Tentang Salib

Tentang Salib

1 Komentar 495 Views

Ketika pertama kali mengunjungi Israel dan khususnya kota tua Yerusalem, tak sabar rasanya menunggu kesempatan untuk menapaki Via Dolorosa, jalan yang dengan derita disusuri Yesus memikul salib menuju Golgota. Ingin saya melihatnya dengan mata kepala, menapaktilasi langkah-langkah Yesus dan merasakan sendiri derita-Nya di sana. Namun apa yang akhirnya dalam kenyataan saya saksikan dan rasakan amatlah bertolak belakang dengan bayangan dan harapan saya.

Via Dolorosa adalah sebuah jalan, atau lebih tepat bila disebut sebagai lorong, yang amat ramai, dipenuhi oleh kios dan toko yang terutama menjual cindera mata religius, terutama Kristen-Katolik dan yang setempat Israel-Palestina. Dan karena begitu banyak jumlah mereka, maka tak segan-segan mereka keluar dari kios dan toko mereka menjajakan jualan mereka dengan suara riuh-rendah. Dalam bahasa Inggris, bahkan satu-dua orang dalam bahasa Indonesia (!), mereka menawarkan benda-benda religius dengan terasa agak sinis, apalagi mereka belum tentu orang Kristen.

Suasana kian ramai dan jalanan menjadi makin sesak oleh kelompok-kelompok turis yang kerap kali menamakan diri kelompok peziarah, yang silih-berganti lewat. Mereka biasanya dipimpin oleh imam-imam atau pendeta-pendeta yang tanpa menghiraukan sekitarnya yang kacau dan ramai, membacakan kisah penderitaan Kristus. Sesekali para pemimpin itu mendorong anggota kelompoknya untuk bergantian memikul salib seperti Kristus. Hanya memang salib yang mereka bawa terbuat dari papan tipis dan kelihatan ringan, karena seorang nenek bungkuk yang usianya saya taksir tujuhpuluhan dapat memanggulnya dengan mudah. Kelompok-kelompok yang memerankan atau mensimulasikan prosesi penyaliban ini tampak seperti karikatur kering di tengah hiruk-pikuk Via Dolorosa. Terkadang para penjaja dengan sinis menawarkan salib yang menurut mereka lebih baik, dari kayu atau emas dan perak, dan yang lebih mudah serta praktis dibawa ke mana-mana.

Alih-alih berefleksi melalui pengalaman religius di Via Dolorosa, saya didera oleh semacam sinisme atas salib atau paling tidak ketidakpedulian pada salib. Namun saya mensyukurinya karena saya jadi sungguh-sungguh berefleksi tentang salib. Salib yang disepelekan, disalahmengertikan, bahkan disalahgunakan.Padahal salib bagi kita adalah simbol utama dari iman Kristen. Salib berarti Kristus yang rela menderita sampai mati demi kita. Salib adalah pengejawantahan kasih Allah kepada kita, kepada kemanusiaan, bahkan kepada dunia, meski dunialah yang menyalibkan-Nya. Penyaliban yang masih berlanjut dalam bentuk sinisme terhadap salib.

Dan itu sudah dimulai sejak masa Yesus sebagaimana direkam oleh para penginjil dan Paulus dalam Alkitab. Bagi para pemuka agama dan masyarakat Yahudi (Sanhedrin, para imam, ahli Torat, kaum Farisi) penyaliban Kristus tidak lebih dari upaya mengukuhkan wibawa dan kuasa mereka. Bahkan secara politis salib (Kristus) itu adalah alat atau senjata yang ampuh untuk menyudutkan penguasa penjajah, yaitu Pilatus. Salib menjadi lambang dari ketidakberdayaan Pilatus atas tuntutan mereka.

Maka pada gilirannya, Pilatus pun menggunakan salib untuk membalas dendam dengan mengolok-olok orang Yahudi. Ia memang meluluskan tuntutan untuk menghukum Yesus dengan penyaliban. Tetapi ia lalu memerintahkan untuk menyematkan sebuah tulisan di atas salib, yang biasanya dalam replika salib modern disingkat dengan “INRI”. Yang dimaksudkan dengan singkatan itu aslinya cukup panjang, yaitu “Yesus orang Nasaret, Raja orang Yahudi”. Tentu saja para pemuka Yahudi memrotes keras. Akan tetapi Pilatus tidak memedulikannya. Bahkan memerintahkan agar tulisan itu dipajang dalam 3 bahasa: Ibrani, Latin dan Yunani, agar siapa pun yang membacanya pada masa itu, akan memahaminya. Salib menjadi olok-olok Pilatus tentang kuasa dan wibawa para pemuka Yahudi.

Dan seolah itu belum cukup, para pengawal yang bertugas mengawasi dan menjaga keamanan di sekitar situs penyaliban, mengundi pakaian Yesus yang ternyata cukup berharga. Salib bagi mereka tidak lebih daripada sekadar komoditi untuk meraih untung. Nyaris tidak ada bedanya dengan para penjaja cindera mata religius di sepanjang Via Dolorosa, bahkan para operator tur ke Israel, tentunya tidak semua, yang menjadikan simulasi prosesi penyaliban sekadar andalan dalam paket bisnis mereka. Sebab itulah sebenarnya realita persepsi dan sikap atas salib pada zaman dan saat ini.

Lalu apakah pemahaman dan sikap orang percaya terhadap salib baik dan tepat? Bahwa ia adalah gambaran Kristus yang menderita demi keselamatan dunia amatlah jelas. Salib adalah lambang kemenangan atas dosa dan maut, dan jalan menuju ke kehidupan kekal. Bahkan ada yang bertindak lebih jauh dengan menjadikan salib benar-benar senjata melawan kuasa jahat. Lihat saja kisah dan film tentang Dracula, vampir dan sebangsanya yang biasanya tunduk pada salib. Itu sebabnya barangkali mengapa hampir di tiap rumah orang Kristen tergantung sebuah salib.

Namun ketika orang (Kristen) bicara tentang “salibku” maka maknanya amat bertolak belakang. Ia bukan lagi lambang kemenangan dan sumber kekuatan, tetapi sesuatu yang sulit, berat bahkan beban yang nyaris tak tertanggungkan dalam hidup. Salib itu lalu bisa berarti masalah yang besar dan rumit, penyakit yang berat bahkan terminal, pasangan atau anak yang mempunyai handikap. Pendeknya salib di sini berarti beban yang tidak pernah dikehendaki. Beban yang mau tak mau, terpaksa, dipikul dalam hidup. Beban yang bila mungkin dicampakkan jauh-jauh. Dalam alur pikir ini salib adalah lambang penderitaan. Dan ini berarti salib disalahmengerti bahkan disalahgunakan.

Pada Yesus, salib tidak pernah dialami sebagai beban yang kalau bisa dicampakkan. Yesus memilih untuk memikul salib-Nya dengan sukarela. Maka itu salib Kristus adalah lambang ketaatan-Nya kepada Bapa-Nya yang di surga, sekaligus simbol kasih-Nya terhadap dunia dan manusia, terhadap kita. Oleh salib-Nya kita mendapatkan kesempatan baru, hidup yang baru dalam relasi yang telah dipulihkan, dengan Allah, dengan diri kita sendiri, dengan sesama kita, dengan dunia dan dengan segenap ciptaan. Walau sempat bimbang dan takut menanggungnya, Yesus memilih untuk dengan mantap kemudian mengatakan: “…bukan kehendakku melainkan kehendak-Mu jadilah…”

Jelaslah kiranya bahwa salib bukanlah sekadar simbol penderitaan apalagi jimat penangkal kuasa jahat. Gagasan yang dimanifestasikannya bukanlah beban yang tidak dikehendaki, tetapi pengorbanan. Tepatnya salib adalah manifestasi dari pengorbanan diri Yesus bagi dunia, bagi kita. Pengorbanan yang dengan sadar ditawarkan. Bagi Yesus tindakan pengorbanan itu adalah pilihan yang tepat, perbuatan yang benar. Karena pengorbanan diri itu didasarkan pada keyakinan bahwa kehendak Bapa untuk kepentingan segenap ciptaan, adalah sesuatu yang memang harus dilakukan. Bapa yang mengasihi dunia, para pendosa juga kita semua. Dan justru inilah yang tak dapat dimengerti apalagi diterima oleh banyak orang.

Bagi orang Yahudi, gagasan salib seperti itu tidak dapat diterima. Dalam “teologi Mesianik” orang Yahudi, salib dan gagasan Tuhan yang mengasihani dan mengasihi, apalagi berkorban, adalah batu sandungan yang meresahkan. Dalam teologi itu sulit dipahami dan diterima bahwa seorang mesias mati dalam kehinaan. Seorang mesias adalah juru selamat yang gagah perkasa memasuki kota Yerusalem, membangun kembali Bait Allah dan mengembalikan kejayaan Israel.

Bagi orang Yunani, salib dan gagasan Tuhan yang mengasihani dan mengasihi, apalagi berkorban, adalah kebodohan. Pertama-tama hal itu sama sekali tidak dapat dikategorikan sebagai masuk akal dalam cara berpikir mereka. Selain itu, persepsi mereka ialah bahwa Tuhan tidak berpribadi bahkan tidak berperasaan. Sebab bila tidak demikian, maka Tuhan mudah dipengaruhi oleh apapun situasi manusia. Dan bila itu yang menjadi kenyataan, maka Tuhan berarti lebih kecil ketimbang manusia.

Bagi orang percaya, mestinya diyakini bahwa salib adalah hakikat iman Kristen. Kuasa Kristus justru nyata di dalam penderitaan-Nya. Kebesaran-Nya justru terletak pada solidaritas-Nya pada manusia dan kerelaan-Nya berkorban bagi manusia. Dan karena itu memang salib adalah batu sandungan. Batu sandungan (Yunani: skandalon) yang sayangnya kini mendapatkan konotasi negatif, sebagai sesuatu yang dapat menyebabkan orang jatuh dalam arti kiasan. Padahal tersandungnya seseorang juga bisa berarti positif, di mana ia diingatkan untuk sadar dan berubah.

Dan itulah salib. Ia adalah batu sandungan untuk dunia, untuk para pemuka Yahudi, untuk pemerintahan penjajah Roma, untuk orang Yunani dan untuk orang percaya. Terutama bagi orang percaya, bagi kita, salib adalah inti dari mengikut Kristus. Sebab sebagaimana Kristus bersedia memilih salib dengan sadar, begitu pun mestinya hidup orang percaya mengikut dan meneladani Dia. Dengan gamblang Yesus menyatakan hal itu: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku.” (Luk. 9:23). Ada 3 hal yang hakiki dalam kata-kata Yesus itu:

  • Pertama. Mengikut Yesus berarti “menyangkali diri” mengingat kecenderungan kita untuk menganggap bahwa diri kita adalah yang terpenting di muka bumi ini. Salib adalah kemustahilan tanpa kesediaan menyangkali diri, meletakkan kepentingan Tuhan, sesama dan diri sendiri dalam keseimbangan yang indah, dalam rangka relasi kita dengan Tuhan.
  • Kedua. Mengikut Yesus berarti memikul salib kita setiap hari. Harap diingat bahwa yang dimaksud di sini dengan salib bukanlah beban yang tidak dikehendaki dan yang bila mungkin mesti dicampakkan. Memikul salib di sini berarti kesediaan untuk menanggung apapun konsekuensi dari mengikut Yesus dan ketaatan kepada-Nya.
  • Ketiga. Mengikut Yesus berarti sungguh-sungguh berjalan pada tapak kaki Yesus, apapun yang terjadi. Itu berarti menggunakan hidup kita dengan sepenuhnya mengikuti prinsip salib. Maka pertanyaannya bukanlah “Berapakah yang bisa saya dapatkan?” tetapi “Berapakah yang bisa saya berikan?” Juga bukan “Bagaimanakah caranya agar saya menjalani hidup dengan mudah?” tetapi “Bagaimanakah caranya agar saya menjalani hidup dengan benar?” Dan pasti bukan “Apakah yang minimal dapat saya dilakukan?” tetapi “Apakah yang maksimal dapat saya lakukan?”

Memang salib bukanlah sesuatu yang sederhana apalagi mudah. Itu sebabnya Yesus memakai kata kerja “memikul” bukan menggeser, menarik atau meninggalkannya di sudut gudang hidup kita yang pengap dan gelap. Koyama, seorang teolog Jepang, pernah mengingatkan bahwa terlalu banyak orang Kristen yang menyepelekan salib. Mereka membuat sebuah gagang atau pegangan (handle) dan melekatkannya pada salib, salib Kristus. Alasannya tentu adalah kemudahan dan kepraktisan, yang adalah roh zaman yang konsumtif serta serba instan ini. Salib hanya dapat dipikul, seperti yang dilakukan Yesus…

Pdt. Purboyo W. Susilaradeya

1 Comment

  1. Arnold A.Abbas

    Identitas Kekristenan di lambangkan dengan SALIB. Karena itu dimana saja ada komunitas Kristiani di sana sudah pasti kita jumpai simbol Salib. Salib acapkali terlihat di candi/menarai gedung Gereja dengan megahnya, di gantung menjadi hiasan yang indah di dinding rumah, atau barang hiasan seperti: anting-anting, cincin bagi kaum wanita,dsb. Salib telah menjadi bagian identitas kehidupan umat Kristen itu sendiri. Namun, sangat disayangkan bahwa masih banyak orang Kristen yg tdk memahami arti atau makna Salib itu. Karena itu, benar seperti yang dilkatakan oleh pak Pdt.Purboyo di atas, makna Salib itu telah digeser, yaitu bukan lagi sesuatu yang harus “dipikul”, tetapi telah menjadi barang jinjingan, di tenteng sbg sesuatu yang dianggap ringan. Padahal makna salib yang sebenarnya adalah ketika kita bersedia untuk menyalibkan segala kesombangan diri kita, segala nafsu2 duniawi kita, dan dengan rendah hati bersedia mengikuti Kristus di jalan sengsara yg rela mengorbankan diri-Nya untuk menyelamatkan dunia dgn segala isinya.

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Teologia
  • Puasa: Laku Spiritual di Masa Prapaska
    Dalam perjalanan hidup sebagai seorang Kristen, pernahkah kita berpuasa? Meskipun puasa sudah tidak asing dipraktikkan oleh umat Allah pada...
  • Kasih Terbesar
    Hakikat Penderitaan Yesus Paska, dalam kebiasaan orang Kristen, kurang mendapatkan posisi yang kuat ketimbang Natal dengan segala gemerlap dan...
  • Yesus: Milik Muslim Atau Kristen?
    sebuah dialog untuk menemukan ujung pemahaman bersama dalam perbedaan
    Dialog Antar Iman Hidup bersama dalam perbedaan sebenarnya wajar. Masalah baru timbul manakala perbedaan itu dijadikan alasan untuk tidak...
  • Merengkuh Terang
    Allah Pencipta Terang … dan Gelap Sebagai hal yang diciptakan pada hari pertama (Kej. 1:3), terang memiliki peran yang...
  • Laborare Est Orare
    menyikapi dikotomi ‘berdoa’ atau ‘bekerja’
    ‘Ora et Labora’ Kita mengenal akrab dan sangat memahami idiom yang artinya ‘Berdoa dan Bekerja’ ini. Sebuah prinsip yang...