Siang itu terasa sangat menyegarkan saat dering telepon berbunyi. Seorang yang tidak asing lagi, memanggil nama saya, “Ria!” Jawab saya segera, “Ya, Pap!” Pembicaraan itu sangat singkat, namun saya sempatkan bertanya, “Apakah Papa sehat? Kuat?” Jawabnya dengan mantap, “Banyak yang mendoakan. Papa sehat!”
Relasi ayah dan anak yang indah adalah dambaan setiap anak. Sejak kecil Papa memahami bahasa cinta saya dan melalui bahasa itulah ia menunjukkan cintanya kepada saya. Menakjubkannya, bahasa cinta Papa hampir sama dengan bahasa cinta saya. Itu sebabnya saya merasa mudah membuat Papa tersenyum.
Telah satu tahun lamanya saya terpisah dari Papa dan Mama. Tugas studi membuat Papa dan Mama dengan besar hati melepas anak perempuan satu-satunya setelah beberapa kali juga dalam hidup saya, kami dipisahkan oleh jarak dan tempat. Tentu saja itu juga terjadi setelah saya menikah, sejak 10 tahun yang lalu.
Namun perpisahan kali ini sangat berbeda. Bukan hanya saya yang berpisah dengan Papa dan Mama, namun juga anak saya Andrea – sekarang 9 tahun – berpisah dari Papinya. “Aku ingin Papi dan Mami bersatu…” lirihnya diiringi tetesan air mata.
Orangtua Berpisah Dengan Anak
Ada beberapa pola perpisahan antara orangtua dan anak yang terjadi dalam sebuah keluarga. Beberapa di antaranya: Pertama, perpisahan karena orangtua harus bekerja ke luar kota atau ke luar negeri namun tidak dapat membawa keluarganya karena satu atau lain hal. Kedua, perpisahan karena perceraian antara ayah dan ibu sehingga anak-anak harus tinggal dengan salah seorang dari mereka atau tinggal bersama orang lain. Ketiga, perpisahan karena kematian salah satu atau kedua orangtua.
Apapun pola perpisahan itu, jika anak-anak dapat menyatakan perasaan, mereka akan berteriak, “Aku ingin Papi dan Mami bersatu…”. Satu-satunya kisah yang saya dapati tentang seorang anak yang rela Papi dan Maminya berpisah adalah ketika ia mengetahui ada kekerasan dalam rumah tangga yang membuatnya sangat marah. Namun demikian, adakah anak yang ingin berpisah dengan orangtuanya?
Sekalipun perpisahan sering kali menjadi sebuah dilema, namun tetap orangtua harus mengambil satu keputusan dari setidaknya dua pilihan yang sulit. Disadari atau tidak, anak-anak menjadi korban dari perpisahan orangtua. Anak saya pernah berkata dengan jujur, “Mami, aku sudah berkorban karena Mami memutuskan untuk studi… sehingga kita berpisah dengan Papi.” Lalu apa yang harus orangtua lakukan menghadapi anak atau anak-anak yang menjadi “korban” dari perpisahan orangtuanya?
Orangtua Berencana Menjelaskan Kepada Anak
Saya tidak tahu berapa banyak orangtua yang membicarakan mengenai perpisahan mereka dengan terbuka kepada anak atau anak-anak mereka. Ada yang menyembunyikan kenyataan perceraian mereka dengan berusaha menunjukkan bahwa relasi mereka baik-baik saja. Ada juga yang membohongi anak atau anak-anak mereka dengan menyangkal adanya isu dan pertanyaan mengenai perpisahan, bahkan mengubahnya dengan kabar lain yang baik. Atau ada pula yang tidak memberitahukan anak mereka dan langsung menunjukkan ayah baru atau ibu baru bagi sang anak.
Apa yang kami lakukan berbeda dari hal di atas. Sekitar satu tahun sebelum kepergian saya studi, kami sudah berandai-andai bersama anak kami. “Seandainya Mami pergi untuk studi ke luar kota, bagaimana pendapatmu?” Biasanya ada 3 kemungkinan jawaban: Pertama, anak setuju dan menerimanya. Kedua, anak tidak setuju dan menolaknya. Ketiga, anak tidak ingin membicarakannya karena takut menerima kenyataan perpisahan yang akan terjadi.
Ada beberapa hal yang kami lakukan berkaitan dengan perpisahan sesaat ini.
Bicarakan dan Deteksi Perasaan Anak
Pembicaraan yang dilakukan dengan anak sering kali dilakukan oleh orangtua secara searah. Anak menceritakan sesuatu dan orangtua menjawabnya dengan singkat. Tidak sedikit orangtua yang merasa kewalahan dengan kisah-kisah yang diceritakan anak-anak mereka karena terlalu banyak dan terasa membosankan. Sebaliknya, anak-anak juga merasa bahwa apa yang dibicarakan orangtua hanyalah sebuah perintah atau nasihat yang tidak boleh dibantah dan harus diterima tanpa reaksi penolakan darinya.
Namun demikian, pembicaraan mengenai perpisahan orangtua adalah pembicaraan yang sesungguhnya membutuhkan komunikasi dua arah dalam kapasitas tertentu. Maksudnya, bisa jadi anak kita tidak mengerti, belum mengerti atau tidak perlu mengerti mengenai alasan kita yang paling dalam, tetapi respons merekalah yang perlu kita dengarkan.
Respons yang ditunjukkan anak, sebagian besar berisi ungkapan perasaannya. Ada beberapa perasaan yang muncul saat anak menghadapi perpisahan. Seorang anak berkata, “Aku sedih, aku kangen Papi, aku tidak merasa enak, aku marah karena aku tidak tahu bagaimana caranya bertemu dengan Papi, aku juga merasa kehilangan, dan aku merasa kecewa.” Anak lain mengatakan, “Aku senang, ayahku berpisah dengan ibuku, karena ayah selalu menyakiti ibu.” Walaupun perasaan itu tampaknya positif, bukan berarti seluruh perasaannya positif. Anak tersebut merasa senang dan tampak positif karena satu hal buruk ingin dihindarinya, yaitu kekerasan dalam rumah tangga yang disaksikannya. Itu sebabnya, orangtua perlu menunggu sampai ia menyatakan perasaannya yang paling dalam.
Perasaan takut juga merupakan salah satu perasaan yang terjadi dalam diri anak-anak saat berpisah dengan orangtuanya atau saat orangtuanya berpisah. Seorang anak perempuan mengatakan, “Aku takut tidak dapat bertemu dengan ayahku lagi.” Atau ada pula yang mengatakan, “Aku takut tidak bertemu dengan ayahku lagi atau melihatnya lagi waktu ia sudah kakek-kakek!”
Bicarakanlah dan hargailah perasaan yang dialami oleh anak-anak kita. Mereka membutuhkan orangtua untuk mendengarkan perasaan mereka. Berikan respons sambil mengatakan, “Mami tahu kamu sedih. Mami juga sedih karena Papi meninggalkan kita!” Atau kita juga dapat mengatakan, “Papi tahu kamu takut!” sambil memeluk mereka.
Minta Maaf Atas Ketidaknyamanan Ini
Ketidaknyamanan merupakan sebuah pengalaman yang tidak menyenangkan bagi anak. Seperti kita ketahui, impresi anak-anak pada waktu kecil merupakan benih yang sedang kita tanam di dalam hati mereka. Satu hari kelak mereka akan menuai benih itu. Jika impresi yang diberikan oleh orangtua adalah impresi yang membuat mereka memiliki perasaan negatif, maka saat besar nanti anak-anak kita akan merasakan perasaan negatif itu tanpa sepenuhnya menyadari asal mula dari perasaan negatif itu. Sebaliknya, jika impresi yang diberikan oleh orangtua adalah impresi yang positif, maka mereka akan memiliki perasaan positif itu dan meneruskan pengalaman positif itu kepada anak atau anak-anak mereka.
Bahayanya, jika impresi itu negatif, maka anak-anak yang memiliki pengalaman negatif itu secara tidak sadar akan meneruskan impresi itu kepada anak-anak mereka. Sebut saja Ibu An yang senang sekali bekerja hingga jauh malam. Sesungguhnya sang anak sudah menyatakan kesedihannya karena selalu ditinggalkan ibunya. Namun secara spontan sang ibu menjawab, “Dia harus kuat. Saya juga ditinggalkan oleh orangtua saya waktu kecil. Mereka sibuk bekerja dan saya tidak protes!”
Jika impresi negatif ini hendak kita akhiri, maka salah satu yang dapat kita lakukan adalah meminta maaf kepada anak atas ketidaknyamanan yang dirasakannya. Anak dapat merasa tidak nyaman karena orangtua saling mengancam untuk berpisah dalam pertengkaran mereka, dan itu sangat membuat anak sedih. Anak juga dapat merasa sangat tidak nyaman saat perpisahan itu terjadi. Itu sebabnya, mari berikan kesempatan kepada anak untuk memaafkan orangtua. Ada banyak alasan yang dapat kita berikan untuk melegitimasi pentingnya perpisahan tersebut bagi kita sebagai orangtua, tetapi anak memerlukan pengakuan dari orangtua.
Ada 3 hal yang diperlukan oleh anak: Pertama, anak perlu mendengar bahwa orangtua memahami perasaan tidak nyaman yang dirasakannya. Kedua, anak perlu mendengar bahwa orangtua menyesal karena membuat perasaannya tidak nyaman. Ketiga, orangtua perlu menunggu sampai anak mau memaafkannya.
Menunggu Maaf plus Menunggu Hal Baik dari Tuhan
Bukan hanya dalam kasus perpisahan orangtua, dalam kasus apa pun, orang sering kali merasa sulit mengampuni. Tentu saja orangtua perlu menunggu sampai sang anak menyatakan bahwa ia mengampuni atau memaafkan mereka karena perpisahan yang terjadi.
Dalam kasus apa pun, setidaknya ada beberapa alasan yang membuat seseorang sulit mengampuni: ada kalanya kita sulit mengampuni karena orang yang berbuat salah kepada kita melakukannya berulang-ulang kali. Ada pula saat ketika kita sulit mengampuni karena kita terlalu sayang melepas rasa kesal kita kepada seseorang atau sekumpulan orang. Dalam kasus yang berbeda, ada pula saat ketika pengampunan hanya merupakan teori belaka, karena rasa sakit yang kita rasakan membuat kita tidak berdaya untuk mengampuni. Apalagi jika kita tidak melihat hal baik dari pengalaman buruk yang telah kita rasakan.
Termasuk dalam kasus perpisahan dengan orangtua. Sigmund Freud mengatakan, “Saya rasa bahwa tidak ada kebutuhan lain pada masa kanak-kanak sekuat perlunya perlindungan seorang ayah.” (I cannot think of any need in childhood as strong as the need for a father’s protection).
Ini berarti, seorang anak tidak akan dapat berpisah dengan orangtuanya, karena kedekatan dengan orangtua adalah kebutuhan mendasar baginya. Rasa sakit yang dialaminya akibat perpisahan orangtuanya, sangatlah dalam. Tidak heran jika ia merasa sulit melepas rasa sakit itu dan tidak mudah memberikan pengampunan kepada orangtuanya. Dalam beberapa kasus, memang seorang anak akan menyangkal rasa sakit yang dirasakannya. Ia dapat mengalihkannya dengan bermain, dengan tidak mau membicarakannya, atau justru dengan marah (over sensitif) dalam hal lain.
Menunggu anak memaafkan orangtua adalah satu hal. Namun hal lainnya adalah menantikan agar kebaikan Tuhan nyata dalam diri anak. Sebelum tidur malam, seorang anak berkata kepada ibunya, “Aku tahu sekarang mengapa kita harus berpisah dengan Papi untuk sementara.” Ibunya tertarik untuk mendengarkan dan bertanya: “Mengapa?” Jawabnya, “Supaya aku belajar bertanggung jawab!”
Ibu Kartini berkata, “Habis Gelap Terbitlah Terang.” Lagu “Pelangi Kasih” mengingatkan kita bahwa sehabis hujan akan tampak pelangi. Saya mengalami, perpisahan membuat kami mengalami berbagai kasih Tuhan secara berbeda dan mampu mensyukuri masa-masa bersama yang bisa jadi tidak akan pernah kembali.
Jika Anda adalah orangtua yang dapat menghindari perpisahan, apa lagi karena perpisahan itu semata hanya karena ego Anda, lakukan itu sejak sekarang. Rancangkanlah pertemuan yang berkualitas. Sebaliknya, jika Anda harus memilih dan akhirnya anak-anak menjadi korban dari perpisahan ini, bicarakanlah dengan mereka, minta maaflah dan nantikan senantiasa hal baik dari Tuhan. Roma 8:28 mengingatkan kita, “Allah turut bekerja mendatangkan kebaikan…” Itu berarti ada hal baik yang dapat Tuhan ciptakan, datangkan dan berikan kepada kita yang mencintai-Nya. Lebih lanjut lagi, ada hal baik yang Tuhan rancangkan.
Ciptakan Waktu Berkualitas di Tengah Kuantitas yang Terbatas
Hal yang sering kali dilupakan adalah menciptakan waktu berkualitas di tengah kuantitas yang terbatas. Tiga hal yang membuat sebuah waktu kebersamaan dengan anak menjadi berkualitas adalah:
Libatkan Tuhan dan Nilai-Nilainya Dalam Pembicaraan
Kesedihan, kemarahan, kekesalan dan ketakutan memang merupakan perasaan yang tidak dapat disangkal. Namun demikian, anak-anak kita tidak membutuhkan nasihat kita, apa lagi instruksi untuk menghilangkan perasaan tersebut. Yang mereka perlukan adalah kesediaan kita untuk berada bersama mereka ketika mereka mengalami perasaan negatif tersebut. Selanjutnya, ajarkanlah hanya nilai-nilai yang diajarkan Tuhan. Misalnya, kita dapat berkata, “Bagi Mami, terpisah oleh jarak dan tempat dengan orang yang kita kasihi memang sangat menyakitkan dan menyedihkan. Namun Tuhan mengingatkan Mami bahwa Dia akan menjaga kita satu sama lain saat berjauhan. Itu juga yang dikatakan oleh Yakub saat berpisah dengan orang yang disayanginya.”
Sedapat Mungkin Ekspresikan Cinta Sesuai Lima Bahasa Cinta
Satu kalimat yang saya ungkapkan kepada orangtua saya akhir-akhir ini dan saya ulangi hampir setiap kali saya menelepon mereka adalah, “I love you, Pap!” atau “I love you, Mam!” Saya tidak dapat selalu memeluk mereka, tetapi saya dapat mengirim makanan kesukaan mereka dan hal-hal yang mereka perlukan.
Itulah juga yang kami lakukan saat berada bersama dengan anak kami. Seperti anjuran Gary Chapmann, kami berupaya mengekspresikan cinta melalui kata-kata, pelukan dan ciuman, pelayanan waktu yang berkualitas, serta hadiah yang membuat anak kami tertawa bahagia.
Pengalaman Orangtua Adalah Pengalaman Yang Berkesan bagi Anak
Menurut Gloria Steinem, banyak anak Amerika menderita karena terlalu banyak figur ibu dan terlalu sedikit figur ayah (most American children suffer too much mother and too little father). Ini mengingatkan para ayah yang terlalu banyak berada di luar rumah, atau yang berada di rumah tanpa berpikir bahwa apa pun yang mereka lakukan membawa impresi mendalam bagi anak-anak mereka. Termasuk saat ayah tidak menyediakan waktu berkualitas bagi anak dan pasangannya di dalam rumah, sehingga membuat anak menderita karena kekurangan figur ayah di dalam dirinya.
Bisa jadi, ada orangtua yang tidak memiliki pengalaman masa kecil yang menyenangkan karena orangtua mereka juga tidak memberi contoh bagaimana membuat waktu kebersamaan yang berkualitas. Kisah itulah yang perlu diceritakan kepada anak, sehingga ia mengetahui pengalaman masa kecil orangtua. Bahkan menurut Susie Bright, impresi tentang kisah masa kecil orangtua yang buruk dapat pulih sejalan dengan upayanya untuk mengurus dan membesarkan anaknya (I had no idea that mothering my own child would be so healing to my own sadness from my childhood). Termasuk saat seorang anak kehilangan salah satu dari orangtuanya. Untuk kasus yang dipisahkan karena kematian atau tugas yang tidak terhindari, nyatakanlah kesedihan yang juga dirasakan orangtua kepadanya, agar anak-anak tahu bahwa mereka tidak bergumul dan berjuang sendiri. Khusus untuk perpisahan karena tugas yang tidak terhindarkan, Connie Sellecca mengingatkan bahwa kita harus tetap mendukung anak-anak agar mereka memiliki relasi yang sehat. Impresi itu dapat ditunjukkan dengan sehatnya relasi antara suami dan istri, anak dan orangtua, atau juga relasi anak dan orangtua dengan orang-orang di sekitarnya.
Benarlah apa yang dikatakan oleh Hillary Clinton bahwa dibutuhkan satu desa untuk membesarkan anak. Tetapi Bob Dole membantah, bahwa bukan satu desa yang dibutuhkan, melainkan satu keluarga. Itu berarti, jika kita merasa bahwa desa kita atau komunitas kita tidak dapat mengatasi masalah perpisahan yang berdampak pada diri anak-anak kita, janganlah tinggalkan anak-anak kita. Libatkan seluruh anggota keluarga untuk turut mendukung kita. Kiranya Tuhan sumber kasih memelihara hati anak-anak kita.
Pdt. Riani Josaphine
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.