Puasa: Laku Spiritual di Masa Prapaska

Belum ada komentar 138 Views

Dalam perjalanan hidup sebagai seorang Kristen, pernahkah kita berpuasa? Meskipun puasa sudah tidak asing dipraktikkan oleh umat Allah pada masa lalu, tetapi tak jarang kita mendengar argumen bahwa puasa bukanlah untuk umat Kristen, karena tidak terdapat satu ayat pun di Alkitab yang mewajibkan puasa.

Dewasa ini, di tengah tekanan hidup yang berat, makanan merupakan salah satu solusi efektif untuk menghilangkan stres. Realitas ini ditandai dengan maraknya promosi “wisata kuliner” di banyak media serta perkembangan bisnis yang didukung oleh teknologi digital, informasi, dan komunikasi yang memberi kemudahan akses ke berbagai jenis hidangan lezat, siap diantarkan ke konsumen hanya dengan pemesanan melalui perangkat laptop atau gawai. Semua ini merupakan kemajuan yang Tuhan izinkan dalam peradaban umat manusia, tetapi jika tidak terkendali, terjadi banyak kasus obesitas dan penyakit kronis karena ketidakmampuan seseorang mengendalikan hasrat makan yang terus meningkat (rakus, bahasa Inggris: gluttony), dan merupakan salah satu dari tujuh dosa mematikan dalam Katekismus Gereja Katolik.

Puasa: Apa Kata Alkitab?

Umat Israel pada masa Perjanjian Lama menerima perintah berpuasa (bahasa Inggris: self-denial) melalui nabi Musa pada hari Pendamaian (Im. 23:27), sementara para rasul Tuhan Yesus, Paulus dan Barnabas, melakukannya ketika menetapkan penatua-penatua bagi jemaat yang mereka kuatkan (Kis. 14:23). Tuhan Yesus sendiri berpuasa tidak makan dan minum selama 40 hari (Mat. 4:2), sehingga secara teologis, puasa merupakan hal yang lazim dilakukan umat Allah, umumnya dalam rangka pengakuan dosa, pertobatan, dan pergumulan hidup. Secara khusus, puasa juga dimaksudkan untuk mendapatkan kekuatan dan anugerah dalam mengemban misi Tuhan, yang juga dipraktikkan oleh Musa (Kel. 34) dan Elia (I Raja 19).

Pada umumnya, praktik puasa dilakukan secara total (tidak makan dan minum) atau secara parsial (tidak makan makanan/minuman tertentu, dan dapat juga dilakukan pada hari-hari tertentu, misalnya Senin dan Kamis oleh orang Farisi). Selain itu, laku spiritual ini dilakukan secara pribadi maupun komunal, berefleksi pada kisah bangsa Israel pada masa sebelum Kristus.

Kritik dalam Praktik dan Pelaksanaan Puasa

Di dalam kitab Yesaya pasal 58, kita dapat melihat kritik Tuhan terhadap bangsa Israel yang saat itu berpuasa dengan melakukan berbagai aktivitas ritual yang bersifat fisik, seperti menundukkan kepala, atau membentangkan kain karung dan abu sebagai alas tidur mereka (Yes. 58:5). Kemudian di ayat-ayat berikutnya, Tuhan menjelaskan makna puasa yang dikehendaki-Nya, yakni supaya umat-Nya membuka belenggu-belenggu kelaliman, melepaskan tali-tali kuk agar memerdekakan orang-orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, memecah-mecahkan roti bagi orang-orang yang lapar, memberi tumpangan bagi orang-orang miskin, dan pakaian bagi mereka yang telanjang, serta tidak menyembunyikan diri dari saudara sendiri (Yes. 58:6-7). Secara gamblang, Tuhan Yesus juga menyampaikan peringatan atas pelaksanaan puasa yang munafik— dengan motivasi untuk dilihat orang lain. Dijelaskan bahwa aksi puasa yang tidak tersembunyi ini telah memperoleh upahnya secara penuh (Mat. 6:16).

Kritik atas pelaksanaan puasa yang keliru juga pernah dilontarkan oleh salah seorang bapa Gereja pada abad ke-4 Masehi, Jerome, khususnya atas kesombongan rohani yang kerap muncul ketika seseorang merasa dirinya lebih baik dari mereka yang tidak berpuasa, sementara rasa lapar dan haus yang dirasakan justru sering membawa pada watak buruk dan emosi/ amarah yang mudah tersulut.

Puasa: Laku Spiritual Kristiani

Dalam konteks umat Perjanjian Baru, umat Kristen tidak secara khusus diwajibkan untuk melaksanakan puasa dengan tujuan memperoleh keselamatan. Darah Kristus telah membayar lunas seluruh utang dosa orang percaya, sehingga tidak ada usaha manusia yang berkontribusi terhadap keselamatan tersebut (Ef. 2:8-9). Dengan demikian, orang-orang percaya telah dimerdekakan dari kewajiban berpuasa sebagai suatu perintah yang bersifat legalisme. Namun karena Tuhan menghendaki orang percaya untuk bertumbuh dalam kasih karunia-Nya dan dalam pengenalan akan Kristus (2 Pet, 3:18), maka umat Allah tidak dapat serta merta mengeliminasi tindakan berpuasa sebagai salah satu dari beragam laku spiritual kristiani, seperti doa, saat teduh, retret, rekoleksi, membaca buku rohani, dan sebagainya.

Puasa dipraktikkan oleh umat Kristen bukan untuk kepentingan puasa itu sendiri—sebagai “suatu keharusan yang membelenggu”, melainkan semestinya menjadi sebuah laku spiritual yang dilakukan dengan kemerdekaan dan sukacita oleh dasar ketaatan, bukan rasa takut. Sebagai salah satu laku spiritual, puasa dipraktikkan bukan untuk kesalehan diri, melainkan untuk memperbaharui kehidupan dengan mengidentifikasikan diri bersama Kristus, termasuk turut ambil bagian dalam penderitaan-Nya (Roma 8:17).

Lebih lanjut, puasa memiliki dimensi transformatif personal yang berpendar pada kehidupan komunal (Yes. 58:6-8), sehingga puasa sebagai laku spiritual merupakan olah batiniah yang berdampak pada peziarahan lahiriah yang transformatif. Gereja selaku komunitas orang-orang percaya yang tergabung dalam tubuh Kristus secara khusus terpanggil menjalankannya.

Puasa dan Masa Prapaska

Secara esensi, Prapaska merupakan undangan pertobatan, sekaligus menjadi pintu penyegaran iman menjelang Hari Raya Paska. Pertobatan ini bersifat personal, yang berdampak pada kehidupan komunal dalam penghayatan tugas perutusan atau missio Dei bagi kehidupan. Masa Prapaska (disebut juga Minggu Sengsara) dimulai pada hari Rabu Abu dan berlangsung selama 40 hari, sebagai kronos (urutan waktu) yang di dalamnya perlu diisi oleh kairos (waktu Tuhan) melalui berbagai laku spiritual.

Secara tradisi, putaran kalender gerejawi ini dilakukan dengan berdoa, berpuasa, dan memberi/ berbagi dengan sesama. Dengan demikian, spiritualitas di masa Prapaska ditandai dengan kontemplasi kerapuhan manusia yang membutuhkan rengkuhan kasih Allah, sehingga puasa menjadi salah satu sarana “detoks spiritual” dari berbagai bentuk kepongahan dan keserakahan, dan untuk selanjutnya umat Allah diundang menuju kesederhanaan hidup.

Pada hakikatnya, puasa merupakan laku spiritual yang bersifat asketik dan mistik sebagai murid Kristus. Kata mistik dalam konsep ini diartikan sebagai suatu bentuk relasi dan kesatuan dengan Tuhan yang memampukan umat-Nya melakukan puasa sebagai bagian dari proses pemuridan setelah memperoleh kasih karunia hidup baru dalam Kristus. Salah seorang bapa Gereja, Antonius, mengingatkan bahwa poros praktik berpuasa adalah Tuhan dan hanya mencari pertolongan Tuhan, bukan kesalehan diri. Sebagai sebuah laku spiritual, puasa diibaratkan sebagai jendela menuju anugerah, berupa transformasi oleh relasi personal dengan Tuhan serta memperbaharui nilai kemanusiaan dengan saling berbagi, misalnya melalui salah satu aksi Paska di akhir masa pandemi COVID-19— Lumbung Ketahanan Pangan Jemaat (LKPJ), di mana puasa membangun solidaritas dengan merengkuh kerapuhan dan merayakan kemanusiaan. Dalam perspektif spiritualitas, kerapuhan menjadi suatu realitas membangun kekuatan iman. Sebagai kesimpulan, puasa merupakan proses pelatihan dalam mengendalikan diri dari kerakusan dan hawa nafsu, membuat skala prioritas, menghayati apa artinya “cukup”, serta merajut kesalehan personal dan komunal yang berkelindan.•

Diambil dari Webinar Teoducare “Puasa: Laku Spiritual di Masa Pra-Paska”

Pdt. Stefanus Christian Haryono, MACF., Ph.D
(Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta)

Dirangkum oleh Glenda Tobing

 

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Teologia
  • Allah yang Menghadirkan Diri
    Kehadiran sesama dalam hidup kita merupakan faktor yang sangat berharga, karena setiap orang penting bagi yang lain, baik dalam...
  • Kasih Terbesar
    Hakikat Penderitaan Yesus Paska, dalam kebiasaan orang Kristen, kurang mendapatkan posisi yang kuat ketimbang Natal dengan segala gemerlap dan...
  • Yesus: Milik Muslim Atau Kristen?
    sebuah dialog untuk menemukan ujung pemahaman bersama dalam perbedaan
    Dialog Antar Iman Hidup bersama dalam perbedaan sebenarnya wajar. Masalah baru timbul manakala perbedaan itu dijadikan alasan untuk tidak...
  • Merengkuh Terang
    Allah Pencipta Terang … dan Gelap Sebagai hal yang diciptakan pada hari pertama (Kej. 1:3), terang memiliki peran yang...
  • Laborare Est Orare
    menyikapi dikotomi ‘berdoa’ atau ‘bekerja’
    ‘Ora et Labora’ Kita mengenal akrab dan sangat memahami idiom yang artinya ‘Berdoa dan Bekerja’ ini. Sebuah prinsip yang...