Pak Pendeta yang baik,
Perkenankan saya bertanya:
- Apa dasar pertimbangan GKI Pondok Indah membuka diri untuk memberkati pernikahan pasangan yang berbeda agama?
- Adakah komitmen atau janji-janji tertentu dalam prosesnya sehingga hal itu bisa dilangsungkan?
- Saya bukan sedang mau menikah beda agama, tapi tentunya terjadi pro dan kontra di antara jemaat dalam menanggapi pernikahan beda agama ini. Bagaimana sikap gereja menghadapi hal itu?
- Apakah GKI lain juga melakukan hal serupa?
Terima kasih atas perhatian dan jawabannya. (Romulus B.)
Jawab:
Saudara Romulus yang baik,
Dalam Tata Laksana GKI pasal 31 diatur tentang pernikahan dengan ketentuan khusus, termasuk di dalamnya pernikahan beda agama. GKIPI, sebagai bagian dari GKI, membuka diri untuk memberkati pernikahan pasangan yang beda agama karena pernikahan beda agama memang dimungkinkan terjadi di GKI, sesuai dengan aturan Tata Laksana tersebut. Namun GKIPI membuka diri terhadap pernikahan beda agama bukan semata karena adanya aturan tersebut. Dalam pergumulan imannya, GKIPI melihat:
- Pasangan yang berbeda agama adalah fakta yang terjadi. Dan pasangan ini harus ditolong. Dalam rangka menolong, maka pernikahan beda agama tidak serta merta bisa terjadi di GKIPI. Pasangan yang berbeda agama harus melewati percakapan pastoral dengan 2 pendeta. Hasil dari percakapan pastoral inilah yang menentukan apakah pasangan tersebut bisa diberkati pernikahannya di GKIPI. Dan karena harus melewati percakapan pastoral, maka berarti salah satu pasangan harus anggota GKIPI karena GKIPI tidak mungkin melakukan percakapan pastoral khusus dengan anggota gereja lain. Percakapan pastoral ini menjadi penting justru dalam rangka menolong. GKIPI sungguh menyadari bahwa pernikahan dengan satu agama saja ada banyak faktor penyulit, apalagi dengan nikah beda agama. Dan karena tujuannya adalah menolong, maka pasangan ini harus dipersiapkan untuk menghadapi pernikahannya tersebut melalui percakapan pastoral. Selain itu, pasangan ini juga wajib mengikuti bina pranikah yang memang menjadi prasyarat untuk sebuah pernikahan yang dilaksanakan di GKI.
- GKIPI sungguh mempergumulkan landasan pernikahan beda agama dari sisi Firman Tuhan. Dalam pergumulannya, GKIPI melihat bahwa pernikahan beda agama ada di dalam Alkitab, bahkan menjadi sebuah kitab tersendiri, yaitu pernikahan antara Ratu Ester dengan Raja Ahasyweros. Pernikahan Ratu Ester ini justru menjadi berkat buat seluruh rakyat Israel yang berada dalam penindasan Haman. Semua itu ada dan tertulis dalam kitab Ester. Karena itu, sepanjang pernikahan beda agama ini justru bisa menjadi berkat buat pasangan tersebut dan buat lingkungan mereka, maka dalam semangat untuk menolong, GKIPI membuka diri terhadap pernikahan beda agama.
- GKI melihat bahwa pernikahan itu bukanlah sebuah sakramen, dan karena itu pernikahan beda agama dimungkinkan terjadi.
- Dari sisi UU penikahan, pernikahan beda agama tidak sepenuhnya tertutup, karena berdasarkan keputusan pengadilan atau pernikahan di luar negeri, pernikahan beda agama bisa diterima.
Nah, itulah yang menjadi dasar pertimbangan mengapa GKIPI membuka diri untuk memberkati pernikahan beda agama. Tentu bukan berarti bahwa GKIPI menganjurkan pernikahan beda agama. Sama sekali tidak! Karena itulah aturan pernikahan beda agama diatur dalam peraturan khusus. Pendekatan yang dipakai lebih pada pendekatan pastoral dan upaya menolong pasangan yang berbeda agama.
Bahwa ada pro-kontra adalah bagian dari dinamika kehidupan berjemaat. Pro-kontra tidak bisa dihindari dalam kehidupan berjemaat, khususnya di GKI, dan itu adalah risiko dari keterbukaan GKI untuk menerima anggota dari berbagai denominasi. Tidak sedikit anggota jemaat yang sudah menjadi anggota GKI, ternyata masih membawa aturan gereja mereka yang lama dan ingin menerapkannya di GKI. Dan karena itu pro-kontra dalam kehidupan berjemaat bukan hanya terjadi dalam hal pernikahan beda agama, melainkan juga dalam banyak hal lainnya. Saya sungguh berharap dengan penjelasan ini, pro-kontra soal nikah beda agama dapat segera diakhiri, karena pada dasarnya pernikahan beda agama ini adalah peraturan khusus, jadi jangan dikaitkan dengan aturan umum yang tentu berbeda.
Salah satu yang membedakan, selain harus menjalani percakapan pastoral, pasangan yang berbeda agama harus membuat perjanjian dengan formulir khusus yang isinya adalah:
- Bersedia dinikahkan di GKI dan tidak ada ‘acara pernikahan berdasarkan agama lain’ selain yang sudah berlangsung di GKI.
- Tidak akan menghambat pasangannya untuk tetap menjadi anggota GKI dan melayani di GKI.
- Bersedia anak-anaknya dididik secara kristiani sesuai ajaran GKI.
Nah, apakah GKI lain melakukan hal serupa? Sebagai anggota GKI, mestinya GKI lain juga wajib memberlakukan Tata Laksana GKI pasal 31 sebagai aturan yang disepakati bersama di GKI. Bahwa ada GKI lain yang tidak memberlakukan pernikahan beda agama, saya katakan ada! Mungkin bisa ditanyakan ke gereja GKI tersebut, mengapa mereka tidak memberlakukan aturan yang telah disepakati bersama, yaitu Tata Laksana GKI pasal 31? Lalu bagaimana caranya mereka menolong anggota mereka yang faktanya berpasangan dengan calon yang berbeda agama? Demikian jawaban saya, semoga membantu.
>> Pdt. Rudianto Djajakartika
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.