Tulisan ini dibuat sehubungan keputusan walikota Bogor yang menyegel gedung gereja GKI Taman Yasmin, Bogor, sehingga jemaatnya terpaksa beribadah di trotoar. Di samping itu adanya tindakan pemerintah daerah tertentu yang melarang orang-orang Kristen beribadah di rumah-toko mereka. Terdapat risiko bahwa pelarangan beribadah di rumah-toko itu dapat menjalar menjadi pelarangan beribadah di semua rumah.
Tuhan Yesus bersabda: “Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati” (Mat.10:2-3). Sabda Raja Gereja termaksud dipakai dalam menghadapi pelarangan beribadah di gedung gereja, di rumah-toko, dan tindakan sejenis lainnya, yang merupakan diskriminasi sistemik dan struktural.
Oleh karena itu secara kontekstual tulisan ini diberi judul: “Diskriminasi Struktural Terhadap Gereja,” sambil berdoa dan berjuang terhadap ketidakadilan itu, seraya menelusuri sejarah gereja tentang adanya rumah-toko (Kis. 18:2-3), dan merujuk kepada Tata Gereja GKI, sebagai payung hukum. Dalam hal ini dipakai sebagai rujukan kebaktian keluarga (Pasal 13 Tata Laksana) dan adanya kelompok simpatisan dalam jajaran jemaat GKI (Pasal 76 Tata Laksana).
Tata Gereja GKI
Lembaran Negara No. 156/1927 menentukan posisi hukum semua gereja di Indonesia, tetapi mensyaratkan, antara lain, adanya tata gereja untuk mendapatkan status badan hukum. Hal itu misalnya dapat ditelusuri pada korespondensi waktu itu antara Sinode GKI Jawa Tengah dengan Departemen Agama, seperti terbukti dari lampiran Tata Gereja GKI Jawa Tengah. Ternyata Tata Gereja GKI tidak melampirkan keputusan Kementerian Agama pada Tata Gerejanya, sehingga diasumsikan bahwa keputusan itu ada, tetapi tidak dilampirkan.
Berdasarkan asumsi pengesahan Tata Gereja GKI oleh Departemen Agama, berarti bahwa Pemerintah RI melalui Departemen Agama mengakui GKI sebagai badan hukum, dan sebagai hukum gereja itu menjadi bagian dari hukum positif Indonesia. Hal ini berarti, bahwa kebaktian keluarga, sebagaimana diatur dalam Tata Gereja GKI, yakni Pasal 13 Tata Laksana, adalah hukum yang sah. Ini juga berlaku terhadap status kelompok simpatisan dalam lingkungan jemaat GKI (Pasal 76 Tata Laksana).
Kitab Injil Perjanjian Baru bercerita, bahwa kebiasaan memakai rumah-toko untuk berkarya dan beribadah sudah ada di zaman jemaat purba. Rasul Paulus dan pasangan suami-istri Akwila dan Priskila adalah tukang tenda, yang mendiami rumah-toko yang sama di Korintus. Jadi mereka berkarya dan beribadah di rumah-toko itu (Kis. 18:2-3).
Kebiasaan itu kini dilanjutkan oleh sebagian umat kristiani di Jakarta, mau pun di daerah lain, yang menjadi hak asasi mereka, sesuai ketentuan UUD RI, yang dikutip di bawah ini.
Ketentuan hukum gereja dalam Tata Gereja GKI, memperbolehkan diselenggarakan kebaktian keluarga di rumah, apakah rumah biasa atau pun dari jenis rumah-toko. Itu adalah sah secara hukum positif Indonesia. Dengan demikian, tidak ada pihak mana pun, termasuk pemerintah daerah, yang jurisdiksinya mencakup lokasi rumah atau rumah-toko ybs., yang dapat melarang diadakannya kebaktian. Perlindungan hukum itu berlaku bagi para anggota jemaat GKI, termasuk kelompok simpatisannya, yang merupakan bagian integral jemaat GKI. Umat kristiani di luar lingkup GKI pun harus memiliki hak yang sama, karena itu adalah hak asasi, sehingga berlaku bagi semua orang, tanpa kecuali.
Pelanggaran UUD RI
Perlu dicatat bahwa tindakan pelarangan pemerintah daerah atas kegiatan beribadah umat kristiani di rumah-toko, mau pun rumah anggota jemaat, adalah suatu pelanggaran sangat serius atas hak asasi warga negara Indonesia, yang dijamin sepenuhnya oleh UUD RI (Pasal 28E juncto Pasal 28D ayat 1 UUD).
Ternyata tindakan pelanggaran hak asasi itu tidak terbatas pada pemerintah daerah tertentu, karena pelanggaran yang sama dilakukan walikota Bogor yang menyegel gedung gereja GKI Taman Yasmin, Bogor, sehingga jemaatnya terpaksa beribadah di trotoar di depan gedung gereja mereka.
Sengketa dengan walikota Bogor telah dimenangkan GKI Taman Yasmin di forum pengadilan, baik di tingkat pertama demikian pun di tingkat banding. Walikota Bogor mempergunakan haknya minta kasasi, tetapi Mahkamah Agung ternyata memenangkan jemaat GKI Taman Yasmin. Namun, sang walikota tetap membangkang dan menganggap sepi keputusan MA RI, sungguh pun mengikat secara hukum (In kracht van gewijsde). Ada kawan yang berpendapat bahwa walikota itu demikian berani melanggar hukum, karena dia mendapat dukungan dari para atasannya.
Pendapat kawan itu ternyata benar, karena dibuktikan oleh sikap Presiden RI, yang seirama dengan tindakan walikota Bogor. Beliau menganggap sepi laporan Ombusman RI kepadanya, yang mendukung keputusan MA RI, seraya minta agar Presiden segera memenuhi permintaan keadilan sebagian anak bangsa, yakni jemaat GKI Taman Yasmin Bogor. Ternyata lokasi gereja itu hanya sejauh sepelemparan batu dari istana Presiden RI di Bogor.
Sikap Presiden ternyata serba aneh dan janggal, karena beliau memberikan skala prioritas utama dengan serta merta menjawab surat pribadi Nazaruddin, mantan bendahara partai Demokrat yang tersohor itu. Namun, pada ekuasi itu beliau menerlantarkan surat laporan Ombudsman RI tentang keputusan MA RI yang memenangkan jemaat GKI Taman Yasmin, padahal itu adalah masalah negara. Itulah sebabnya seorang kawan lain mengatakan, bahwa RI dewasa ini tidak mempunyai negarawan, karena yang ada hanya seorang operator politik, yang berdiam di istana negara, dan serba sibuk dengan upaya pencitraannya.
Dengan perilakunya itu, beliau menciderai keluhuran sumpah jabatan Presiden RI, bahwa, “Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti, kepada Nusa dan Bangsa.” (Pasal 9 UUD).
Pelanggaran hak asasi umat kristiani yang menodai UUD RI, adalah suatu pelanggaran hukum yang tidak terbatas pada Presiden RI. Beliau menjadi panutan dan menjiwai perilaku para penyelenggara negara, sehingga tanpa merasa bersalah sedikit pun, mereka melakukan diskriminasi struktural terhahap sebagian anak bangsa, yakni umat kristiani. Dikatakan struktural, karena merupakan bagian dari sistem pemerintahan yang diterapkan para penyelenggara negara.
Umat kristiani menghadapi semuanya itu dengan tabah, sambil berdoa seraya mengingat akan pesan Kristus, bagaimana menghadapi kawanan serigala yang siap menerkam (Matius 10:2-3).
Pelanggaran Hukum Internasional
Pelanggaran UUD RI yang bermuara pada diskrimasi struktural terhadap sebagian anak bangsa, yakni umat kristiani, ternyata sekaligus melanggar hukum internasional, yakni United Nations Universal Declaration of Human Rights. Hak-hak asasi itu telah terpatri dan merupakan bagian integral United Nations Charter, sedang Indonesia adalah negara anggota PBB. Bahkan Indonesia diberikan kehormatan menjadi anggota United Nations Council of Human Rights.
Ini yang dihadapi RI mungkin dapat sama dan senasib dengan sesama anggota UN Human Rights Council, yakni Libya, yang ditangguhkan keanggotaannya, karena melakukan pelanggaran hak asasi, yakni membunuh rakyatnya sendiri.
Jemaat GKI Taman Yasmin, yang sudah demikian lama berjuang dan berdoa untuk mendapatkan hak asasinya dari pemerintahnya, tetapi justru mendapat perlakukan diskriminatif yang struktural, mungkin dapat saja mengajukan permintaan kepada United Nations High Commissioner on Human Rights di Genewa untuk memintakan dan mendapatkan keadilan, yang menjadi hak asasinya dalam persekutuan gereja, yang menurut hukum postif Indonesia adalah suatu lembaga keagamaan.
Semoga opsi itu tidak diperlukan, karena doa para anak bangsa dikabulkan, sehingga pemerintah mau mendengarkan permintaan keadilan mereka, yakni umat kristiani, yang terhimpun dalam gereja. Semoga!
Jakarta, Januari 2012
Paul P. Poli
1 Comment
Yesica
Mei 21, 2012 - 3:09 amFransisca Monica, saya cukup terkesan mehliat blog Anda. Terutama saya senang mehliat adanya kaum muda Katolik yang mendalami imannya dan teologi tubuh yang masih jarang dikenal di Indonesia. Menarik sekali karena jarang wanita yang punya ketertarikan mendalami pengetahuan iman. Biasanya wanita lebih condong suka berdoa, bernyanyi, pelayanan namun sangat kurang dalam hal pengetahuan iman.Ada banyak hal cara untuk memperkenalkan Tuhan kepada orang atheis. Seperti misalnya filsafat ketuhanan, ilmu kristologi untuk menjelaskan Tuhan dalam kerangka berpikir rasional. Saya dulu pernah berada dalam posisi Anda yang merasa angkat tangan terhadap orang yang berkeras hati . Namun dalam perjalanan hidup saya semakin belajar bahwa mereka memerlukan pendekatan yang berbeda-beda. Tuhan mengajarkan saya untuk mematahkan pemikiran mereka. Semoga Fransisca pun pada waktu yang terbaik juga mengalaminya.Oh ya sebagai saran, sebagai orang Katolik hendaknya lebih berhati-hati dalam menggunakan istilah rahmat, anugerah dan karunia. Karena semuanya berbeda. Bahasa latin gratia diterjemahkan sebagai rahmat pada versi Katolik. Anugerah merupakan terjemahan dari gratia yang dipakai oleh orang Protestan. Sehingga maknanya sebenarnya sama 100%. Karunia berasal dari kata carisma yang artinya lebih kepada potensi/bakat/ keahlian yang diberikan Tuhan (misalnya kemampuan bermusik, pengetahuan iman, pengendalian diri dll). Paragraf kedua dari bawah cukup membingungkan artinya karena mencampurkan ketiga kata tersebut.Yang terakhir, seorang percaya kepada Tuhan memang hanya karena rahmat, tetapi memerlukan kerja sama manusia dalam menanggapinya. Orang Atheis bukan belum menerima rahmat. Mereka sudah menerima rahmat, namun mereka tidak mau bekerja sama dengan rahmat tersebut.Maju terus ya Fransisca Benedictus Deus in saecula