Pojok Parenting: MAMA! PAPA! AKU TAKUT!

Belum ada komentar 107 Views

“Jadi anak itu, JANGAN TAKUT!”
Pernahkah Anda mengatakan kalimat di atas, saat anak Anda takut? Saat ia tidak bisa tidur pada malam hari, dan kita berkata, “Berdoa saja! Jangan takut!” atau saat ia takut memasuki sekolah barunya, dan kita berkata, “Masak anak Mama takut!” Bahkan saat mengikuti ujian kelulusan, saya pernah mendengar orangtua yang berkata kepada anaknya, “Kalau kamu takut berarti Tuhan tidak bersamamu!”

Benarkah Demikian?
Waktu murid-murid di dalam kapal, apakah Tuhan Yesus tidak bersama mereka? Ada! Dia ada di sana saat mereka menghadapi angin kencang (Markus 4:35-41). Namun, di manakah Dia? Mengapa angin ribut masih tetap menerjang jika Tuhan Yesus berkuasa atasnya? Oh, rupanya Dia tidur, sehingga muncullah pernyataan, “Tuhan tidur.”

Surat kabar The Daily Mail melaporkan (28/2) bahwa Paus Joseph Ratzinger dari Jerman pernah berpikir bahwa Tuhan tampak sedang tertidur. Apakah benar demikian? Dalam bahasa Inggris, kata “tidur”—sleep—berasal dari kata Jerman, schlafen. Ini terjadi karena manusia lelah dan memiliki kerenggangan otot, bukan hanya fisik, melainkan juga mental. Bisa jadi Yesus lelah secara fisik dan mental dalam kemanusiaannya. Namun itu bukan berarti bahwa tidur adalah tanda bahwa Dia tidak peduli pada angin ribut yang melanda, bukan?

Niat Markus di pasal 4:35-41 sebetulnya hendak mempertegas bahwa kehadiran Yesus di kapal adalah tanda adanya otoritas ilahi di dalam kekacauan alam. Otoritas Yesus juga ada atas penyakit kusta (1:40- 45), pengampunan dosa (2:1-12), dan banyak lagi lainnya. Ini semua memperkenalkan pembaca pada identitas Yesus yang adalah Anak Allah.

Namun, sekalipun murid-murid sudah mengetahui siapa Yesus dalam perjalanan pelayanan-Nya bersama mereka—khususnya di dalam peristiwa “angin ribut”— mereka masih kurang mengenal siapa Dia sebenarnya. Padahal mereka telah mengikuti-Nya berkeliling dan mendengarkan ajaran-Nya. Ini berarti bahwa mereka membutuhkan pengalaman iman bersama Yesus, yang adalah Allah yang penuh cinta pada setiap pribadi pengikut-Nya.

Jadi, tentu saja anak-anak kita tidak otomatis menjadi pengikut Kristus tanpa perjumpaan pribadi dengan-Nya di dalam setiap kesulitan dan kebaikan yang mereka alami. Karena itu, kalimat “Jangan takut!” tidak melulu memiliki kekuatan yang otomatis mengubah anak-anak kita.

Lalu Bagaimana?
Apa yang dapat kita lakukan saat anak kita takut? Bukankah Tuhan juga mengingatkan kita, “Jangan takut!” (Yes. 41:10) atau “Janganlah hendaknya kamu khawatir tentang apa pun…” (Fil 4:6)?

Kalimat “Jangan takut” rupanya dilontarkan Tuhan kepada orang dewasa, dan bukan kepada anak-anak, karena pengalaman masa kanak kanak sering masih tersisa dalam diri manusia dewasa (inner child). Itu sebabnya tidak heran jika Tuhan— sebagai Bapa yang penuh kasih— berkata kepada orang dewasa, “Jangan takut!” Selain para murid atau umat Tuhan sudah mengalami besarnya cinta Tuhan kepada mereka, mereka juga merupakan saksi mata kebesaran dan kekuatan-Nya yang mengatasi rasa takut mereka. Bagai anak yang percaya kepada bapanya yang penuh kasih, ia akan memeluk sang bapa untuk melindunginya saat takut.

Itu sebabnya saya membayangkan bahwa pernyataan Yesus saat berkata, “Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?” (Markus 4:30), bukan datang dari orang yang sedang marah kepada orang lain karena mengganggu tidurnya. Atau pemimpin yang marah karena anak buahnya tidak percaya kepadanya. Yesus mengatakannya sebagai seorang Bapa yang penuh kasih memeluk anak-Nya, atau dalam gaya bahasa akrab berkata kepadanya, “Sini… sini… enggak apa apa kok angin bertiup sangat kencang. Kan ada Papa! Ayo mendekat dan jangan takut lagi ya?”

Begitukah kita memeluk anak kita saat ia takut? Dengan tetap memahami perasaan takutnya, karena ia belum pernah melewati pengalaman itu dan sehingga ia segera datang kepada kita. Dan begitu ia menunjukkan keterbukaan dan ketergantungannya kepada kita, maka dengan rengkuhan yang penuh cinta kita kembali memeluknya.

Bagaimana Dengan Kita?
Pertanyaan ini sebetulnya bergantung pada seberapa dekat kita mengenal anak kita. Apakah ia takut karena malas mengerjakan suatu hal, atau karena tidak berdaya, atau karena tidak percaya diri? Ketiga alasan ini tidak bisa diperlakukan sama, tidak tahu bagaimana mengatasinya, sehingga pengenalan terhadap anak kita masing-masinglah kuncinya. Kenalilah perasaan setiap anak dan mengapa ia melakukannya, barulah kita sebagai orangtua dapat menemukan cara untuk menolong dan menghiburnya.

Selamat memeluk anak-anak kita dalam damai berdasarkan pengalaman kita atas pelukan Bapa yang penuh kasih itu!•

|PDT. RIANI J. SUHARDJA

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori anak