Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia. (Bung Karno)
Saya punya seorang teman dari Indramayu, sebuah kota kecil di dekat Cirebon yang sangat terkenal dengan buah mangganya, antara lain mangga gedong dan mangga indramayu. Teman saya itu kepala sekolah SD Kristen. Dalam sebuah percakapan, ia mengatakan bahwa di Indramayu, sekolah yang punya murid paling banyak adalah tingkat SD. Tingkat SMP jumlah muridnya lebih sedikit dan SMA lebih sedikit lagi. Penyebabnya adalah, apabila murid-murid sudah beranjak remaja atau pemuda, orang tua mereka akan menyekolahkan mereka ke kota yang lebih besar seperti Cirebon, Bandung, Semarang atau Jakarta. Bukannya di Indramayu tidak ada SMP atau SMA, tetapi mereka lebih suka menyekolahkan anak mereka di kota besar. Di kota besar kan banyak hal yang tidak ada di kota kecil, sehingga anak-anak mempunyai pengetahuan yang luas, tidak kuper. Jadi, populasi terbanyak di kota Indramayu adalah anak-anak dan para senior (menyesuaikan dengan istilah di GKI PI). Remaja dan pemudanya sebagian besar sudah pindah sekolah ke kota-kota besar. Kemudian teman saya itu berkata, “Bagaimana mungkin kota ini bisa maju kalau isinya cuma anak-anak dan para pensiunan saja.”
Wajar ada kekhawatiran seperti itu. Biasanya kalau anak-anak sudah bersekolah di kota lain dan sudah meraih gelar atau pendidikan yang tinggi, sangat kecil kemungkinannya untuk kembali ke kota asal mereka. Mereka akan kembali ke kota asal kalau sudah memasuki masa pensiun dan menikmati nostalgia masa kecil di kota kelahiran mereka. Biasanya didahului dengan reuni bersama teman-teman SD, SMP atau SMA yang isinya mengenang masa lalu, kuliner makanan masa kecil dan sebagainya.
Kekhawatiran yang sama muncul dalam perbincangan dengan beberapa warga jemaat di gereja. Ada “keluhan” bahwa jumlah kaum pemuda di gereja kita makin lama semakin sedikit. Kelihatannya mereka lebih suka mengikuti kebaktian di gereja lain, yang lebih cocok dan lebih sesuai dengan harapan dan kondisi mereka. Mereka yang sekolah di luar negeri, merasa lebih sesuai dengan kebaktian berbahasa Inggris, barangkali lo. Atau yang isi khotbahnya lebih mengena untuk kaum muda atau yang suasana kebaktiannya lebih fresh, ini juga masih barangkali.
John F. Kennedy, Presiden Amerika Serikat, mengatakan, “Jangan tanya apa yang bisa negara lakukan untukmu, tetapi tanyalah apa yang bisa kamu lakukan untuk negara.” Jadi, para pemuda kita seharusnya bertanya pada diri mereka, apa yang bisa mereka berikan kepada gereja agar gereja bisa memenuhi harapan mereka. Usulkan perbaikan dan inovasi agar suasana kebaktian pemuda di gereja ini sesuai dengan kebutuhan mereka saat ini (kurang sreg memakai istilah “zaman now”). Kalau ada yang lebih baik di tempat lain, tidak ada salahnya kalau ditiru, dibawa ke gereja kita. Bahkan dibuat dan dikemas dengan lebih baik supaya bisa menarik para pemuda yang ada di luar untuk beraktivitas atau beribadah di gereja kita.
Usulan untuk menjadi lebih baik, tampaknya bukan sesuatu yang tabu bagi gereja kita. Jadi, ayo para remaja, pemuda, juga dewasa muda, lakukan sesuatu agar kaum muda di gereja kita menjadi lebih bergairah lagi, terapkan apa yang dianggap baik dari gereja lain, bahkan buatlah menjadi lebih baik. Jadikan GKI Pondok Indah sebagai kiblat dari persekutuan pemuda Kristen yang mutakhir, yang up-dated. Kalau mau ada khotbah berbahasa Inggris silakan saja diusulkan, mungkin juga banyak warga jemaat lain yang menyambut baik.
Kata-kata Bung Karno di atas mengandung arti bahwa pemuda mempunyai potensi yang sangat besar untuk melakukan perubahan. Pemuda adalah pembaharu, para tokoh pejuang kemerdekaan kita adalah para pemuda.
GKI Pondok Indah adalah gereja yang Hidup, Terbuka, Partisipatif dan Peduli. Jadi, kalau ada usulan untuk sesuatu yang lebih baik, sepanjang hal itu masih sesuai dengan azas GKI, harusnya bisa diterima. Saat ini pun sudah banyak sekali perubahan dan inovasi yang dilakukan. Iringan musik misalnya, berawal dari sebuah piano atau keyboard, sekarang sudah hampir menjadi full band. Pemandu Nyanyian Jemaat atau Prokantor, yang semula hanya satu atau dua orang saja, sekarang sudah bergaya song leader. Perjamuan Kudus sudah melibatkan anak-anak, walaupun di sana-sini masih ada bisik-bisik. Persembahan sudah menggunakan amplop khusus, cara ini juga sudah digunakan oleh gereja lain, tetapi sepanjang dipandang lebih baik, kenapa tidak? Persembahan dengan menggunakan amplop juga bisa menghindarkan uang persembahan yang dilipat-lipat menjadi kecil sehingga agak menyulitkan ketika menghitung uang persembahan.
Usher sudah ditangani oleh tim Hospitality Ministry, walaupun masih belum bisa memuaskan semua warga jemaat. Adanya Website dan aplikasi mobile GKI Pondok Indah juga mengurangi penggunaan kertas untuk mencetak Warta Jemaat. Dan masih banyak lagi inovasi lain yang sudah dilakukan. WA Group jemaat GKI Pondok Indah juga menerima saran-saran untuk perbaikan dan kemajuan gereja.
Kalau gereja belum dapat memberikan apa yang dibutuhkan, janganlah mencarinya di gereja lain, tetapi buatlah agar gereja dapat memenuhi kebutuhan itu. Kalau terus mencari apa yang dibutuhkan di tempat lain, percayalah bahwa kita selalu tidak akan pernah terpuaskan di satu tempat.
Saya membayangkan, beberapa tahun atau beberapa belas tahun, atau beberapa puluh tahun yang akan datang, warga jemaat GKI Pondok Indah hanya berisi anak-anak Sekolah Minggu dan para senior saja. Para remaja dan pemudanya beraktivitas di tempat lain. Mereka hanya mengantar dan menjemput orangtua mereka di pintu gereja GKI Pondok Indah. Jemaat dewasa muda hanya mengantar dan menjemput anak-anak mereka di Sekolah Minggu. Jangan lupa, suatu saat nanti kita yang akan diantar-jemput oleh anak-anak kita. Gereja hanya penuh pada saat Natal, Paska dan kebaktian akhir tahun saja. Pada saat itu pasti banyak warga jemaat yang menyesal, kenapa tidak berbuat sesuatu. Buru-buru saya hapus khayalan saya itu.
Saya kembali terkenang pada teman saya yang Kepala Sekolah SD di kota Indramayu. Ia tidak bisa berbuat apa-apa, hanya menjalani hari-hari sampai usia pensiun dan bergabung dengan kelompok senior di kotanya.
Salam damai.
>> Sindhu Sumargo
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.