah demikian. Iman kita kepada Tuhan sering bersyarat (conditional of faith) sehingga mudah terpengaruh oleh situasi atau keadaan lingkungan eksternal yang terjadi di sekitar kita. Ketika situasi atau pengalaman yang kita alami sangat indah dan usaha kita serba lancar, iman kita akan dipenuhi oleh perasaan antusiasme untuk percaya dan melayani Tuhan. Tetapi ketika situasi dan pengalaman yang kita alami serba mengecewakan dan menyakitkan, maka iman kita mulai ragu-ragu dan goyah. Misalnya ketika kita kehilangan pekerjaan, apakah kita tetap berpegang teguh kepada janji Allah? Ketika kita menderita sakit yang cukup lama, apakah kita tetap mampu berserah kepada Tuhan? Ketika kita mengalami suatu musibah dan kehilangan orang-orang yang kita cintai, apakah iman kita tetap tidak berubah? Ketika kita dilukai dan dihina oleh teman sepelayanan, apakah kita tetap percaya kepada kehendak dan rencana Allah?

Kita harus mengakui bahwa tidaklah mudah untuk tetap berpegang teguh kepada janji-janji Allah ketika situasi yang kita alami dan lingkungan sekitar kita tidak mendukung. Ini berarti semakin kita mudah terpengaruh oleh situasi yang sedang terjadi dan peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitar, maka iman kita tidak pernah mampu bertumbuh secara “otonom” (mandiri) dan berkualitas. Tetapi semakin kita mampu “mengambil jarak” yang rasional dan bijaksana terhadap berbagai situasi yang sedang terjadi atau kejadian-kejadian di sekitar kita, maka iman kita akan semakin matang dan berkualitas. Sehingga dengan iman yang semakin matang dan berkualitas, kita akan dimampukan oleh Tuhan untuk tetap teguh berpegang kepada janji-janjiNya. Dengan kondisi demikian, iman kita tidak akan mudah goyah walaupun saat itu kita sedang mengalami berbagai hal yang buruk dan menyakitkan hati.

Selain itu kepercayaan Abraham kepada janji Allah mampu mendorong Abraham untuk terus berjalan dan tertuju ke arah masa depan. Orientasi mata iman Abraham adalah ke depan. Firman Tuhan yang pernah dia terima bukan hanya dihayati sebagai “sejarah-firman” saja, tetapi juga dihayati sebagai “sejarah-janji Allah”. Karena itu firman Tuhan yang pernah diterima tidak dihayati oleh Abraham hanya sebagai suatu peristiwa iman di masa lampau, tetapi lebih dihayati secara eksistensial oleh Abraham sebagai suatu peristiwa eskatologi. Iman Abraham dapat tetap hidup dan dinamis karena dia mau membuka diri untuk ditarik oleh Allah yang eskatologis ke masa depan. Mengapa? Karena bagi Abraham, Allah yang pernah bersabda dan memberi janji kepadanya adalah Allah yang selalu berjalan di depan. Janji yang diucapkan Allah bukanlah oleh Allah masa lampau; tetapi oleh Allah yang telah berjalan di depan sehingga Dia selalu mengetahui secara sempurna segala hal yang akan terjadi dalam setiap aspek kehidupan umatNya. Ini berarti yang menjadi fokus utama dari iman Abraham pertama-tama bukanlah soal janji Allah; tetapi yang paling utama bagi Abraham adalah kehadiran diri Allah sebagai pribadi ilahi yang penuh kuasa dan mengasihi dia.

Abraham percaya kepada Allah dan karena itu dia percaya kepada janjiNya. Bukan sikap yang sebaliknya! Firman Tuhan tidak pernah menyatakan bahwa Abraham percaya kepada janji Allah lalu dia kemudian mau percaya kepada Allah. Kedua bentuk pemikiran teologis tersebut kelihatannya hampir sama tetapi secara substansial sangatlah berbeda. Banyak orang Kristen yang mau percaya kepada janji Allah dengan tujuan sekedar untuk menguatkan imannya kepada Allah. Kalau janji Allah terpenuhi, maka mereka baru mau percaya kepada Allah. Tetapi ketika janji Allah tidak terwujud, maka iman mereka menjadi runtuh. Tidaklah demikian sikap iman Abraham! Dia percaya terlebih dahulu kepada Allah, dan baru kemudian Allah bersedia mewujudkan janjiNya. Karena itu Abraham memilih untuk tetap berjalan bersama dan dituntun oleh Allah yang eskatologis, sehingga dengan imannya yang tetap teguh tersebut dapat membawa Abraham untuk menyaksikan dan mengalami janji-janji Allah.

Jadi sangatlah jelas bahwa rahasia spiritualitas iman Abraham yang mampu tetap berpegang kepada janji Allah terletak pada relasi atau hubungan personalnya dengan Allah yang eskatologis. Hubungan antara Abraham dan Allah lebih menunjuk suatu relasi “I and Thou” (mengutip pemikiran Martin Buber, filsuf Yahudi dalam bukunya yang berjudul “Ich-Du”). Artinya dalam hubungan “I and Thou” mengungkapkan suatu peristiwa perjumpaan yang begitu personal dan otentik seperti 2 orang kekasih yang saling menyayangi. Menurut Martin Buber seharusnya hubungan manusia dengan Allah dipenuhi oleh kasih yang personal sedemikian rupa sehingga tidak ada kemungkinan sedikitpun bagi manusia memperalat Allah sebagai obyek.

Karena suatu hubungan yang saling memperalat pihak lain pada hakikatnya akan meniadakan otentisitas kasih dan hakikat personalnya. Itulah jenis hubungan/relasi “I and It”; yang kita tahu kata ganti “It” dalam bahasa Inggris dipakai untuk menunjuk suatu benda atau yang dianggap bukan untuk manusia atau Tuhan. Dalam jenis hubungan “I and It”, manusia akan berupaya menjadikan Tuhan dan sesamanya sebagai alat untuk memenuhi berbagai kebutuhan dan keinginannya pribadi. Karena itu dalam hubungan “I and It” tidak pernah mengenal hakikat dan makna cinta-kasih; tetapi hanyalah tindakan yang memanipulasi dan mengeksploitasi pihak lain. Sebagaimana Yahweh, maka Allah di dalam Kristus bukanlah Allah yang dapat diperalat atau dikendalikan untuk kepentingan manusiawi. Dia adalah satu-satunya Allah yang berkuasa dan mengatur seluruh perjalanan sejarah umat manusia. Namun di sisi lain, Dia adalah Allah yang sangat peduli dan mengasihi manusia sehingga Dia senantiasa berupaya mengangkat, memulihkan, menyembuhkan dan menyelamatkan setiap orang yang percaya kepadaNya.

Allah yang bernama Yahweh pada hakikatnya tidak pernah berhenti hanya sampai pada periode Perjanjian Lama, tetapi Dia tetap berkarya dan menyelamatkan umatNya untuk selama-lamanya. Dia adalah Allah yang eskatologis. Itu sebabnya melalui Kristus, hakikat kasih Allah tidak pernah berubah. Dia memanggil manusia secara personal termasuk orang yang dianggap telah berdosa dan penuh dengan cacat cela.

Di Matius 9:9, menyaksikan sikap Kristus, yaitu: “Setelah Yesus pergi dari situ, Ia melihat seorang yang bernama Matius duduk di rumah cukai, lalu Ia berkata kepadanya: ‘Ikutlah Aku’. Maka berdirilah Matius lalu mengikut Dia”. Walau menurut pandangan orang Yahudi, tokoh Matius dianggap sebagai seorang lintah-darat dan pengkhianat bangsanya karena dia telah menjadi kaki-tangan pemerintah Romawi tetapi ternyata Allah berkenan memanggil dia keluar dari kehidupan lamanya untuk dijadikan seorang hambaNya. Karena itu Kristus memanggil Matius dengan berkata “Ikutlah Aku”. Sebagaimana Abraham, maka Matius juga dipanggil untuk mengikuti langkah Tuhan yang bergerak ke depan. Bukankah gagasan “mengikut Kristus” menunjuk suatu gambaran dari diri Kristus yang berjalan di depan, sedangkan kita berjalan di belakangNya agar kita dapat mengikuti setiap langkahNya?

Setelah Matius dipanggil oleh Kristus, arah langkahnya bergerak ke depan, yaitu ke arah janji Kristus. Dia segera meninggalkan statusnya sebagai seorang pemungut cukai saat dia mengikuti langkah Kristus. Padahal pekerjaan sebagai seorang pemungut cukai pada waktu itu secara finansial jelas sangat menguntungkan dan mampu memberikan kelimpahan materi. Saat Matius mengambil keputusan untuk meninggalkan profesinya sebagai seorang pemungut cukai berarti pula dia harus siap untuk kehilangan semua yang pernah dimilikinya. Sehingga ketika dia mengikut Kristus, Matius secara faktual tidak lagi memiliki harta milik dan hanya mengandalkan perkataan dan janji Kristus kepadanya. Bukankah antara Abraham dan Matius, masing-masing memiliki sikap iman yang tetap teguh berpegang kepada janji Allah? Mereka berdua sama-sama dipilih oleh Tuhan untuk meninggalkan masa lalunya yang buruk, kemudian mereka bergerak ke depan sesuai dengan rencana serta kehendak Allah.

Makna berpegang teguh kepada janji Allah pada masa kini makin tidak mudah. Selaku bangsa dan umat manusia saat ini kita telah menghadapi permasalahan hidup yang serba global dan makin kompleks seperti: fakta pemanasan global, rusaknya lingkungan hidup, makin terbatasnya sumber enersi bumi, meledaknya jumlah penduduk, makin tingginya tingkat kemiskinan, rusaknya komunikasi yang makin mempertebal dinding pembatas suku, agama dan ras. Pada masa kini kita semua makin berada dalam ketidakpastian hidup, umat yang makin mengerang kesakitan, putus-asa, mengalami depresi, sekarat dan bunuh-diri. Seandainya kita membiarkan diri dipengaruhi dan diseret oleh berbagai peristiwa yang sedang terjadi, maka siapa pun juga akan runtuh imannya. Karena itu kita membutuhkan iman yang semakin matang, “otonom” (mandiri) dan berkualitas sehingga kita mampu berdiri tegak di tengah-tengah pergolakan hidup. Kuncinya adalah kita tetap memiliki relasi dan komunikasi yang semakin intim dengan Tuhan di tengah-tengah permasalahan yang sedang terjadi. Sehingga dengan persekutuan yang intim bersama Tuhan tersebut akan memampukan kita untuk tetap berpegang teguh kepada janji-janjiNya.

Karena kita percaya bahwa Tuhan Yesus akan menyertai dan memampukan kita untuk melewati berbagai kesulitan, pergumulan dan krisis dalam kehidupan ini. Dan pada saatNya yaitu pada kedatangan Kristus yang terakhir, Tuhan Yesus akan membaharui seluruh kehidupan yaitu “langit dan bumi yang baru”. Jika demikian, apakah kehidupan kita senantiasa berfokus kepada Kristus selaku pengendali jalannya sejarah?

Kalau hidup kita telah terarah dan berfokus kepada Kristus, maka kita tidak boleh membiarkan diri dipengaruhi oleh berbagai peristiwa yang menyedihkan dan mengecewakan khususnya ketika harapan-harapan atau keinginan kita tidak terpenuhi. Kita perlu terus berpegang teguh kepada janji-janji Tuhan yang memiliki masa dan waktu yang tepat bagi kita; bukan masa dan waktu menurut pola keinginan kita sendiri.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Teologia
  • Puasa: Laku Spiritual di Masa Prapaska
    Dalam perjalanan hidup sebagai seorang Kristen, pernahkah kita berpuasa? Meskipun puasa sudah tidak asing dipraktikkan oleh umat Allah pada...
  • Kasih Terbesar
    Hakikat Penderitaan Yesus Paska, dalam kebiasaan orang Kristen, kurang mendapatkan posisi yang kuat ketimbang Natal dengan segala gemerlap dan...
  • Yesus: Milik Muslim Atau Kristen?
    sebuah dialog untuk menemukan ujung pemahaman bersama dalam perbedaan
    Dialog Antar Iman Hidup bersama dalam perbedaan sebenarnya wajar. Masalah baru timbul manakala perbedaan itu dijadikan alasan untuk tidak...
  • Merengkuh Terang
    Allah Pencipta Terang … dan Gelap Sebagai hal yang diciptakan pada hari pertama (Kej. 1:3), terang memiliki peran yang...
  • Laborare Est Orare
    menyikapi dikotomi ‘berdoa’ atau ‘bekerja’
    ‘Ora et Labora’ Kita mengenal akrab dan sangat memahami idiom yang artinya ‘Berdoa dan Bekerja’ ini. Sebuah prinsip yang...