Pak Pendeta Yth,
Apakah perjanjian pranikah atau juga disebut dengan perjanjian harta terpisah yang dibuat sebelum pernikahan oleh pasangan di depan Notaris dan kemudian disahkan di Catatan Sipil itu bertentangan dengan Alkitab? Sebagian orang yang berpegang pada Mat. 19:6, “Karena itu apa yang dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia”, dan Kej. 2:23, “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku” menganggap bahwa perjanjian pranikah itu tidak baik, karena bukan merupakan persatuan yang dikehendaki Tuhan. Namun ada juga yang berpendapat bahwa perjanjian ini melindungi pernikahan itu kelak ketika dalam perjalanannya terjadi kebangkrutan dalam usaha, kematian dan pembagian harta warisan, atau perceraian.
Terima kasih atas penjelasan Bapak.
(Indriani)
Jawab:
Sdri. Indriani yang baik,
Disadari atau tidak, setiap pasangan yang akan menikah pasti ‘membuat perjanjian’ di antara mereka. Entah ingin anak berapa, model pengaturan keuangan rumah tangga seperti apa, dan banyak lainnya. ‘Perjanjian’ itu dilakukan secara informal, hanya dalam bentuk percakapan di antara mereka berdua. Nah, perjanjian yang bersifat informal ini bisa diformalkan dalam bentuk perjanjian pranikah.
Jadi perjanjian pranikah bukan hanya ‘perjanjian pisah harta’ saja, meskipun yang populer mungkin itu. Pada hakikatnya semua perjanjian informal yang dibuat pasangan bisa dimasukkan ke dalam perjanjian pranikah. Pertanyaannya, mengapa yang informal harus diformalkan dan dilegalkan? Bukankah cukup ‘saling percaya’ saja?
Betul! Pernikahan harus dilandasi oleh ‘saling percaya’ di antara pasangan itu. Karena itu, meskipun bisa, tidak semua yang informal harus dimasukkan dalam perjanjian pranikah. Masalahnya, lembaga pernikahan adalah ‘produk hukum’ sehingga punya konsekuensi logis hukum dalam hal tertentu dan kasus hukum tertentu. Nah, untuk mengantisipasi ‘keruwetan hukum’ di masa kemudian, maka pasangan yang akan menikah bisa saja membuat perjanjian pranikah. Untuk pasangan yang punya rencana berwiraswasta, biasanya membuat perjanjian pisah harta, untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan dalam usahanya. Misalnya terjadi likuidasi kebangkrutan, maka yang dilikuidasi hanyalah harta salah satu pasangan. Harus diakui, bahwa perjanjian pranikah juga bisa mengantisipasi terjadinya perceraian. Misalnya ‘hak pengasuhan anak’. Hal inilah yang tidak disetujui oleh sebagian anak Tuhan, selain pemahaman tentang ‘kesatuan dalam pernikahan’.
Lalu bagaimana? Karena kita sudah melibatkan hukum dalam pernikahan, maka memakai produk hukum tertentu untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, menurut pemahaman saya, sah-sah saja. Tentu, tujuannya adalah untuk menyelamatkan keluarga, bukan mengantisipasi perceraian. Karena itu kita perlu mengkritisi butir apa saja yang bisa kita masukkan dalam perjanjian pranikah.
Bagaimana perjanjian pisah harta dengan pemahaman kesatuan pernikahan dalam Alkitab? Bagi saya, pemahaman kesatuan dalam pernikahan adalah soal komitmen dan ketaatan kita kepada Tuhan. Sedangkan perjanjian pisah harta adalah soal komitmen kita di depan hukum. Dua hal yang tidak serta merta bisa disejajarkan dan dibandingkan. Yang penting tujuannya harus baik, bukan mengantisipasi perceraian. Ini adalah soal hati nurani dan tanggung jawab kita kepada Tuhan.
Pdt. Rudianto Djajakartika
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.