- Perayaan Perjamuan Kudus [PK] sebenarnya telah dilakukan oleh gereja perdana. Dalam kehidupan bergereja, PK diterima sebagai sakramen yang diperintahkan oleh Yesus sendiri [1 Korintus 11:24-25]. Di gereja-gereja reformasi, PK adalah satu dari dua sakramen. Sakramen lainnya adalah baptisan kudus. Dengan demikian, merayakan PK adalah keniscayaan, dan karena itu penting untuk membincangnya.
- Perjamuan diadakan setiap hari Minggu (hari pertama minggu itu: lihat Kis 20:7; bdk. Kis 2:46: awal munculnya tradisi “memecahkan roti” dalam ibadah harian di rumah-rumah). Pada abad-abad permulaan gereja berdiri, telah terbentuk pola ibadah yang terdiri atas dua bagian penting: WORD and TABLE (Pemberitaan Firman dan Perjamuan) di mana keduanya menjadi bagian wajar dan tak terpisahkan dalam Kebaktian Umum.
- Pada abad pertengahan sampai reformasi, PK masih diadakan tiap hari Minggu, tetapi orang di gereja Roma Katolik yang dipengaruhi oleh pandangan mistis terhadap Perjamuan, takut untuk ikut ambil bagian. Jadi, walaupun PK diadakan setiap Minggu, anggota jemaat tidak mau (baca: tidak berani) maju mengambil komuni, karena takut terkena kutuk kalau hidupnya masih berdosa. Begitu takutnya, sehingga muncul aturan dari Gereja RK dalam Konsili Lateran (1215) yang mengharuskan orang ikut ambil bagian dalam Perjamuan MINIMAL satu kali setahun, yaitu pada hari raya Paska.
- Pada masa reformasi, mengingat konteks jemaat yang dilayani dulunya berasal dari anggota gereja RK yang masih sangat takut ikut perjamuan, maka Zwingli menetapkan agar Perjamuan Kudus diadakan 4 kali setahun. Jadi, ketika Zwingli menetapkan 4 kali setahun, jumlah ini sudah jauh lebih banyak daripada yang mereka ikuti di gereja RK dulu. Sebab, semua anggota jemaat HARUS mengikuti 4 kali PK ini. Hal yang sama juga diterapkan di Jenewa di bawah Calvin, sekalipun Calvin berpendapat bahwa PK seharusnya diadakan setiap hari Minggu, sesuai tradisi gereja perdana. Ide Calvin dipandang terlalu radikal ketika itu. Kapan dirayakan PK yang 4 kali setahun itu? Pada hari-hari raya gerejawi! Paska, hari Minggu yang dekat dengan Natal, Pentakosta, dan Minggu Pertama September. Diharapkan setelah melewati masa transisi, umat lebih bisa menerima PK dalam jumlah lebih banyak. Ternyata sampai sekarang, masih banyak yang hanya merayakan PK 4 kali. Itupun, waktunya tidak lagi pada hari-hari raya gerejawi.
Liturgi
- Liturgi mingguan yang dikenal di GKI sekarang adalah liturgi hari Minggu. Ciri utama Liturgi Minggu adalah Liturgi Firman dan Liturgi Meja. Liturgi Firman meliputi pembacaan-pembacaan Alkitab dan khotbah. Liturgi Meja terdiri atas Persembahan (kolekte) dan Perjamuan Kudus. Karena GKI tidak melaksanakan Perjamuan Kudus setiap Minggu, maka Liturgi Meja lebih dipahami sebagai Liturgi Persembahan.
- Ordo ketiga dari Liturgi Minggu berisi pengucapan syukur (thanksgiving) atas karya penebusan Kristus. Komponennya adalah Persembahan dan Perjamuan Kudus. Keduanya berhubungan erat dan tidak terpisahkan dengan Ordo Pelayanan Firman. Persembahan adalah respons Gereja terhadap pemberitaan Firman, sedangkan Perjamuan Kudus adalah Firman yang dinyatakan (visible word) setelah diberitakan.
- Mengapa Perjamuan dimulai dengan pengumpulan persembahan? Ritus persembahan menjembatani Firman dengan Perjamuan Kudus. Di satu sisi, persembahan merupakan respons yang tepat setelah umat mendengar Firman dibacakan dan dikhotbahkan. Di sisi lain, pengumpulan persembahan berhubungan erat dengan Perjamuan Kudus. Penempatan Perjamuan Kudus dalam ordo pelayanan persembahan (Thanskgiving) bukan berarti bahwa di dalam Perjamuan, Kristus dipersembahkan ulang sebagai korban persembahan!
Gereja-gereja Reformasi menolak pemahaman Gereja Katolik Roma ini (Ibr. 7:27). Perjamuan Kudus ditempatkan di sini berdasarkan pemahaman bahwa Perjamuan Kudus merupakan perayaan pengucapan syukur atas karya penebusan Kristus; baik hidup-Nya, kematian-Nya, maupun kebangkitan-Nya. Dalam pengucapan syukur inilah kita mengenang dan mensyukuri apa yang telah Kristus lakukan bagi kita. Lewat Perjamuan Kudus, janji-janji Allah yang telah diproklamasikan dalam Liturgi Firman kini menjadi konkret dan terlihat (visible) dalam Liturgi Meja, di mana roti dan air anggur merupakan tanda dan meterai dari tubuh dan darah Kristus yang telah dikorbankan untuk keselamatan dunia.
Teknis Pelaksanaan
- Perjamuan Kudus harus dirayakan di Jemaat sekurang-kurangnya empat (4) kali dalam setahun.
- Yang diperkenankan ikut mengambil bagian dalam Perjamuan Kudus adalah anggota sidi dan anggota sidi gereja lain sebagai tamu, yang tidak berada di bawah penggembalaan khusus.
- Majelis Jemaat mempersiapkan perayaan Perjamuan Kagar anggota memahami dan menghayati arti Perjamuan Kudus serta melakukan pemeriksaan diri (sensura morum), dengan:
- a).Mewartakan perayaan Perjamuan Kudus tersebut selama tiga (3) hari Minggu berturut-turut dengan mencantumkan Formulir Persiapan Perjamuan Kudus yang ditetapkan oleh Majelis Sinode.
- b).Melaksanakan Kebaktian Persiapan Perjamuan Kudus pada Kebaktian Minggu terakhir sebelum perayaan Perjamuan Kudus tersebut, dengan menggunakan Liturgi Persiapan Perjamuan Kudus.
- Majelis Jemaat melaksanakan pelayanan Perjamuan Kudus dalam Kebaktian Minggu dan/atau Kebaktian Hari Raya Gerejawi serta kebaktian pembukaan/penutupan persidangan dengan menggunakan Liturgi Perjamuan Kudus dan dilayankan oleh pendeta.
- Perjamuan Kudus menggunakan roti dan air anggur. Bagi anggota yang tidak bisa minum air anggur disediakan teh atau air.
- Dalam rangka perayaan Perjamuan Kudus terjadwal, Majelis Jemaat dapat melaksanakan pelayanan Perjamuan Kudus di rumah atau di rumah sakit pada hari yang ditetapkan, yang dilayankan oleh pendeta dengan menggunakan Liturgi Perjamuan Kudus yang disesuaikan, bagi:
- a).Anggota yang sudah uzur tetapi masih mampu memahami dan menghayati arti Perjamuan Kudus, dan yang tidak dapat mengikuti Perjamuan Kudus di tempat kebaktian.
- b).Anggota yang sakit tetapi masih mampu memahami dan menghayati arti Perjamuan Kudus, yang tidak dapat mengikuti Kebaktian Minggu dalam waktu yang lama.
Catatan
- Pelayanan Perjamuan Kudus harus dilakukan di tengah dan di dalam kebaktian Jemaat. Karena itu tidak ada alasan untuk menyelenggarakannya di luar kebaktian Jemaat, kecuali bagi mereka yang tidak mungkin mengikutinya karena alasan-alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
- Penyelenggara Perjamuan Kudus adalah Majelis Jemaat. Sekalipun penyelenggaraannya dilakukan di tempat-tempat lain (misalnya di penjara, rumah sakit, persidangan gerejawi, dan sebagainya), penyelenggaranya tetap adalah Majelis Jemaat yang ditunjuk untuk itu.
- Dengan demikian, Perjamuan Kudus yang diselenggarakan bukan oleh Majelis Jemaat, meskipun dilayankan oleh seorang yang menamakan diri pendeta, tidak dapat dibenarkan.
- Membawa roti dan anggur perjamuan ke rumah dengan anggapan bahwa benda-benda itu mempunyai khasiat untuk menyembuhkan penyakit dan sebagainya juga tidak dapat dibenarkan, karena berdasarkan pengertian yang salah tentang arti dan maksud Perjamuan Kudus.
Jan Calvin Pindo
2 Comments
Agusta
Oktober 25, 2012 - 7:50 pm1. Kapan anak-anak boleh ambil PK ? Mengapa anak-anak selalu ‘tidak masuk hitungan’ dalam perayaan sakramen PK, bukankah Kristus pernah berkata ‘biarkan anak-anak ini datang padaKu’ ? Lantas mengapa tidak diberikan PK utk anak ? Jika alasannya ‘karena anak-anak belum mengerti makna PK’ maka otomatis dan semestinya GKI/Protestan juga TIDAK melayankan Sakramen Baptis Anak, sebab saat anak menerima Baptis ia-pun belum mengerti maknanya !
2. Mengapa Perjamuan Kudus di GKI harus selalu jatuh pada format administratif ? (Hrs dilayankan oleh MJ, dsb), bagi saya dimensi dari PK bukan hanya sebatas HARUS ada MJ atau tidak ! Tapi ada dimensi spiritualitas yang mendasar dan mendalam ketimbang alasan administratif. Klo ada umat yang mau mati, lalu ia minta dilayankan PK, masakan ia harus menunggu rapat MJ dulu ?
3. Saya sangat keberatan dengan formula/forma Liturgi PK GKI, dalam formula GKI perayaan PK identik dengan / menuntut ‘kesucian/kesalehan’ hidup si penerima maupun pelayan PK itu sendiri. Klo kita melihat sejenak latar belakang teks PK (mis; Korintus, Markus, Matius, dan Lukas) maka kita akan menjumpai bahwa PK bukan identik dan menuntut kesucian hidup si penerimanya bukan? PK = Untuk orang berdosa, yang mau menerima keselamatan yang sudah Allah berikan melalui Yesus. Maka itu berarti, PK = Untuk SEMUA ORANG !
Kalaupun GKI masih bersikukuh pada liturginya, maka berarti :
GKI tidak dapat merayakan PK, krn forma liturgi GKI menghendaki kesucian (kesempurnaan) hidup si penerima pun pelayannya, realitanya, apa ada jemaat & pnt/pdt yang benar2 ‘sempurna’ dgn sesamanya ?
N.A
Mahasiswa F.TH – 2010 asal GKI SW Jateng
Joas Adiprasetya
November 5, 2012 - 2:02 pm1. Saya sangat sepakat dengan Anda dalam hal ini. Paedocommunion (PK anak) adalah konsekuensi logis dari paedobaptism (baptis anak). GKI selama ini masih mempertahankan tradisi tertentu yang tidak memperbolehkan anak mengikuti PK dan menurut saya sudah saatnya diubah. Bulan Desember 2012 ini akan diadakan diskusi serius mengenai PK anak di sinwil Jateng. Semoga ini menjadi momentum yang berujung pada diizinkannya anak ikut PK.
2. PK adalah sebuah peristiwa iman gerejawi dan karenanya sangat terkait dengan eklesiologi (pandangan tentang gereja) dari gereja tersebut. Untuk gereja tertentu yang sangat bebas, maka pandangan Anda tepat (karena sesuai dengan eklesiologinya). Namun eklesiologi GKI memahami bahwa PK sebagai sakramen bagi seluruh umat ditatalayani oleh Majelis Jemaat. Hal ini tidak perlu dikonfrontasikan dengan dimensi spiritualnya; seolah2 dimensi administratif pasti bertolak-belakang dengan dimensi spiritual. Keduanya bisa dan harus berdampingan. Tidak menatalayani PK, di pihak lain, dapat dengan mudah menjerumuskan kita ke sebuah situasi ketakberaturan.
Saya juga perlu merespons pertanyaan Anda, “Klo ada umat yang mau mati, lalu ia minta dilayankan PK, masakan ia harus menunggu rapat MJ dulu?” Ini persoalan teologis dan sudah bukan lagi administratif. Di GKI sudah diatur bahwa PK khusus (di rumah2) mengikuti jadwal PK umum. Artinya kalau hari Minggu tertentu diadakan PK, maka hari-hari sesudahnya dilayankan PK ke rumah-rumah. Hal seperti ini sudah tidak perlu dirapatkan, karena sudah menjadi praktik dan kebiasaan (dan ini baik, menurut saya). Sebaliknya, yang sedang sakit tidak diberikan pelayanan PK khusus di luar jadwal. Saya kuatir di balik pertanyaan Anda muncul asumsi bahwa PK bermanfaat secara magis sehingga harus diberikan kepada orang yang sakit. Semoga tidak. Bukankah secara teologis PK adalah refleksi dari perjamuan abadi yang kita bakal nikmati bersama Sang Anak Domba setelah kita mati. Maka, jika seorang percaya mati tanpa menerima PK, biarlah ia meninggal tanpanya, sebab segera ia akan menikmati perjamuan dengan Allah, bukan? Jika sudah pasti akan segera menikmati hidangan utama, mengapa harus concerned dengan appetizer?
3. Saya menghargai keberatan Anda. Sayangnya, formula semacam itu adalah konsensus sinodal, karenanya perubahannya pun perlu memakai prosedur persidangan pula. Saya pada prinsipnya setuju dengan kegelisahan Anda, namun saya juga menyadari dan menghargai cara sebuah gereja menyepakati teologinya. Percayalah, banyak hal yang tidak saya setujui, namun tidak dengan sendirinya saya tolak begitu saja—kecuali kita percaya bahwa kita adalah pemegang kebenaran absolut. Saya percaya di dalam tulisan Anda terdapat persoalan teologis tertentu, mungkin sama bermasalahnya dengan yang sedang Anda kritik. Maka, satu-satunya jalan terbaik adalah mempercakapkan dalam perjalanan bersama-sama (sun-hodos) menuju sebuah gereja yang lebih baik. Mari berdamai dengan gereja sendiri dan bersama-sama menatanya. Mungkin lambat jalannya, namun yang penting terjadi perubahan itu. Tak ada jalan lain.
Thanks untuk responsnya.