Hidup beriman bukan dimulai saat seseorang mulai bisa berdoa dan membaca Alkitab, melainkan saat dia mulai merasa, khususnya merasakan cinta yang berlimpah versus rasa sedih, galau dan khawatir dalam hidupnya.
Modal dasar beriman adalah pengalaman dicintai. Ada beberapa cara mencintai anak. Kali ini saya hendak berbagi cerita tentang pengalaman mencintai melalui “bercerita”.
“Waktu Mami masih kecil, Mami suka main bersama teman-teman. Apalagi waktu bulan puasa. Sebelum taraweh, anak-anak tetangga main bersama. Permainan seru yang kami lakukan dari tahun ke tahun yaitu petak umpat. Ada yang ngumpet di atas pohon, ada yang masuk ke ruang tamu rumah. Nanti kalau ada bedug, anak-anak yang berpuasa pulang ke rumah deh. Tinggal Mami, kakak-kakak dan Tante Ersie yang tersisa.”
“Lo… kenapa anak-anak masuk ke rumahnya pas bedug? Mereka Islam?”
“Iya, mereka kan beda agamanya. Jadi setelah mereka buka puasa mereka ke masjid untuk sembahyang.”
Mempercakapkan tentang adanya perbedaan merupakan tantangan tersendiri di tengah beragamnya ras, budaya dan agama di Indonesia. Pembelajaran itu saya ingat, telah dimulai sejak anak saya berusia 4-5 tahun. Pembicaraan di atas terjadi sekitar 5 tahun yang lalu saat dia tahu bahwa Indonesia ini terdiri dari beragam umat beragama.
Apa Hubungan Bercerita Dengan Iman?
Iman adalah proses memercayai Tuhan yang tidak kelihatan, yang hadir dalam kehidupan keseharian kita. Sementara cerita adalah bagian dalam keseharian kita.
Saat seorang bercerita, dia sebetulnya sedang belajar mengalami Tuhan di dalam cerita—pengalamannya. Lebih jauh dari itu, saat seorang anak mendengarkan cerita, dia juga sedang belajar tentang Tuhan yang ada di dalam pencerita. Jadi, cara pandang dan emosi pencerita terhadap apa yang diceritakan juga penting bagi anak.
Melalui cerita di atas saya berusaha menekankan indahnya perbedaan. Masih ada cerita lainnya. Tapi juga, ada saatnya anak saya bercerita.
Misalnya, saat dia duduk di kelas 3 SD. Ia baru tahu bahwa ada teman sekelasnya yang beragama Yahudi.
“Orang Yahudi di sekolahku tidak berdoa sebelum makan, Mami. Anya orang Yahudi. Lalu waktu dia lihat aku berdoa sebelum makan siang bersama di sekolah, dia melarang aku untuk melakukannya lagi. Katanya, kalau aku berdoa sebelum makan, aku bisa ditangkap, karena aku memengaruhi orang lain dengan cara seperti itu.”
“Lalu, apa reaksi kamu?”
“Aku diam saja. Memangnya aku ngga boleh berdoa sebelum makan kalau di sekolah?”
“Boleh. Hanya saja dia terganggu dengan kebiasaanmu itu. Tapi sejauh kamu tidak mengajak orang lain berdoa dengan caramu, dia ngga berhak menegur kamu!”
“Tapi nanti katanya mau dilaporkan ke Kepala Sekolah!”
“Tenang, kalau kamu cerita ke Mami secara jujur dan nanti Kepala Sekolah panggil Mami, Mami akan menjelaskannya kepada Kepala Sekolah!”
Setelah percakapan itu, dengan tenang dia bermain kembali.
Target saya sebagai orangtua saat itu ada 2: Pertama, membuat anak saya tahu bahwa perbedaan itu biasa, hanya saja ada orang yang terusik dengan adanya perbedaan tersebut karena tidak terbiasa. Namun jika kita terbiasa, kita perlu siap menghadapi mereka yang tidak terbiasa. Kedua, jika orang yang tidak terbiasa itu mempermasalahkan perbedaan yang ada, saya sebagai orangtua siap membantu dan mendukung anak untuk menghadapi konsekuensi dari perbedaan itu.
Perbedaan lain yang anak saya hadapi adalah saat dia mengetahui bahwa saya kuliah di Sekolah Teologi di mana kebanyakan mahasiswanya akan melayani Tuhan, bahkan menjadi pendeta.
“Mami, Solip ke gereja mana?”
“Solip tidak ke gereja. Dia seorang sastrawan. Dia di sekolah ini hanya untuk belajar bahasa Ibrani dan Yunani. Dia suka bahasa asli Alkitab.”
“Jadi Solip tidak jadi pendeta?”
“Solip senang menjadi editor buku. Dia mempelajari semua pelajaran di sekolah ini (Sekolah Teologi), sebagai sebuah kesenangan atau hobi. Tujuannya supaya pengetahuannya bertambah saja.”
“Menurut kamu, boleh atau tidak, orang Sekolah Teologi hanya untuk menambah pengetahuannya?”
“Boleh sih. Buktinya Solip bisa. Mami ajak Solip ke gereja dong!”
“Iya, nanti Mami ajak dia lagi. Kemarin setelah dia bilang putus dari pacarnya, Mami juga ajak dia ke gereja. Katanya sih dia berniat ke gereja.”
Diskusi ini berakhir dengan sebuah ajakan dari anak saya. Bukan dia yang melakukannya, tapi justru dialah yang memberi usulan agar saya mengajak orang lain pergi ke gereja.
Di mana letak kehidupan beriman melalui percakapan ini? Percakapan yang melibatkan anak sebagai pelaku sekaligus pemikir dari sebuah masalah atau peristiwa, mengasah kepedulian anak terhadap orang lain.
Kepedulian adalah salah satu bagian dari iman. Iman yang sehat adalah iman yang bukan hanya percaya, melainkan juga melakukan apa yang dipercayainya. Kita bisa saja menyuruh anak pergi ke gereja, tetapi jika dia mempersiapkan pakaian, tas dan dirinya untuk pergi ke gereja, saat itu sangat berharga bagi kita sebagai orangtua untuk menyaksikan “perwujudan” iman yang dimilikinya.
Bukan sekadar melakukan aktivitas agama atau ritual Kristen saja yang menjadi bagian penting dari iman. Justru di balik ritual itulah makna yang sesungguhnya dari beriman. Beriman berarti memahami bahwa ritual adalah cara untuk menunjukkan iman dan bukan inti dari beriman. Saat anak, dari hatinya yang paling dalam menyadari pentingnya ritual, maka di situlah dia telah belajar untuk beriman.
Telling Stories atau bercerita, merupakan metode yang sangat efektif untuk mengajarkan anak tentang hidup beriman. Kalau kita lihat, sebagian dari isi Alkitab juga merupakan cerita. Selama sekitar 20 tahun, Walter Brueggemann juga menaruh perhatian pada pentingnya literasi untuk membangun pendidikan iman anak, khususnya melalui bacaan-bacaan rohani, karena melalui tokoh-tokoh Alkitab itulah anak dapat belajar mengaitkan hidupnya sendiri dengan tokoh-tokoh itu.
Kini, siapa tokoh di dalam hidup anak yang akan bercerita? Secara sadar maupun tidak, dialah yang akan menjadi pendidik iman anak itu. Semoga Saudaralah, sebagai orangtua, yang menjadi pendidik iman anak Saudara!•
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.