Pertama kali kami berjumpa dan berkenalan adalah ketika pada suatu kali, sekitar tiga tahun yang lalu, saya diundang untuk memimpin kebaktian di jemaat GKI Diponegoro Surabaya.
“Selamat siang Pak Purboyo, saya Rachmat, penatua di sini. Saya yang ditugasi untuk menjamu Bapak selama menjadi tamu kami,” ujarnya ramah seraya menjabat tangan saya dengan erat.
Sejak itu dalam berbagai pertemuan, walau rentang waktunya renggang, kami kian baik mengenal satu sama lain. Saya seorang pendeta dan Pak Rachmat seorang pengacara yang amat aktif dalam pelayanan di gereja, juga dalam profesinya sebagai pengacara. Saya pikir, perekat kami adalah percakapan kami, yaitu pertukaran pikiran di sekitar pelayanan gereja yang kerap berada dalam panjang gelombang yang sama. Mulai dari tugas-tugas penatua dan pendeta, hingga kiat membangun jemaat kami percakapkan dengan seru, setiap kali berjumpa. Dan tentunya tidak boleh dilupakan bahwa diskusi kami biasanya dilakukan di rumah makan.
Seiring dengan kian dekatnya kami, pengenalan kami akan masing-masing pun kian merasuk ke ranah profesi bahkan pribadi.
“Istri saya berkantor di dekat rumah kami, di kantor notaris yang tadi kita lewati itu. Padahal sebenarnya ia seorang ekonom…” jawabnya atas pertanyaan saya mengenai pekerjaan istrinya.
“Maksud Pak Rachmat, ia yang memegang keuangan di situ?”
“Sebenarnya tidak sih. Istri saya seorang notaris…”
“Jadi ia studi hukum dong…?” tanya saya dengan heran.
“Ceritanya panjang Pak… Ia memang studi hukum lalu melanjutkan ke notariat. Dia selalu nomor satu di kelasnya, sehingga selalu mendapat beasiswa…” jawab Pak Rachmat sambil senyum renyah mengenang masa-masa indah di awal pernikahan mereka yang penuh perjuangan.
“Kalau Pak Pur sendiri bagaimana? Ibu, anak-anak…?” balasnya bertanya yang saya jawab dengan senang hati.
“Tetapi kembali ke profesi Ibu dan Pak Rachmat, berarti profesi kalian bisa saling mengisi dengan enak ya?”
“Wah, jarang sekali, Pak. Kan dunia kami berbeda sekali. Kadang-kadang memang saya membutuhkan jasa notaris untuk kasus tertentu. Tetapi jarang sekali.”
“Di jemaat bagaimana pelayanan kalian, Pak?”
“Ya ini yang kerap menjadi persoalan kami. Sekarang saya memang sudah bukan penatua lagi karena masa pelayanan saya sudah habis. Tetapi sekarang istri saya diminta menjadi penatua. Jadinya kami rasanya lebih banyak di gereja ketimbang di rumah bersama anak-anak.”
“Pak Rachmat juga masih aktif di bidang lain?”
“Ya di sekitar organisasi biasanya… Tetapi saya juga kerap diminta untuk memimpin bina pra-nikah, khususnya dalam aspek hukum dari pernikahan.”
“Wah, menarik, Pak.”
Pak Rachmat seorang pengacara, namun ia memilih berkonsentrasi pada perkara perdata ketimbang pidana.
“Mengapa, Pak?” tanya saya.
“Lebih santai yang perdata, Pak Pur. Tetapi sesekali saya menangani juga perkara pidana.”
“Oh… kalau perkaranya menarik buat Pak Rachmat…?”
“Ha ha ha… enggak lah Pak. Saya hanya mau melakukannya bila sang terdakwa benar-benar membutuhkan seorang pembela yang membela hak-haknya. Biasanya hal itu terjadi atas permintaan pengadilan bagi terdakwa yang membutuhkan pembela, atas biaya negara.”
Kemudian ia sempat menceritakan dua kasus pidana berat yang dibelanya.Yang pertama adalah kasus yang menurut Pak Rachmat sempat gencar diberitakan di koran. Kasus seorang ibu yang ketika memandikan anak angkatnya, tanpa sengaja menjatuhkan si anak, sehingga akhirnya meninggal dunia. Si ibu kemudian dituntut, dengan dakwaan kekerasan.
“Dalam kasus ini saya benar-benar mencari menang. Karena dakwaannya tidak masuk akal, dan saya percaya si ibu tidak melakukannya.”
“Bagaimana Bapak yakin?”
“Oh itu harus terlebih dahulu saya pastikan. Sebab hal itu kemudian yang menentukan arah pembelaan saya, Pak.”
“Dan si ibu bebas, Pak?”
“Atas berkat Tuhan, karena ia memang tidak bersalah.”
“Bagaimana dengan kasus yang kedua, Pak?”
“Wah yang kedua amat berat dan berbeda sekali.”
“Berbeda bagaimana, Pak?”
“Si terdakwa memang bersalah, Pak Pur, jadi arah pembelaan saya benar-benar hendak mendampinginya agar selama proses peradilan, ia diperlakukan secara adil dan hak-haknya terjamin.”
Kemudian dengan bersemangat Pak Rachmat menceritakan kasus perdananya yang kedua, yang menyangkut seorang perempuan muda berasal dari Thailand, bernama Chiang cream. Ia tertangkap di bandar udara Juanda Surabaya karena berusaha menyelundupkan heroin seberat 2 kilogram yang disembunyikan di lapisan dinding kopornya.
“Karena pembela yang mula-mula ditunjuk mengundurkan diri, sayapun dipanggil. Setelah mempelajari kasusnya saya bersedia membelanya.”
Tidak lama setelah ditetapkan sebagai pembelanya, Pak Rachmat mengunjungi Chiangcream di rumah tahanan perempuan. Ternyata Chiangcream adalah seorang perempuan yang amat sopan halus, dan baik, sehingga disukai oleh teman-temannya di rumah tahanan itu. Ia adalah seorang ibu muda dengan seorang anak perempuan berumur belum genap 10 tahun, yang ditinggalkan suami untuk hidup dengan wanita lain. Ia dan keluarganya terbelit oleh kesulitan keuangan, sehingga ia sempat bekerja sebagai pekerja seks komersial, dan akhirnya bersedia menjadi kurir narkoba.
Dan bukan hanya itu karena ternyata Chiangcream adalah seorang Kristen.
“Sedih saya, Pak Pur… Tetapi nasibnya memang tragis. Dan barangkali karena ia seorang Kristen maka saya yang ditunjuk untuk membelanya.”
“Kenyataan bahwa ia seorang Kristen lebih memudahkan Pak Rachmat untuk membelanya?”
“Tidak, Pak. Kalau saya sudah mau membelanya, siapapun dia, apapun agamanya akan saya bela dengan segala daya.”
”Maaf Pak Rachmat. Maksud saya bukan menganjurkan Anda untuk memilih bulu, tetapi ingin tahu apakah kenyataan itu memudahkan Anda dalam komunikasi dan relasi dengannya.”
“Oh, memang benar, Pak. Saya menjelaskan padanya bahwa ia memang bersalah, dan diancam hukuman mati, mengingat banyaknya heroin yang berusaha diselundupkannya. Oleh karena itu saya berjuang agar hak-haknya terjamin dan proses peradilan berjalan adil, mengingat banyak sekali tekanan dari berbagai pihak. Dan jangan lupa tekanan dari pers yang terus dengan gencar meliputnya. Namun saya berusaha agar ia tidak dihukum mati, tetapi divonis seumur hidup. Maka saya lalu menasihatinya untuk terus berdoa!”
“Lalu bagaimana tanggapannya?”
“Dia menangis, apalagi mengingat anaknya yang ditinggalkannya di Thailand. Dan ia mau melakukannya. Dan bukan hanya itu, Pak Pur… Chiangcream ternyata menderita AIDS.”
“Maksud Pak Rachmat, terkena virus HIV?”
“Tidak Pak, sudah AIDS. Ia beberapa kali muntah darah, diperiksa di rumah sakit, ternyata positif AIDS.”
“Dan ia tetap di rumah tahanan itu?” tanya saya dengan heran.
“Maklumlah, Pak. Maka waktu saya suruh berdoa itu, dia sungguh-sungguh melakukannya. Saya tiba-tiba teringat kepada lagu “Doa Bapa Kami” dalam bahasa Inggris. Saya tuliskan di atas kertas dan saya ajari untuk menyanyikannya, agar bisa membantu menguatkannya. Habis saya tidak tahu lagu rohani dalam bahasa Inggris yang lain.”
Chiangcream, yang sudah menyerah pada keadaannya, kemudian sungguh-sungguh berserah kepada Tuhan. Ia terus menyanyikan lagu “Doa Bapa Kami” itu dengan sungguh-sungguh dan penuh perasaan. Beberapa temannya di rumah tahanan itu rupanya tersentuh oleh kesungguhan Chiangcream, sehingga ikut belajar menyanyikannya, tanpa memahami apa artinya.
Sementara itu sejak beberapa persidangan awal, Pak Rachmat berusaha memperjuangkan agar Chiangcream lolos dari hukuman mati. Ia melakukannya dengan mengimbau persidangan untuk mempertimbangkan prinsip etika yang melihat hukuman mati bukan sebagai jalan keluar untuk merehabilitasi manusia, tetapi jalan pintas yang terlalu pendek dan mengabaikan harkat hidup dan jiwa manusia. Untuk itu Pak Rachmat mendatangkan saksi ahli dalam diri Prof. Sahetapy yang giat memperjuangkan penghapusan hukuman mati. Selain itu Pak Rachmat juga mengimbau persidangan dengan dasar keadaan kesehatan Chiangcream.
“Kelihatannya waktu itu bagaimana, Pak? Akan berhasilkah imbauan-imbauan itu?”
“Rasanya begitu, Pak. Sayangnya kemudian keadaan kesehatan Chiangcream kian buruk, sehingga akhirnya harus dirawat di rumah sakit karena muntah-muntah darah dan pingsan.”
Chiangcream sempat dirawat beberapa minggu di rumah sakit sebelum akhirnya meninggal dunia. Pak Rachmat sempat terpukul karenanya. Apalagi beberapa hari sebelum Chiangcream meninggal, ia menerima faks dari Thailand yang belum sempat disampaikannya kepada Chiangcream, yang memang sudah tidak sadar. Faks itu dari anaknya di Thailand: “I love you, Mom!”
Yang juga amat berkesan di hati Pak Rachmat adalah apa yang terjadi sebelum Chiangcream dimakamkan. Karena tidak ada pendeta, Pak Rachmat memimpin hadirin waktu itu, termasuk perwakilan dari kedutaan Thailand, untuk berdoa. Dan sebelum jenazah diberangkatkan, beberapa teman tahanan Chiangcream yang hadir, meminta waktu. Salah seorang dari mereka berkata: “Kami ingin menyanyikan sebuah lagu yang amat disukai dan selalu dinyanyikan oleh almarhum.”
Maka merekapun kemudian menyanyikan lagu “Doa Bapa Kami” dalam bahasa Inggris, dengan khusuk dan berlinang air mata.
Pak Rachmat mengakhiri ceritanya sambil menghela nafas panjang.
“Mungkin memang sebaiknya berakhir begini. Setidaknya Chiangcream telah mengalami bahwa ia juga punya teman-teman yang membelanya, baik di dalam maupun di luar pengadilan..”
“Juga bahwa ia punya Tuhan. Pak Rachmat dengan baik sekali telah menunjukkan hal itu….”
“Ah… saya cuma mengajarinya menyanyi, Pak Pur…”
“Tetapi maknanya kan ternyata lebih dalam toh…?”
“Memang Pak, saya setuju…”
“Lain kali kalau ada perkara pidana lain, bagaimana Pak Rachmat …?”
“Pada prinsipnya bersedia, Pak… Tetapi saya akan melihat dulu kondisinya. Kalau sekadar membela begitu saja, apalagi untuk mendapatkan uang, saya tidak mau, Pak.”
Pdt. Purboyo W. Susilaradeya
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.