Jikalau dunia membenci kamu ingatlah bahwa ia telah lebih dahulu membenci Aku daripada kamu. Sekiranya kamu dari dunia, tentulah dunia mengasihi kamu sebagai miliknya. Tetapi karena kamu bukan dari dunia, melainkan Aku telah memilih kamu, sebab itulah dunia membenci kamu.
(Yohanes 15:18)
Beberapa waktu yang lalu saya memenuhi janji kepada pengurus BAPEKRIS (Badan Pembina Kerohanian Kristen) BNI untuk memberi masukan kepada generasi muda yang akan meneruskan kepengurusan, karena sebagian pengurus yang sekarang sudah akan pensiun. Tulisan ini merupakan bagian dari sarasehan saya dengan mereka.
Saya memahami betapa sulitnya mencari pengurus, di satu pihak karena sedikit yang merasa terpanggil, dan di lain pihak juga ada faktor lain yang menyebabkan keengganan tersebut. Mengenai sedikit orang yang merasa terpanggil itu merupakan masalah mereka dengan Tuhan, namun yang ingin saya paparkan di sini ialah faktor lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu hadirnya stigma dan paradigma yang dirasa memengaruhi masa depan mereka.
Secara sederhana, yang dimaksudkan dengan stigma ialah atribut tanda atau stempel yang dilekatkan pada seseorang atau suatu kelompok tertentu. Stigma dapat bersifat positif, tetapi pada umumnya lebih banyak bernuansa negatif, merugikan. Stigma yang bersifat negatif dalam suatu kelompok bersumber pada satu atau beberapa anggota yang tidak dapat menempatkan diri dalam komunitas yang bersifat ekumenis, tetapi ada juga pengaruh stigma dari luar yang dianggap benar karena sudah diterima secara luas, sehingga tidak perlu dikaji lagi keabsahannya.
Stigma negatif sering dikaitkan dengan ras, suku, keluarga, agama, dan lain-lain. Sifatnya sangat emosional dan irasional, karena itu juga sangat sensitif sehingga membatasi independensi (keberanian) pengambil keputusan.
Paradigma adalah pola pengambilan keputusan. Atas dasar stigma yang sudah melembaga (kebanyakan tidak tertulis karena sejatinya merupakan pelanggaran hak asasi manusia) paradigma menjadi rujukan keputusan yang sangat kuat, bahkan seringkali mengalahkan pertimbangan-pertimbangan obyektif dan keadilan. Salah satu contoh adalah pertimbangan penentuan karier/jabatan seseorang, di mana berlaku paradigma “kalau bisa jangan dari kelompok itu.”
Stigma dan paradigma secara sadar dan sistimatis dikembangkan oleh kelompok-kelompok tertentu yang tidak menyukai kelompok lain, mulai dari pembinaan generasi muda mereka (khususnya mulai dari perguruan tinggi) sampai ke kalangan para profesi. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, himpitan stigma dan paradigma bagi anak-anak Tuhan yang bekerja di BUMN, pemerintahan atau perusahaan keluarga, semakin meningkat. Pada jenjang eselon satu dan dua BUMN dan pemerintah, nampaknya dipraktikkan penjatahan, sedangkan pada eselon bawahan terjadi pelambatan secara terselubung bagi karier anak-anak Tuhan.
Inilah faktor lain yang saya kemukakan di atas, yang menghalangi karier anak-anak Tuhan generasi muda kalau mereka aktif dan secara transparan menunjukkan kesaksian iman mereka. Banyak di antara mereka berpendapat bahwa apa yang mereka alami itu adalah nasib mereka (kadang-kadang dibungkus dengan ungkapan, bahwa itu adalah salib yang harus mereka pikul) sehingga mereka bekerja dan berusaha secukupnya saja.
Sifat pasrah tanpa harapan (fatal) dan patah semangat meningkatkan kinerja inilah yang justru menjadi tujuan pencipta stigma dan paradigma untuk mengeliminir potensi anak-anak Tuhan. Kita tidak boleh lengah (complacent) bahwa eliminasi tersebut bukan saja menerapkan stigma dan paradigma di atas, tetapi juga sangat giat meningkatkan kualitas sumber daya mereka sendiri melalui pendidikan formal prima (pendirian sekolah bertaraf internasional dan berbasis agama) yang selama ini dilakukan oleh sekolah-sekolah Kristen (untuk lebih mendalami gerakan ini hendaknya dibaca buku Ilusi Negara Islam himpunan pandangan dari The Wahid Institute, Gerakan Bhineka Tunggal Ika, dan Maarif Institute tentang bahaya gerakan Islam transnasional di Indonesia).
Sebagai orang beriman tentu timbul pertanyaan, apakah Tuhan membiarkan saja keadaan ini? Jawaban yang paling tepat berasal dari firman Tuhan yang menciptakan kita semua. Kurangnya kepekaan kita terhadap karya Tuhan yang sedang berlangsung, sangat dipengaruhi oleh dorongan keinginan kita (yang paling baik menurut kita), namun belum tentu sesuai dengan kehendak dan waktu Tuhan. Inilah saat yang kritis bagi kita semua, karena iman kita dapat saja menjadi lemah (kurang percaya akan kuasa Tuhan) dan mengambil alih otoritas Tuhan untuk menggapai keinginan tersebut dengan cara-cara yang tidak benar. Dalam buku karangan Pdt. DR. Stephen Tong, Tujuh Perkataan Salib, ditulis sebagai berikut: “Jika manusia berusaha melampaui Dia, maka Allah tinggal diam dan tidak menjawab apa-apa.”
Karena itu, sangat penting bagi kita untuk mengintrospeksi diri terlebih dahulu apakah kita sudah mempersiapkan diri untuk mendapat kepercayaan yang semakin besar?
Saya menyadari bahwa pada waktu saya mulai bekerja (tahun 1963), stigma dan paradigma di atas belum sekuat sekarang. Namun menjelang saya mencapai jenjang eselon dua (General Manager) sekitar tahun 1985, saya mulai mengalami tekanan walaupun tidak menyolok seperti kini. Waktu itu saya sebenarnya sudah ditunjuk menjadi branch manager cabang Hongkong (suatu jabatan yang sangat prestisius dan banyak diminati) namun dibatalkan dan ditunjuk sebagai Project Manager Teknologi Informasi & MIS. Saya direkomendasikan oleh konsultan Booze Allen dari USA dan proyek tersebut berlangsung ± 6 tahun. Proyek itu menelan biaya yang sangat besar, sarat dengan tantangan teknis dan resistensi yang terjadi pada saat pelaksanaan proyek. Kalau saya berhasil, hal itu dianggap sebagai peristiwa rutin, tetapi kalau saya tidak berhasil, saya akan masuk kotak (no job). Apa yang dikerjakan oleh konsultan itu merupakan awal dari modernisasi di Indonesia (kemudian diikuti oleh bank-bank lain).
Setelah proyek selesai, saya diberikan jabatan GM Tata Usaha Pusat (pusat pembukuan), suatu jabatan yang pada waktu itu dianggap kurang berbobot dan biasanya diberikan kepada manajer yang kurang berhasil, mendapat hukuman jabatan, atau sudah mendekati pensiun. Pada saat yang sama saya menghadapi situasi dan insinuasi yang cukup mencemaskan (terlebih-lebih waktu itu saya adalah Ketua BAPEKRIS BNI dan beberapa kali disentil oleh Ketua Tim Skrining yang sebetulnya berfungsi menyidik orang-orang yang berafiliasi kepada PKI, tentang aktivitas saya di BAPEKRIS). Saya menerima jabatan tersebut diawali dengan pertanyaan apakah prestasi saya sebagai project manager yang berhasil melaksanakan tugas dengan baik, kurang dihargai. Ternyata sikap saya tersebut salah karena justru melalui jabatan tersebut Tuhan sedang mempersiapkan suatu jabatan yang tinggi, yang tidak pernah saya impikan.
Mengucap Syukur Merupakan Awal Keberhasilan
Baik pada masa saya dahulu mulai bekerja maupun sekarang, mendapat pekerjaan bukan hal yang mudah. Secara pribadi saya meyakini bahwa pekerjaan yang saya peroleh berasal dari Tuhan. Pada saat permulaan menerima jabatan itu, ada perasaan kurang puas di dalam diri saya, karena saya mendapat tugas yang menurut penilaian saya waktu itu sepele dan kurang menjamin karier, namun Tuhan mengingatkan saya bahwa ada begitu banyak teman saya yang tidak mendapat pekerjaan. Saya menyadari betapa Tuhan mengasihi saya dan sejak saat itu saya mulai mempelajari pekerjaan yang dipercayakan kepada saya. Ternyata saya memperoleh begitu banyak hal baru yang belum diketahui secara luas di bank pada waktu itu, dan ternyata hal-hal tersebut bertahun-tahun kemudian menjadi “intellect property” (kekayaan intelektual) yang sangat menunjang kinerja saya.
Dengan mengucap syukur kepada Tuhan, saya tidak lagi digerogoti kekuatiran akan masa depan dan dapat bekerja dengan damai, bahkan mulai mencintai pekerjaan saya, dan setiap hari memulainya dengan semangat yang baru.
Tak berkesudahan kasih setia Tuhan tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu! (Ratapan 3:22-23). Maka kata tuannya itu kepadanya: Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia, engkau telah memikul tanggung jawab yang kecil, aku akan memberikan kepadamu dalam perkara yang besar (Matius 25:23).
Hidup Dalam Komunitas Heterogen
Hidup dalam komunitas yang heterogen dan kurang bersahabat merupakan realita dalam dunia profesi, sejak zaman dahulu sampai sekarang. Suatu contoh yang sangat indah dalam Alkitab terjadi pada kehidupan Daniel dan teman-temannya:
- Daniel dan teman-temannya berstatus sebagai tawanan;
- Mereka dengan sengaja dihadapkan pada kehidupan orang Babilonia yang bertentangan dengan iman dan budaya Yahudi (Daniel 1:7. Pemimpin pegawai istana itu memberikan nama-nama lain kepada mereka: Daniel dinamakan Beltsazar, Hananya dinamakan Sadrakh, Misael dinamakan Mesakh dan Azarya dinamakan Abednego). Jelas ini merupakan upaya agar mereka menyatu dengan budaya Babilonia, sedangkan nama-nama orang Yahudi selalu mengandung arti yang dikaitkan dengan iman Yahudi).
Upaya mentransformasikan Daniel dan teman-temannya menjadi orang Babilonia (inklusif beragama Babilonia) disikapi dengan hikmat: Daniel berketetapan untuk tidak menajiskan dirinya dengan santapan raja dan dengan anggur yang biasa diminum raja; dimintanyalah kepada kepala pemimpin pegawai istana itu, supaya ia tak usah menajiskan dirinya (Daniel 1:8).
Saya yakin bahwa permintaan Daniel tersebut pasti telah didahului dengan penyerahan sepenuhnya kepada Tuhan (Daniel 6:11).
Bagaimana dengan keadaan sekarang? Menurut pengalaman dan pendapat saya, teladan Daniel dan teman-temannya tetap relevan. Janganlah menyembunyikan identitas kita sebagai orang Kristen. Stigma dan paradigma terhadap kita harus diimbangi dengan sikap hidup Kristiani yang benar-benar menuruti teladan Kristus serta melakukan tugas kita dengan penuh tanggung jawab. Memang akan selalu terjadi seleksi yang kurang adil namun dari segi lain:
- Agar terpilih, orang Kristen harus bekerja, berusaha dan berprestasi lebih baik dari sesamanya (promotion by merits) sehingga organisasi di mana ia berkarya mendapat tenaga yang dapat diandalkan;
- Akan terhindar (karena ada keseganan) dari ajakan-ajakan pihak lain untuk berbuat hal-hal yang bertentangan dengan imannya;
- Melalui pergumulan dan penantian, kehadiran Tuhan semakin nyata di dalam kehidupannya.
Dalam dunia profesi, karakter sangat menunjang keberhasilan. Seseorang yang memiliki karakter yang baik, namun lemah dalam kemampuan profesi, sukar mencapai tingkat yang lebih tinggi. Sebaliknya seorang yang memiliki tingkat kemampuan profesi yang tinggi, namun menyandang karakter yang tidak baik, akan terpinggirkan.
Mungkin dipertanyakan apakah karakter bisa berubah karena sudah terbentuk sejak dini. Sebagai orang beriman saya percaya bahwa dengan pertolongan Tuhan, karakter dapat berubah melalui benturan-benturan yang Tuhan izinkan terjadi di dalam kehidupan kita serta melalui curahan kasih, pengampunan dan hikmat Tuhan. Oleh karena karakter dasar itu sangat kuat, terutama karakter yang negatif, maka tidak ada cara lain selain terus menerus melekatkan karakter kita kepada karakter Allah melalui doa dan firman Tuhan. Di sinilah justru letak kemenangan orang beriman, yaitu berani melangkah menurut kehendak Tuhan, walaupun menurut pandangan manusia dapat membawa dampak yang berat dan kurang menguntungkan.
Doa Tuhan Yesus di taman Getsemani: “Ya Bapa-Ku jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendak-Mu” (Matius 26:42), mungkin dianggap sebagai suatu kekalahan, tetapi inilah puncak kemenangan, karena pada dasarnya Tuhan Yesus mengetahui apa yang akan dihadapi-Nya. Ia mengatakan: “Kamu tahu, bahwa dua hari lagi akan dirayakan Paskah, maka anak Manusia akan diserahkan untuk disalib” (Matius 26:2).
Dalam Alkitab ada cukup banyak kisah tentang pahlawan iman yang mendahulukan kehendak Tuhan daripada kehendak mereka sendiri. Beberapa tokoh Alkitab misalnya: Yusuf, Yoshua, Nehemia, Esther, Daniel, para Rasul dan Paulus.
Dalam dunia profesi, karakter merupakan penunjang keberhasilan dan tertuang dalam corporate culture (budaya kerja) yang harus dihayati oleh seluruh jajaran organisasi, antara lain: dapat diandalkan, dapat dipercaya/setia/jujur, bertanggung jawab, selalu berusaha meningkatkan komunikasi, selalu bersedia menolong (murah hati) dan tidak mengambil yang bukan haknya. Tidak berkelebihan untuk mengatakan bahwa etika kerja di atas sebenarnya tercakup dalam pengajaran Alkitab.
Profesionalisme
Seorang profesional sejati adalah orang yang senantiasa berusaha memberikan yang terbaik dan tanpa pamrih. Ia akan senantiasa berusaha memperkaya kemampuannya demi kemajuan organisasi/unit di mana ia mengabdi. Ia tidak betah terhadap situasi yang ada (status quo), yang nyata-nyata tidak membawa perkembangan atau perbaikan, terlebih-lebih kalau keengganan untuk berubah itu karena ada pihak-pihak yang merasa terancam kenyamanannya (comfort zone).
Prinsip ini berlaku bagi semua lini, dari yang paling sederhana sampai kepada jenjang paling atas.
Tokoh Daniel memberikan keteladanan perjalanan karier seorang profesional: Mengenal Visi dan Misi. Adalah sangat menolong apabila seseorang memahami visi dan misi yang diemban oleh organisasi di mana ia berkarya: Daniel 1:5 b merupakan perintah raja: Mereka harus dididik selama 3 tahun dan sesudah itu mereka harus bekerja pada raja.
Penguasaan Teknis
…yakni orang-orang muda yang tidak ada sesuatu cela, yang berperawakan baik, yang memahami berbagai-bagai hikmat, berpengetahuan banyak dan yang mempunyai pengertian tentang ilmu, yakni orang-orang yang cakap untuk k bekerja dalam istana raja (Daniel 1:4).
Saat itu saya mulai menyandang jabatan inhouse counterpart manager hanya berbekal sangat minim terutama di aspek teknis, karena latar belakang pendidikan saya. Keadaaan diperparah lagi karena semua proses proyek menggunakan bahasa Inggris sedangkan penguasaan bahasa Inggris tim saya sangat minim. Upaya yang saya lakukan ialah dengan menerjemahkan bahan-bahan dari konsultan, dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia, agar dapat mereka pelajari. Saya baru ingat sewaktu ditempatkan di Singapura, saya mengikuti kursus bahasa Inggris di British Council selama ± 3 tahun (evening class). Tekanan berat yang saya hadapi pada waktu itu ialah korban perasaan, karena teman-teman kelas saya semuanya murid-murid setingkat SMU, dan saya sendiri yang paling tua dan berstatus sebagai manajer. Saya percaya bahwa kekuatan dan daya tahan saya untuk terus mengikuti kursus itu berasal dari Tuhan, karena saat itu banyak teman saya mempertanyakan (mungkin menganggap bahwa saya buang-buang waktu) untuk apa saya belajar bahasa Inggris. Dengan penguasaan bahasa Inggris yang cukup memadai itulah saya mulai menerjemahkan begitu banyak bahan/obyek teknis proyek yang secara tidak langsung sama dengan studi di universitas namun secara prodeo.
Penggalian kehendak Tuhan melalui Alkitab dan doa serta meluaskan pengetahuan profesi melalui buku-buku, sarasehan dan media lainnya, merupakan suatu simfoni kenikmatan dan berkat yang luar biasa. Sampai sekarang, pada usia 72 tahun, saya masih aktif memimpin perusahaan di bidang teknologi informasi dan terus terang, saya sering kepontalan (ketinggalan) untuk mengetahui dan mengantisipasi perubahan yang begitu cepat.
Jika besi menjadi tumpul dan tidak diasah, maka orang harus memperbesar tenaga, tetapi yang terpenting untuk berhasil adalah hikmat (Pengkhotbah 10:10). Atau dalam Alkitab bahasa Inggris: Since a dull ax requires great strength, sharpen the blade. That’s the value of wisdom, it helps you succeed.
Kepada keempat orang muda itu Allah memberikan pengetahuan dan kepandaian tentang berbagai–bagai tulisan dan hikmat, sedang Daniel juga mempunyai pengetahuan tentang berbagai-bagai penglihatan (Daniel 1:17). Atau dalam Alkitab bahasa Inggris: God gave these four young men an unsual aptitude for learning the literature and science of the time. And God gave Daniel special ability in understanding the meanings of visions and dreams.
Kemauan dan kerinduan belajar secara berkesinambungan berdasarkan kekuatan sendiri merupakan hal yang sangat berat. Namun dengan kesadaran sepenuhnya bahwa ada tanggung jawab profesi dan juga kebutuhan hikmat dari Tuhan, maka proses belajar dan mengajar akan menyatu dalam kehidupan kita.
Dalam tiap-tiap hal yang memerlukan kebijaksanaan dan pengertian, yang ditanyakan raja kepada mereka, didapatinya bahwa mereka sepuluh kali lebih cerdas daripada semua orang berilmu dan semua ahli jampi di seluruh kerajaanya (Daniel 1 : 20).
Komunikasi
Komunikasi secara verbal maupun tertulis memegang peranan yang sangat penting… supaya mereka diajarkan tulisan dan bahasa orang Kasdim (Daniel 1:4).
Komunikasi harus selalu didasari kepada saling menghormati dan menghargai, terutama terhadap mereka yang lebih berpengalaman dan senior. Alkitab dengan tegas mencantumkan hal ini di dalam 1 Petrus 5:5: Demikian jugalah kamu, hai orang-orang muda, tunduklah kepada orang-orang yang tua. Dan kamu semua, rendahkanlah dirimu seorang terhadap yang lain, sebab Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati.”
Dalam berkomunikasi, hendaknya menggunakan tata bahasa dan gaya bahasa yang benar. Dalam pengalaman saya, kursus bahasa Inggris fase terakhir yang cukup sulit ialah memperbaiki gaya (style) menulis dan berbicara. Cara yang paling praktis, kita harus banyak membaca, mendengar dan melatih diri.
Di sekolah luar negeri, murid-murid sejak dini dilatih untuk membuat essai, yaitu menyimpulkan suatu bagian buku dalam satu halaman (kadang-kadang hanya 1/2 halaman). Dengan metode demikian, mau tidak mau mereka dipacu untuk menangkap inti/esensi buku tersebut dan menyampaikannya dalam bentuk tulisan/presentasi yang singkat (tidak bertele-tele) namun tidak kehilangan inti maknanya (teknik ini digunakan oleh para konsultan).
Raja bercakap-cakap dengan mereka dan di antara mereka sekalian itu tidak didapati yang setara dengan Daniel, Hannya, Misael dan Azarya; maka bekerjalah mereka itu pada raja (Daniel 1:19).
Penguasaan bahasa Inggris seyogyanya terus ditingkatkan sebagai bahasa yang paling banyak digunakan dan merupakan jendela (window) di mana kita bisa melihat begitu banyak hal yang belum diketahui maupun yang belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Penutup
Begitu banyak yang saya alami sehingga tidak mungkin diungkapkan semuanya. Perjalanan profesi saya melalui masa-masa yang begitu panjang dan melelahkan dan mencekam. Saya bersyukur bahwa dalam masa-masa yang demikian kritis dan gelap, di mana ancaman kejatuhan begitu nyata dan saya tidak berdaya, ada titik terang yang memberikan kesadaran, pertobatan, kesabaran, pengharapan dan keselamatan bagi saya dan keluarga saya. Saya mengerti bahwa Tuhan sangat mengasihi saya sekeluarga dan apabila kita diizinkan dalam situasi yang sungguh sulit, pada dasarnya Tuhan sedang mempersiapkan sesuatu yang sungguh indah, di luar perkiraan kami.
Orang yang berjalan maju dengan menangis sambil menabur benih, pasti pulang dengan sorak- sorai sambil membawa berkas-berkasnya (Mazmur 126:6).
Pada masa akhir karier saya sebagai pegawai (dalam ketentuan BUMN, direksi adalah pegawai pemerintah dan bukan pegawai perusahaan), di mana saya diberi jabatan sebagai GM Pembukuan Pusat, Tuhan membuka mata saya bahwa angka-angka mati yang tidak menarik, pada dasarnya sarat dengan informasi yang sangat vital bagi bank. Dengan berbekal pengetahuan yang saya peroleh dari konsultan, Pusat Pembukuan berubah menjadi sentra informasi dan pengendalian manajemen dan akhirnya saya diangkat menjadi direksi bank dengan jabatan sebagai Executive Vice President/Chief Financial Officer (CFO) dan Chief Technology Officer (CTO).
Batu yang telah dibuang oleh tukang bangunan, telah berubah menjadi batu penjuru (1 Petrus 2:7a).
Kepada generasi penerus, saya titipkan satu ayat yang memberikan pengharapan dan kekuatan dalam perjalanan karier Anda: Pernahkah engkau melihat orang cakap dalam pekerjaannya? Di hadapan raja-raja ia akan berdiri bukan di hadapan orang-orang yang hina (Amsal 22:29). Atau dalam Alkitab bahasa Inggris: Do you see any truly competent workers? They will serve kings rather than ordinary people.
Suatu keyakinan dari apa yang saya alami ialah bahwa rekayasa manusia, sehebat apapun juga, tidak dapat membendung rencana Tuhan. Sejak beberapa tahun ini terjadi perubahan-perubahan yang cukup mendasar di dunia profesi, khususnya di kalangan BUMN. Dengan semakin kuatnya tuntutan kinerja, maka primodialisme berdasarkan faktor non teknis (misalnya agama dan ras) semakin ditinggalkan. Dunia profesi semakin terbuka (equal opportunity) tinggal bagaimana persiapan anak-anak Tuhan.
Selamat berjuang dan Tuhan menyertai Anda.
Sola gracia. [Nono Purnomo]
Catatan: Ayat-ayat dalam bahasa Inggris dikutip dari Prayer Bible New Living Translation terbitan Tyndale House Publishers.Inc.
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.