Pagi ini, ketika aku mengambil stoples kaca untuk menempatkan kue kering yang dibawa anakku, aku teringat lagi kepada sahabatku Hilda. Stoples itu penuh kenangan darinya.
Suatu subuh, ketika hari masih gelap, sebuah minibus berhenti di depan rumahku dan sebuah suara keras memecah kesunyian, “Ini dia rumahnya. Ya betul, ini rumahnya,” lalu disusul dengan bunyi gembok yang diketuk-ketukkan ke pagar sambil memanggil-manggil namaku. Aku segera keluar rumah, dan terkejut melihat sahabatku Hilda melambaikan tangan kepadaku dengan riang. Begitu ia melalui pagar, ia merangkulku erat-erat dan sambil menarik koper gelindingnya, mengikutiku masuk ke dalam rumah.
Setelah minum teh hangat dan duduk sebentar, Hilda membuka kopernya di tengah-tengah ruang tamuku yang kecil itu. Aku sampai ternganga melihatnya. “Ini,” katanya, “kubawakan oleh-oleh untukmu.” Dari dalam koper ia mengeluarkan stoples kaca berisi kering kentang, juga creamer, kopi, abon, selai, dan makanan kering. Sepertinya seluruh isi lemari dapurnya dibawa Hilda ke Jakarta untuk diberikan kepadaku.
“He, terlalu banyak,” protesku, “kamu kan mesti bagi juga sama adikmu. Masakan kamu tidak bawa apa-apa untuknya?” Hilda tertawa, dan menuruti kata-kataku. Ia memasukkan kembali semua oleh-oleh itu, kecuali stoples berisi kering kentang.
Ia bercerita bahwa ia berangkat dari Surabaya ke Jakarta untuk memenuhi panggilan sebuah kantor pemerintah yang akan memberikan penghargaan kepadanya sebagai salah seorang wanita yang berprestasi. Aku tak tahu apakah ceritanya itu benar atau tidak, sebab Hilda sering berkhayal dan hidup dalam impian. Sebenarnya ia ingin menginap di rumahku waktu itu, tetapi semua kamar penuh, lagi pula ia punya adik laki-laki yang tinggal di Jakarta.
Ia sahabatku sejak kecil. Dari SD sampai SMA kami selalu sekelas. Kami pernah duduk sebangku dan ikut paduan suara gereja di Semarang. Wajahnya manis dan ia senang tertawa. Setelah SMA, aku berpisah dengannya untuk melanjutkan kuliah di kota lain, tetapi dari waktu ke waktu kami masih bertemu.
Ia sering cerita kepadaku tentang pacar-pacarnya, tetapi entah mengapa ia tidak pernah menikah. Mungkin karena ia hanya berkhayal saja tentang pacar-pacar yang sebenarnya tidak ada –sebab aku belum sekalipun pernah bertemu dengan salah satu dari mereka– tetapi khayalan itu membuatnya nyaman dan tidak kalah dengan yang lain.
Ketika usianya setengah baya, badannya bertambah gemuk karena ia suka makan. Suatu bulan Desember, lima bulan sebelum kedatangannya ke rumahku, ia menelponku dari Surabaya. “Aku lagi dirawat di rumah sakit,” katanya, “aku kena kanker rahim, stadium empat.”
Aku kaget tetapi sekaligus ragu-ragu. Apakah kabar itu benar atau hanya khayalannya? Meskipun begitu, dengan sebisanya aku menghibur,. “Yang kuat ya Hilda, aku akan mendoakanmu.” Ia menjawab dengan bercanda, “Harus dong, kan kamu sahabatku.”
Pagi itu, setelah mandi dan sarapan pagi bersama keluargaku, Hilda ikut denganku belanja di pasar. Ia menggandeng tanganku. “Aku masih menyimpan semua surat-surat dan bacaan rohani yang kaukirimkan kepadaku,” bisiknya. “Engkau sahabat karibku.” Hatiku tercekat. Aku terharu sekali. Hilda juga tidak lupa memberikan foto dirinya kepadaku. “Aku cantik ya,” katanya, “aku sengaja bawa untukmu.”
Di pasar, ia memegang-megang agar-agar model kuno yang panjang bentuknya. Dulu kami suka membuat puding dengan agar-agar seperti itu, dan kenang-kenangan itu melekat di benaknya. “Aku belikan ya, untukmu?” kataku kepadanya. Ia tersenyum manis dan mengangguk. Ia juga minta dibelikan kue pancong dan memakannya dengan lahap dalam perjalanan pulang.
Siangnya Hilda menelpon taksi yang membawanya ke rumah adiknya, dan setelah itu aku tidak mendengar kabar beritanya lagi. Namun sekitar enam bulan kemudian, pada suatu pagi yang cerah, kakaknya menelpon rumah kami. “Hilda sudah dipanggil Tuhan, katanya. ”Besok akan dikremasi.”
Aku sangat terkejut dan berduka. Sungguh tak kusangka bahwa Hilda yang bertemu terakhir kali denganku dalam keadaan sehat dan ceria, begitu cepat meninggalkan kami. Sayang, aku tidak dapat hadir untuk melepaskannya pergi, tetapi aku yakin bahwa ia sudah bahagia di rumah Tuhan.
Sekarang aku menyadari bahwa pertemuan kita yang terakhir itu merupakan caranya untuk berpamitan denganku. Ia sudah tiada, tetapi kasih dan perhatiannya selalu kukenang. (ib)
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.