“Mengapa engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?” (Matius 7:3)
Berpuluh tahun yang lalu, perjalanan dari Bandung ke Jakarta yang paling populer adalah melalui Puncak. Saat itu jadwal kereta api masih sering terlambat dan kondisinya juga kurang baik, sehingga masyarakat lebih suka naik taksi, dan taksi Bandung–Jakarta (PP) yang paling top saat itu adalah 4848. Sistemnya adalah antar jemput, dijemput dari rumah dan diantar sampai ke tempat tujuan. Mobil yang digunakan adalah Holden Premier warna putih, ada yang sedan dan ada pula yang stationwagen, dengan kapasitas lima penumpang.
Kalau kita naik taksi dari Bandung ke Jakarta atau sebaliknya, kita akan singgah di Cipanas, biasanya di rumah makan padang Simpang Raya, baik untuk makan atau beristirahat sejenak. Bagi saya, persinggahan ini merupakan sesuatu yang ditunggu-tunggu, selain untuk ke kamar kecil, juga untuk menyantap ayam pop yang sangat terkenal di rumah makan ini. Walaupun bukan waktunya makan, biasanya kita akan tetap makan. Menunya adalah ayam pop dengan sambal yang khas ditambah daun singkong rebus dan kuah ayam gulai, tidak ketinggalan nasi putih yang masih panas. Nikmat sekali, apalagi kalau ditambah dengan sepotong paru goreng.
Setelah selesai makan dan membayar, ketika kita menuju ke luar, di pintu keluar rumah makan itu, ada tulisan atau semboyan seperti ini, “Kalau Anda puas beritahu teman, kalau Anda kurang puas beritahu kami”.
Semboyan itu sekilas tampaknya biasa-biasa saja, seolah-olah semacam lip service saja. Akan tetapi, kalau dipikir lebih jauh, semboyan ini memiliki konsekuensi yang cukup besar. Puas atau tidak puasnya seseorang sangat subyektif, bisa saja seorang merasa puas tapi orang lain merasa tidak puas. Rasa puas itu juga sangat luas, bisa menyangkut rasa makanan, kebersihan, pelayanan dan sebagainya. Kalau rumah makan ini berani mengambil semboyan ini, berarti mereka memiliki komitmen, paling tidak untuk menyajikan makanan dengan kualitas dan rasa terbaik, memberikan pelayanan yang terbaik dan kebersihan yang terbaik. Kalau mereka tidak melakukan itu, pasti keluhan atau complain karena kurang puas akan banyak sekali. Kita harus angkat topi untuk rumah makan ini.
Bagaimana dengan kita? Biasanya kita lebih mudah mengkritik, mencela, melihat keburukan dan kesalahan orang lain ketimbang memuji, melihat kebaikan, melihat hal-hal positif dan menghargai orang lain. Kita cenderung merasa bahwa diri kita yang paling hebat, paling baik dan paling sempurna. Lebih parah lagi kalau kita selalu menceritakan keberhasilan kita, kehebatan kita, pelayanan-pelayanan kita, pemberian-pemberian kita dan segala sesuatu yang sudah kita lakukan untuk orang lain.
Saya jadi teringat akan kata-kata bijak dari William King, seorang penulis dari Inggris. Dia berkata begini, “Orang yang bergosip adalah orang yang berbicara kepada Anda tentang orang lain. Orang yang menjemukan adalah orang yang berbicara kepada Anda tentang dirinya sendiri. Dan orang yang menyenangkan adalah orang yang berbicara kepada Anda tentang diri Anda”. Kita termasuk kategori yang mana?
Beranikah kita mengambil semboyan seperti rumah makan itu? Apakah kita siap untuk dinilai, dikritik, dicela oleh orang lain? Apakah kita memang sudah memberikan segala sesuatu yang terbaik dari diri kita, baik untuk keluarga, pekerjaan, pelayanan, dan sebagainya. Apakah kita juga sudah siap untuk melakukan introspeksi?
Saat ini di media sosial sedang marak ajakan untuk berubah, khususnya untuk daerah Jakarta dengan “Semangat Berani Berubah”. Ini kesempatan untuk berubah, mulailah berubah dari diri kita sendiri. Berubah untuk membuang sampah di tempatnya, berubah untuk menaati peraturan, berubah untuk berkata-kata dengan lebih baik dan positif, berubah untuk tidak melihat keburukan orang lain saja, tetapi lebih melihat kebaikannya. Berubah menjadi lebih peka terhadap keadaan dan orang-orang di sekeliling kita, berubah menjadi lebih peduli terhadap sesama. Berubah untuk melakukan sesuatu, bukan hanya berbicara. Selalu berusaha untuk melakukan hal-hal yang lebih baik dan lebih baik lagi setiap hari.
Sebelum kita mengangkat selumbar di mata saudara kita, sebaiknya terlebih dahulu kita keluarkan balok di mata kita. Bersediakah kita untuk ikut memperbaiki kondisi dan keadaan negeri ini, paling tidak, mulai dari diri kita sendiri dulu? Menjadi seorang yang menyenangkan bagi orang lain, atau tetap mau menjadi orang yang menjemukan? Salam damai.
>> Sindhu Sumargo
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.