Baru-baru ini media sosial dihebohkan oleh curhatan di facebook seorang mahasiswi pengguna KRL yang tempat duduknya “direbut” oleh seorang ibu yang sedang hamil. Banyak netizen yang menghujat balik sang mahasiswi dan pada umumnya menuduh bahwa mahasiswi itu tidak peka, tidak memiliki empati, tidak peduli, dan sebagainya. Akan tetapi mahasiswi itu berkilah bahwa ia lebih rela memberikan tempat duduknya kepada orang yang lanjut usia atau penyandang disabilitas, daripada kepada ibu hamil.
Di dalam toilet sebuah perkantoran, ada seorang karyawan yang mencuci mukanya di wastafel. Akibatnya, banyak air membasahi lantai. Begitu selesai, sang karyawan mengambil lap pel dan mengeringkan lantai yang basah tadi. Petugas kebersihan yang ada di situ berkata, “Biar saja Pak, nanti saya yang pel.” Lalu karyawan ini menjawab, “Tidak apa-apa Mas, lantainya licin ‘kan gara-gara saya.” Masih di toilet yang sama, seorang karyawan lain berlalu begitu saja sehabis mencuci tangannya, tanpa mematikan kran wastafel. Apa yang ada di benak orang ini ya?
Coba tengok keadaan toilet di gereja kita sehabis kebaktian, toilet pria tentunya. Perhatikan lantai di sekitar wastafel, yang basah akibat cipratan orang-orang yang mencuci tangan, juga kertas tisu pengering tangan yang berserakan di luar tempat sampah yang disediakan. Banyak yang membuang tisu tanpa memasukkan ke tempat sampah yang ada. Apakah tempat sampahnya terlalu kecil, atau mereka membuang dengan seenaknya saja. Hal yang tidak mungkin kita lakukan di rumah, bukan?
Pemakaian gadget atau gawai misalnya: Kalau orang terus menerus asyik bermain gawai, bagaimana mungkin ia bisa mengamati lingkungannya, dan kalau tidak sempat mengamati lingkungannya, bagaimana mungkin ia bisa peduli dengan lingkungan dan orang lain di sekitarnya? Bagaimana dengan pemakaian gawai di kebaktian? Kalau terlalu asyik dengan gawainya, apakah orang bisa menyimak liturgi kebaktian, termasuk khotbah?
Boleh sesekali melihat ke sekeliling kita dalam sebuah kebaktian. Berapa banyak anggota jemaat yang memegang dan bermain dengan gawai mereka. Mungkin ada yang sedang membaca Alkitab elektronik yang ada di gawainya atau malah melakukan hal yang lain. Bisa saja orang berkilah bahwa sambil memainkan gawai pun ia bisa menyimak khotbah yang disampaikan, tetapi tetap saja akan mengganggu anggota jemaat lainnya.
Di Osaka Aquarium, salah satu akuarium terbesar di dunia, saya menyaksikan seorang pemuda berjalan-jalan bersama seorang nenek yang duduk di kursi roda. Si nenek dengan segala keterbatasannya mungkin tidak bisa menikmati semua yang ada di akuarium itu, tetapi si pemuda dengan sabar mendorong kursi roda itu di tengah keramaian orang yang berkunjung ke sana. Di sebuah pojok yang sepi, mereka berhenti dan si pemuda mengambil makanan dari sebuah wadah plastik dan mulai menyuapi si nenek dengan sabar. Tidak ada ingar-bingar, hanya mereka berdua berada di sebuah tempat yang sepi. Saya sangat terharu menyaksikannya dan segera mengambil kamera untuk mengabadikan momen yang indah ini. Luar biasa…
Mungkin masih ingat cerita tentang seorang guru di Australia yang mengatakan, “Kami tidak terlalu khawatir jika anak-anak sekolah dasar kami tidak pandai matematika, kami jauh lebih khawatir jika mereka tidak pandai mengantre.” Sewaktu ditanya mengapa dan kok bisa begitu—karena yang terjadi di negara kita justru sebaliknya— inilah jawabannya: “Karena kita hanya perlu melatih anak selama 3 bulan saja secara intensif untuk bisa matematika, sementara kita perlu melatih anak hingga 12 tahun atau lebih untuk bisa mengantre dan selalu ingat pelajaran berharga di balik proses mengantre.”
Kita sering merancang kegiatan besar seperti pembagian sembako atau pasar murah menjelang Lebaran, peduli banjir atau baksos kesehatan sebagai wujud kepedulian kepada sekeliling kita. Tidak ada yang salah dengan kegiatan ini, akan tetapi aktivitas ini adalah kegiatan kepedulian yang terjadwal. Mungkinkah kepedulian yang terjadwal ini bisa berdampak pada kepedulian spontan, seperti yang ditunjukkan oleh si karyawan yang mengepel lantai atau si pemuda Jepang? Atau apakah kita masih butuh 12 tahun lagi untuk memiliki kepedulian, sebagaimana diungkap oleh guru dari Australia di atas? Salam damai!
» Sindhu Sumargo
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.