Dua kata latin di atas mengingatkan kita pada satu peristiwa yang amat menyedihkan dan menggores tajam di hati, suatu kekejaman dalam sejarah. Namun (meskipun tidak lazim)… dua kata itu bisa juga dipakai sebagai sapaan dalam perjumpaan antara dua sahabat untuk membuka pembicaraan, entah sebagai ungkapan perhatian atau sekadar basa-basi.
Quo Vadis dipakai sebagai judul sebuah film yang beredar sekitar tahun 1951 dan mengisahkan penindasan umat Kristen oleh Nero, Kaisar Romawi (54 M sampai 68 M, dan ia bunuh diri kira-kira pada usia 31 tahun). Pada tahun 64 M terjadi kebakaran besar yang menghancurkan Roma dan memusnahkan kira-kira seperempat kota itu. Ada desas-desus bahwa Nero-lah yang bertanggung jawab atas kebakaran tersebut. Menurut Tacitus—seorang sejarawan Romawi—Nero berupaya melindungi diri dengan mengambinghitamkan orang Kristen. Maka terjadilah penangkapan massal, dan orang Kristen maupun yang dicurigai sebagai Kristen disiksa. Banyak yang dibunuh dengan kejam, bahkan beberapa di antaranya dibakar hidup-hidup di depan umum. Tampaknya peristiwa ini menandai awal gelombang besar penganiayaan, bukan dari para penentang keagamaan, melainkan dari sumber-sumber politis yang bertekad memusnahkan orang Kristen, dengan tuduhan hendak mengangkat raja mereka dan mendirikan kerajaan sendiri. MERDEKA, lepas dari PENJAJAH bangsa Romawi yang suka memeras rakyat, baik melalui pajak maupun tindakan lainnya.
Film ini dibuat berdasarkan sebuah buku yang dikarang oleh Henryk Sienkiewicz, seorang novelis Polandia pada tahun 1896. Kita bisa melihat betapa berat dan menderitanya warga Kristen waktu itu yang mati sebagai martir! Film yang menjadi box office dan memenangkan Golden Globe Awards ini sempat pula hadir dan populer di Indonesia sekitar tahun 1960-an. Bila Anda ingin menyaksikan film tersebut sekarang, silakan buka youtube. Banyak versinya, ambil saja yang bahasa Inggris (ketik: film Quo Vadis versi Inggris). Film yang berdurasi sekitar 3 jam ini dibagi dalam 3 video.
Quo Vadis adalah sebuah kalimat dalam bahasa Latin yang berarti: “Ke mana engkau pergi?” Quo Vadis juga diterjemahkan dan/atau diekspresikan dalam bentuk lukisan karya Annibale Carracci pada tahun 1602: “Domine, quo vadis?” atau, “Tuhan, hendak pergi ke mana?” Lukisan ini menggambarkan saat Petrus melarikan diri dari Roma karena penganiayaan sadis pihak penguasa terhadap pengikut Kristus. Di Gang Appia ia berpapasan dengan Yesus yang sedang menuju kota, dan berteriak: “Domine, quo vadis?” Yesus menjawab: “Eo Romam iterum crucifigi” (Aku hendak kembali ke Roma untuk disalibkan lagi). Jawaban Yesus membuat Petrus menyadari panggilannya untuk kembali ke Roma dan menghadapi kematiannya. “Domine, Quo Vadis?” Kalimat ini mengandung makna yang dalam, berkaitan dengan tradisi sejarah gereja. Pertama, kalimat ini merupakan ‘Peringatan’. Petrus seakan-akan mengingatkan Yesus untuk tidak masuk kota, karena ada kerusuhan hebat. Orang Kristen/pengikut Yesus diancam, ditindas bahkan dibunuh secara sadis. Kedua, kalimat ini bukan sekadar sapaan basa-basi, tapi mewakili sifat kepura-puraan manusia. Sudah tahu tapi pura-pura tidak tahu! Langkah Yesus jelas dan tergesa-gesa menuju kota, sedang Petrus terbirit-birit meninggalkan Roma.
“Eo Romam iterum crucifigi.” Tuhan Yesus menjawab dengan tegas dan bersemangat bahwa Dia hendak masuk ke kota Roma untuk mendampingi umat-Nya (dengan sikap militan). Petrus sempat tertegun sekejap, kemudian merasa ditegur. Ia menyadari sikapnya yang pengecut, tidak bertanggung jawab dan mencari kenyamanan serta keamanan sendiri. Ia tersindir, malu, lalu kembali ke Roma. Menurut cerita dalam sejarah gereja, akhirnya ia mati disalib. Sebelum mati, ia berkata bahwa ia tidak layak mati disalibkan dengan kepala di atas seperti Tuhannya, sehingga ia disalibkan dengan kepala di bawah. Petrus mengakhiri kisah hidupnya dengan berani dan militan.
Yesus tidak selalu membela para pengikut-Nya seperti dalam kisah Daniel, di mana singa-singa dibuat jinak, tapi Dia memberi mereka kekuatan untuk tegar menghadapi penganiayaan yang dilakukan oleh penguasa zaman itu. Yesus mati-matian membela para pengikut-Nya, dan kini Dia juga membela kita, Anda dan saya!
Mari kita lihat lukisan Annibale Carracci ini dengan lebih jeli. Lukisan tersebut menggambarkan perbedaan antara Yesus dan Petrus. Yesus berjalan memanggul salib, dengan kondisi pakaian yang serba minim, namun tegar. Sementara Petrus, berpakaian lengkap, bahkan cenderung mentereng dan mewah. Yesus berjalan menuju ke kota Roma, yang jelas-jelas sedang dalam situasi kacau-balau karena orang Kristen dianiaya dengan kejam. Penderitaan ada di mana-mana, tetapi Yesus tetap melangkah memasuki kota Roma untuk membela para pengikut-Nya, sementara Petrus justru hendak melarikan diri dari sana. Perjalanan Yesus menuju Roma dengan berpakaian sederhana menggambarkan “jalan Salib”. Jalan itu tidak menyenangkan, tetapi tetap dijalani-Nya karena taat kepada kehendak Bapa. Sementara pakaian Petrus menggambarkan kenyamanan dan kemapanan. Ketika penderitaan datang, ia tidak taat dan berusaha lari dari kenyataan, dari “jalan Salib” yang harus dijalaninya.
Tulisan ini mengajak kita untuk berefleksi bersama, baik sebagai individu maupun sebagai persekutuan/jemaat (GKI PI khususnya), apa yang menjadi kehendak Tuhan bagi kita dalam mengikut Dia. Kita diajak untuk menghayati pertanyaan Petrus terhadap Tuhan Yesus, “Quo Vadis Domine: Hendak Ke mana, Tuhan?” Dengan demikian, kita tidak melangkah berlawanan dengan kehendak Tuhan.
Dalam kehidupan kita saat ini, gambaran tersebut masih relevan. Bukankah Petrus menggambarkan kehidupan kita? Kita sering kali tergoda dan terjebak di dalam kenyamanan dan kemapanan sehingga ketika kita harus menjalani “jalan Salib”, kita berusaha lari menjauhinya. Namun, ‘perjumpaan’ Petrus dengan Tuhan Yesus mengingatkan kita juga bahwa Tuhan Yesus ingin kita tetap menjalani “salib” itu. “Quo Vadis Domine” mengingatkan kita bahwa kita harus selalu bertanya apakah kita sudah searah dengan Tuhan dalam perjalanan hidup di dunia ini. Menjadi pengikut Tuhan tidak selalu berarti mengerti semua kehendak Tuhan. Namun, bukankah dengan tidak mengerti, kita seharusnya makin mendekat kepada-Nya?
Saya berharap bahwa “Quo Vadis Domine” ini akan terus terngiang di dalam hati kita agar kita tidak pernah lupa mengoreksi dan merefleksi diri apakah arah hidup kita tidak berlawanan dengan kehendak-Nya. Jalan Salib tidak pernah menyenangkan. Tidak ada seorang pun yang berani menjalaninya tanpa anugerah dan pimpinan Tuhan. Saya mengharapkan kekuatan dan anugerah-Nya agar jalan salib yang harus kita tempuh bersama dalam satu persekutuan gereja ini tidak pernah diingkari: “Domine, quo vadis?”
>> Nia gatugapan/ 3138
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.