Rumah Bu Isnania Sarwono di Oasis Terrace, yang terletak dekat kawasan Pondok Indah itu, masih baru, asri dan tenang, jauh dari keramaian jalan.Kompleks perumahan yang hanya terdiri atas 12 rumah itu belum tuntas pembangunannya. Ada yang sedang dikerjakan, dan ada pula satu-dua kaveling yang belum dibangun.Di sinilah kami bertemu pada suatu Jumat pagi yang cerah di awal bulan Mei yang lalu.
Dua setengah tahun sudah bergulir ketika Pak Sarwono berpulang dalam usia 77 tahun karena sakit diabetes, ginjal dan komplikasi jantung. Waktu itu Bu Nani ―begitu panggilan akrabnya― baru berusia 66 tahun. Penyakit Pak Sarwono memang berat. Dokter mengatakan bahwa di pembuluh darahnya ada bercak-bercak putih, sehingga ia harus cuci darah. Penyakit ini juga membuat Pak Sarwono cepat naik darah dan marah-marah. Bu Nani ingat bagaimana pada saat terakhir kali suaminya cuci darah dan tampak setengah sadar, ia sempat berbicara kepadanya, “Pak, saya tahu bahwa kalau Bapak marah kepada saya, itu bukan watak Bapak, tetapi karena penyakit yang sedang Bapak derita. Saya sudah memaafkan Bapak.” Setelah itu Pak Sarwono pergi, dan Bu Nani melepaskannya dengan rela karena ia percaya bahwa suaminya masih mendengar kata-kata itu di bawah sadarnya. Selain itu, Bu Nani juga ingat bahwa Pak Sarwono selalu berdoa agar tidak merepotkan orang lain jika Tuhan memanggilnya pulang, dan Tuhan mengabulkan doanya.
Sejak suaminya sakit, Bu Nani dicelikkan Tuhan bahwa kini sudah waktunya ia berlatih untuk berani menghadapi tantangan hidup sendirian. Ia menyadari bahwa kekesalan yang kadang-kadang diluapkan Pak Sarwono kepadanya merupakan persiapan untuknya agar menjadi tegar dan mandiri. Semua anak dan menantunya sangat menguatkannya di dalam masa-masa sulit itu. Mereka bergiliran menjaga ayah mereka, dan Bu Nani pun diperhatikan agar tidak terlalu lelah. Seketika tanggung jawab itu dipikul bersama, dan solidaritas keluarga menjadi lebih kokoh dan erat. Kasih mereka semua ini merupakan dukungan yang sangat besar bagi Bu Nani. Wejangan Pak Sarwono agar semua anak hidup rukun dan terus menjaga ibu mereka, ternyata benar-benar mereka wujudkan di dalam keseharian mereka.
Kepergian Pak Sarwono meninggalkan kekosongan di hati Bu Nani, namun ia tidak mau terus larut dalam kesedihan. Ia berusaha untuk bangkit dan Tuhan memberinya kesempatan untuk berjualan pepes ikan secara rutin. Meskipun dari segi keuntungan Bu Nani tidak mendapat banyak, tetapi kegiatan ini menolongnya untuk terus menyibukkan diri. Sifatnya yang aktif dan tidak bisa menganggur itu menemukan jalan keluar yang positif.
Setahun setelah kepergian Pak Sarwono, Bu Nani menghadapi dilema untuk memelihara rumahnya yang besar di Pondok Indah. Ia ingin pindah ke rumah yang lebih kecil dan lebih sesuai untuk dirinya yang kini sendirian, karena anak-anaknya tidak ada yang tinggal bersamanya. Tadinya mereka sayang melepaskan rumah tersebut, tetapi suatu hari, setelah berkonsultasi dengan Pdt. Rudianto, Bu Nani diyakinkan bahwa jika Tuhan berkenan, Ia pasti akan memberi jalan keluar. Selang dua hari, ada orang yang melihat rumahnya, dan dengan pertolongan Tuhan, Bu Nani diajak broker tersebut untuk melihat rumah-rumah lain. Di lokasi Oasis Terrace ini hatinya tertambat, dan rumah besar itupun kemudian dijual.
Pertolongan Tuhan begitu indah bagi Bu Nani. Pembayaran rumahnya di Pondok Indah dilakukan dengan bertahap, begitu pula pembayaran rumah barunya di Oasis Terrace. Dengan demikian ia bisa tetap menempati rumah lama sambil menunggu pembangunan rumah barunya. Hatinya penuh syukur karena semua berjalan lancar. Ia menyadari bahwa ia tidak mungkin membeli rumah baru ini bila tidak menjual rumahnya yang lama. Ia juga hanya perlu pindah sekali, dan barang-barang pindahan itu juga dapat dikemas dengan tidak terburu-buru.
Meskipun demikian, menjelang kepindahannya, Bu Nani kembali tertantang untuk mengatur segala sesuatu dengan sebaik mungkin. Tidak semua dapat dibawa, seperti lemari-lemari besar yang terpaksa ditinggal karena tidak sesuai dengan rumah barunya yang lebih kecil. Namun kepindahan itu berjalan mulus. Ada yang membantu membawa barang-barang pindahan dan ada pula yang mengisi rumah barunya dengan desain isi rumah yang modern dan cantik.
Keluarga merupakan karunia yang berharga bagi Bu Nani. Setiap hari Sabtu dan Minggu, ketujuh cucunya menginap di rumahnya, dan kedatangan mereka selalu merupakan hiburan yang dinanti-nantikannya. Satu-dua anaknya terkadang juga ikut serta, tetapi tidak rutin karena mereka punya kesibukan masing-masing. Memang sedari dulu Bu Nani sudah memutuskan untuk tidak tinggal bersama dengan anak-anaknya yang sudah berkeluarga karena ia sudah terbiasa hidup mandiri dan juga untuk menghindari konflik.
Tuhan selalu memberinya kekuatan setiap kali ia mengalami kesulitan. Dalam doa, ia mendapatkan jalan keluar, dan ia yakin bahwa itulah pertolongan Roh Kudus yang berbicara kepadanya.
Bu Nani berpesan agar para ibu yang ditinggalkan oleh kekasih mereka tidak terus meratapi kepergian mereka, melainkan bersemangat memulai lembaran baru dengan mengandalkan pertolongan Tuhan. Ia sudah mengalaminya sendiri. Bu Nani juga tidak mau meninggalkan kesan bahwa tanpa suami ia tidak hidup enak, tetapi dengan mengingat apa yang sudah diberikan oleh Pak Sarwono, ia bisa menikmati hidup ini.
(Wawancara dengan Pdt. Riani Josaphine)
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.