“Tuhanku, Bapaku, membimbing aku melalui kata-kata yang terucap dalam doaku sendiri kepada Bapaku.”
Entah bagaimana, pada saat-saat itu, di saat saya berdoa kepada Bapa, “makna” Roh Kudus, Oknum Ketiga itu, begitu penting dan mengagumkan. Dahsyat di dalam otak dan hati saya. Makin lama, makin mendalam. Ada rasa terkejut, rasa menyala-nyala yang tak dapat saya pahami. Saya merasa takut. “Allahku, layakkah aku?”
Hampir dalam setiap berdoa saya menangis mendambakan hikmat dari Bapa akan makna semua itu. Semua muncul begitu saja dalam doa saya mengenang kasih dan kesetiaan Kristus yang begitu dahsyat kepada manusia berdosa, termasuk saya.
Ketika Kristus hendak naik ke sorga, seolah-olah Juru Selamat itu “worried” untuk meninggalkan murid-murid-Nya, meninggalkan saya tanpa ada yang melindungi, seperti yatim-piatu. Juru Selamat meminta kepada Bapa, dan Bapa dalam kasih-Nya yang tiada tara memenuhi permintaan Sang Juru Selamat, anak-Nya dan memberi Roh Kudus, Pemimpin Sejati, Penghibur Yang Benar, Guru Agung itu, untuk berdiam di hati orang berdosa yang telah diselamatkan, termasuk di hati saya.
Saya merasa “ngeri” dan memohon dengan gemetar agar hendaknya Bapa memberi hikmat untuk memahaminya.
Semuanya menjadi gelap
Pada hari itu, Sabtu 25 Mei 2003 sekitar pukul 08:30 WIB, anak saya tercinta, David Alexander Basar Muliana Siahaan, menelpon saya:
“Mama sehat? Kemana rencana mama hari ini?” Dia memang biasa menelpon pada pagi maupun malam hari agar selalu dapat mengetahui keadaan ibunya.
“Pagi ini mama tidak ke mana-mana, cuma nanti mau latihan koor wilayah. Don’t worry, mama pergi bersama teman-teman, dan kau ke mana sayang,” saya balik bertanya.
“Ke BSD, Ma, latihan untuk lomba balap mobil/rally besok. Kita mesti menang!” katanya di seberang sana.
Seperti biasa, dia selalu menunjukkan optimismenya. Telah menjadi sikapnya, jika saya mempunyai kegiatan ke luar rumah pagi hari dan kalau tidak mengganggu program kerjanya, anak saya akan selalu berkata: “Tunggu, nanti saya antar Mama!”
Saya tidak dapat menolaknya, meski sebenarnya tak perlu baginya untuk mengantar, sebab saya tahu betul sifatnya karena dia tidak suka kalau uluran tangannya ditolak.
Sebelum mengakhiri percakapan telpon itu, saya masih berucap: “Hati-hati sayang!”
“Beres, Ma, kita pasti menang!” katanya penuh keyakinan.
Setiap anak saya mau pergi balap mobil/rally, hati saya selalu kecut. Saya tak suka akan hobby-nya itu, karena itu hobby yang berisiko tinggi.
“Ahh, Mama! Mama kan suka berdoa. Kalau Tuhan mau panggil kita, waktu tidurpun kita dapat diambil-Nya,” begitu jawabnya jika saya mengutarakan kekhawatiran saya.
Dan memang, setiap dia menjalani hobby-nya itu, saya akan terus-menerus berdoa dan pernah sampai-sampai bos saya di kantor mengira saya mengantuk atau tertidur, pada hal saya sedang berdoa.
Begitulah, sekitar pukul 11:30 WIB, saya menerima telpon dari salah seorang teman anak saya:
“Tante, Alex kecelakaan dan kini dibawa ke RS A.A. Sobirin di BSD!”
Saya segera bergegas untuk menuju ke RS Sobirin, namun beberapa saat sebelum berangkat, telpon berdering lagi dari teman anak saya tadi, yang mengatakan:
“Tante, Alex sudah tiada! Tante jangan ke RS lagi, ke rumah Alex saja. Di sana tante tunggu, sebab sekarang Alex sedang dimandikan dan akan terus kami bawa pulang!”
Semua menjadi gelap. Apa yang saya khawatirkan selama ini, kini menjadi kenyataan. Hancur segalanya. Saya berdiri kaku seperti patung dan tak tahu harus berbuat apa. Gemetaran dan merasa tak berdaya lagi.
Saya menjerit kepada Tuhan, Bapaku!
“Tio yang malang, Tio yang malang, kini tinggal seorang diri hidup di dunia,” kata hati kecil saya.
Akhirnya saya sadar dan segera bergegas berangkat ke rumah anak saya dengan badan terasa terus bergemetaran.
Di saat menantikan kedatangan jenazah anak saya, saya memohon kepada Pdt. Joas Adiprasetya yang saya minta untuk datang ke situ untuk mendoakan saya.
“Pak Joas, doakan saya! Saya merasa gelap betul. Rasanya saya berada di awang-awang yang gelap sekali, tak dapat berpijak, tak dapat berpegang. Saya ditinggal sendirian, saya tak tahu dan tak dapat berdoa kepada Bapa. Saya merasa pahit sekali. Doakan saya Pak Joas. Saya mau ikut bersama anak saya!”
Pdt. Joas kemudian mengiyakan permohonan saya tersebut, dan beliau berdoa kira-kira seperti berikut ini:
“Bapa yang di sorga, yang Maha Pengasih, saya kenal ibu ini. Saya tidak lebih beriman dari dia. Kepercayaan saya tidak lebih besar dari ibu ini. Jika kejadian yang dialaminya ini terjadi pada saya, sayapun tidak tahu mau mengatakan apa. Ya Bapa, Roh Kuduslah yang mengungkapkan kepada Bapa. Semua yang tak mampu kami ungkapkan kepada Bapa, biarlah Roh Kudus yang menyampaikannya kepada Bapa. Kami mohon pertolongan Bapa!”
Mendengar Pdt. Joas menyampaikan kata-kata Roh Kudus dalam doa tersebut, saya sangat terkejut dan sadar bahwa walaupun saya tak tahu harus bagaimana berdoa saat itu, Roh Kudus yang ada di dalam diri saya akan menyampaikannya kepada Bapa. Semua kepahitan yang tak dapat saya ungkapkan, semuanya akan disampaikan oleh Roh Kudus kepada Bapa. Saya merasa “terhibur”, karena Bapa tahu semua yang saya alami.
Sekarang saya mengerti bimbingan Bapa kepada saya melalui kata-kata dalam doa saya kepada Bapa, seperti yang terungkap di atas.
Kini Alex telah pergi. Bapa telah memanggil anak-Nya itu. Dan semakin lama saya semakin mengerti dan bersyukur kepada Bapa, Allah Tritunggal, karena saya telah dipilih Bapa menjadi ibu duniawi bagi Alex. Bapa mengaruniakan anak-Nya itu dalam sukacita kehidupan saya sebagai ibu selama 39 tahun masa hidup anak saya.
Kami merayakan ulang tahun perkawinannya yang ke-4 pada tgl 19 Mei 2002, merayakan hari ulang tahun kelahirannya yang ke-39 pada tgl 23 Mei 2002 dan Bapa memanggil kepangkuan-Nya tgl 25 Mei 2002.
“Selamat jalan anakku. Selamat melayani Tuhan, Bapa kita di sorga sekarang, sampai kita bertemu di pangkuan Bapa kelak, sebab itulah doa Mama selalu. Tuhan, apapun cara Bapa, aku dan anakku akan sama-sama berada di pangkuan Bapa kelak!”
Ibu Tio M. Manihuruk
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.