Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya (Amsal 27:17).
Sesungguhnya ada satu aspek dalam pernikahan yang kadang-kadang terlupakan, yaitu aspek saling menajamkan. Ibarat pisau atau besi yang mesti diasah agar tetap tajam, demikian pulalah karakter kita perlu ditajamkan. Sudah tentu ditajamkan di sini bukan berarti runcing sehingga mudah melukai hati pasangan. Menajamkan berarti menunjukkan kelemahan pasangan dan memberikan masukan untuk memperbaikinya. Sebagaimana pisau yang tajam akan menjadi pisau yang berfungsi optimal, demikian pulalah karakter yang tajam akan menjadi karakter yang berfungsi optimal.
Pernikahan yang tidak lagi bertumbuh adalah pernikahan yang tidak lagi saling menajamkan. Bukannya saling menajamkan, kita malah saling membiarkan dan mendiamkan. Mungkin pada awalnya kita berusaha untuk menunjukkan kelemahan pasangan dan memberikan masukan untuk memperbaikinya. Namun seiring dengan berjalannya waktu, kita tidak lagi melakukannya. Mungkin kita frustrasi karena apa yang disampaikan tidak didengarkan atau mungkin kita tidak tahu bagaimana caranya menajamkan pasangan. Berikut akan dipaparkan bagaimanakah kita dapat menajamkan satu sama lain.
Pertama, sebelum dapat saling menajamkan kita mesti sepadan terlebih dahulu. Sepadan di sini berarti bahwa kita mempunyai kematangan karakter yang sama. Apabila kita mempunyai tingkat kematangan yang berbeda, tidak bisa tidak, kita akan sulit untuk saling menajamkan. Dalam relasi yang tidak seimbang pada umumnya yang lebih matang harus menajamkan pasangannya sedangkan ia sendiri jarang sekali ditajamkan oleh pasangan.
Kalau saja pihak yang kurang matang bersedia untuk menerima masukan, besar kemungkinan relasi ini akan mencapai keseimbangan. Masalahnya adalah sering kali pihak yang kurang matang tidak menerima masukan yang diberikan. Komentar yang kita berikan sering dianggap meremehkannya sehingga maksud hati untuk membangun tidak kesampaian. Pada akhirnya kita enggan untuk memberi masukan dan cenderung membiarkan pasangan berbuat sekehendak hati.
Kedua, kita baru dapat saling menajamkan bila kita sendiri hidup di dalam realitas, bukan alam fantasi. Maksud saya, kita mesti dapat melihat pasangan apa adanya―tidak lebih buruk atau lebih baik―daripada kenyataan. Jika kita melihat pasangan seperti durian runtuh, maka kita pun akan mengagungkannya seakan-akan ia adalah sosok yang sempurna.
Mungkin kita memiliki banyak kebutuhan emosional dan melihat pasangan sebagai juru selamat yang menyelamatkan hidup kita. Nah, jika demikian, akan sukar buat kita melihatnya sebagai sosok yang tidak sempurna. Segala sesuatu yang dilakukannya kita pandang bukan saja baik tetapi sempurna. Sudah tentu kita tidak akan lagi mempunyai komentar apa pun tentang dirinya―ia terlalu baik buat kita.
Sebaliknya kita pun tidak bisa menajamkan pasangan bila kita memandangnya lebih buruk daripada kenyataan. Sewaktu kita melihatnya sebagai sosok yang lebih buruk daripada kenyataan, kita cenderung merendahkannya, bukan membangunnya. Kesalahan yang diperbuatnya mengundang kemarahan besar dan kebaikan yang dilakukannya luput dari penglihatan. Akhirnya relasi kita pun menjadi relasi yang sarat pertikaian.
Jadi, bila kita ingin saling menajamkan, kita mesti dapat melihat pasangan sesuai realitas―tidak lebih baik atau lebih buruk daripada kenyataan. Ketika kita melihatnya secara apa adanya, kita akan dapat memberikan masukan kepadanya secara proporsional pula. Apa yang baik kita puji dan hargai, apa yang buruk kita munculkan dan koreksi.
Ketiga, kita baru dapat saling menajamkan bila kita saling mengasihi dan berkomitmen untuk menjadikan pernikahan kita sebagai pernikahan yang sehat. Kita hanya akan bersedia mengambil tanggung jawab untuk menajamkan pasangan bila kita mengasihinya. Kita hanya akan bersedia memberi masukan dan bahkan mengambil risiko terjadinya konflik jika kita mempunyai tekad untuk menjadikan pernikahan ini sebagai pernikahan yang sehat. Itu sebabnya kita hanya dapat menajamkan satu sama lain bila kita saling mengasihi dan mempunyai kesamaan tekad untuk menjadikan pernikahan kita sebuah pernikahan yang sehat.
Saya mengerti bahwa adakalanya tidak mudah untuk mempertahankan kasih dan tekad untuk menjadikan pernikahan kita sebuah pernikahan yang sehat. Perilaku pasangan yang tidak menyenangkan dan konflik yang kerap terjadi, membuat hati tawar. Pada saat seperti itu godaan terbesar adalah godaan untuk bersikap masa bodoh. Kecenderungan terbesar adalah mengangkat tangan dan tidak lagi memedulikan masa depan relasi.
Kendati sukar, namun kita tidak boleh menyerah. Kita harus terus berusaha menajamkan satu sama lain dan meyakinkan pasangan bahwa kita berdua harus sehati menjadikan pernikahan ini sebuah pernikahan yang sehat. Setiap masukan yang diberikan mestilah dibungkus dengan iktikad baik, yaitu ingin membuat pernikahan ini lebih sehat lagi.
Keempat, kita hanya baru dapat saling menajamkan bila kita bersedia untuk ditajamkan alias menerima masukan bahkan teguran dari pasangan. Jika kita bersikap tertutup dan defensif, akan sukarlah bagi pasangan untuk memberi masukan kepada kita. Ini berarti tidak ada yang dapat menajamkan karakter kita.
Bila kita ingin bertumbuh, kita harus membuka diri dan menyambut teguran pasangan. Tuhan ingin membentuk kita dan salah seorang yang dipakai-Nya untuk tujuan itu adalah pasangan kita sendiri. Mungkin ia pun penuh kesalahan, sehingga tidak mudah bagi kita untuk mendengarkan masukannya. Sungguh pun demikian kita harus membedakan antara masukannya dan kelemahannya. Jangan menutup telinga terhadap komentarnya karena kita menganggapnya tidak layak memberikan masukan.
Hal kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri―sebagaimana tertera di dalam Galatia 5:22-23―adalah masalah karakter. Kita harus menolong pasangan agar lebih mengasihi dan lebih murah hati, lebih baik dan lebih sabar, lebih setia dan lebih lemah lembut, serta lebih menguasai diri. Inilah karakter yang diinginkan oleh Tuhan kita Yesus dan inilah karakter yang mesti kita miliki.
Keenam, kita mesti membedakan antara menunjukkan kelemahan dan memvonis kelemahan. Kita memvonis kelemahan tatkala kita tidak lagi memberi kesempatan kepada pasangan untuk memperbaiki dirinya. Kita memvonis kelemahan sewaktu kita memutuskan bahwa ia akan selalu berkubang di dalam kolam kelemahan yang sama. Inilah yang mesti dihindari sebab memvonis kelemahan makin melemahkan motivasi orang untuk berubah.
Jadi, sebaiknya ketika kita menunjukkan kelemahan pasangan, kita pun memperlihatkan keyakinan bahwa ia dapat berubah. Kita dapat pula memperlihatkan sisi positif pada dirinya pada saat kita tengah menunjukkan kelemahannya supaya ia tahu bahwa kita melihatnya secara utuh. Kita dapat pula membagikan pengakuan bahwa kita pun mempunyai kelemahan dan jauh dari sempurna. Atau, kita dapat mengatakan bahwa kita menghargai masukannya yang telah menyadarkan kita akan kelemahan sendiri.
Menyoroti kelemahan pasangan terus-menerus tidak akan membawa perubahan. Sebaliknya, ia justru makin menunjukkan sikap melawan. Itu sebabnya kita harus lebih banyak memberi perhatian dan pengakuan pada kekuatannya. Silakan sampaikan kelemahannya namun jangan terus ungkit masalah yang sama; sebaliknya, fokuskan perhatian pada kekuatannya.
Ketujuh, jangan bandingkan dirinya dengan diri kita atau diri orang lain; sebaliknya, jadikanlah Tuhan Yesus sebagai tolok ukur atau target perubahan. Saya menyadari bahwa kita cenderung membandingkan diri orang dengan diri kita. Masalahnya adalah, kita tidak sempurna dan tidak selalu hidup konsisten; kadang-kadang kita pun melakukan kesalahan yang sama. Juga, bila kita membandingkan dirinya dengan diri kita sendiri, belum tentu ia akan terbuka untuk menerimanya sebab pada umumnya orang tidak suka bila dibanding-bandingkan dengan orang lain.
Itu sebabnya, kita mesti mengarahkannya kepada Tuhan kita Yesus. Mungkin ia perlu lebih murah hati, mungkin ia harus belajar lebih bersabar dan menguasai diri, mungkin ia perlu lebih berbaik hati. Namun tujuannya bukan supaya ia lebih serupa dengan kita dan bukan pula supaya ia menyenangkan hati kita melainkan agar ia lebih serupa dengan Tuhan kita Yesus dan lebih menyenangkan hati-Nya.
Terakhir, kita harus bersabar sebab perubahan memerlukan waktu dan situasi tertentu. Adakalanya kita berubah dengan mudah tetapi kadang-kadang kita membutuhkan waktu dan situasi tertentu untuk berubah. Ada kelemahan yang dapat dengan mudah kita sadari namun ada pula kelemahan yang sukar kita sadari. Akhirnya kita baru melek mata tatkala kita mengalami situasi tertentu.
Lewat pergumulan seperti ini kita diingatkan bahwa ada banyak hal yang berada di luar kendali kita. Kita bisa mengingatkan, tetapi kita tidak bisa membuat orang mengingat. Kita dapat menunjukkan kelemahan, namun kita tidak dapat membuat orang menyadari kelemahannya. Itu sebabnya kita harus datang kepada Tuhan kita Yesus. Kita mesti merendahkan diri dan mengakui keterbatasan kita. Kita harus memohon pertolongan-Nya sehingga dengan cara-Nya dan dalam waktu-Nya, perubahan karakter dapat terjadi.
Mazmur 126:5-6 mengingatkan, “Orang-orang yang menabur dengan mengucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai. Orang yang berjalan maju dengan menangis sambil menabur benih, pasti pulang dengan sorak-sorai sambil membawa berkas-berkasnya.”
Menajamkan karakter pasangan dapat diibaratkan dengan upaya menabur benih. Kadang-kadang kita harus mencucurkan air mata, namun jika kita tidak menyerah, maka suatu hari kelak kita akan menuai hasilnya.
Pdt. Paul Gunadi, Ph.D. – Dikutip dari Buletin Eunike Edisi 24-1/2012
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.