Kami percaya bahwa Anda sudah melayani keluarga dengan menggunakan kedua telinga Anda untuk mendengarkan ungkapan perasaan istri dan anak-anak, baik di dalam kesesakan, maupun di dalam kebahagiaan.
Namun perlu disadari bahwa banyak kendala bagi kaum pria untuk menjadi pemimpin yang melayani, karena setiap pria memiliki kecenderungan ingin menunjukkan kekuatan serta naluri berkuasa, berperang, mendominasi dan menang. Padahal Tuhan menginginkan agar kaum pria menjadi pemimpin keluarga yang mengasihi, peduli dan menghargai istri dan anak-anaknya. Alkitab mengajarkan konsep “sikap kelembutan” untuk mendorong agar setiap aspek kehidupan manusia dapat bertumbuh dan berpusat kepada Kristus. Dia datang bukan hanya menyelamatkan manusia, tetapi juga menegakkan keadilan sosial, persamaan hak bagi laki-laki dan perempuan (Galatia 3:28). Umat manusia harus menjadi satu dan membawa kemenangan bagi setiap orang, tidak peduli jenis kelaminnya.
Yesus mengajar kepada kaum pria agar menjadi pria sejati yang memiliki “kekuatan” luar biasa, yaitu kelemah-lembutan dan kerendahan hati, bukan dengan menggunakan otot. Matius 11:29 mengatakan, “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah-lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat kelegaan”. Belajar menjadi lemah-lembut dan rendah hati tidak mudah, tetapi harus melalui proses memikul suatu beban, yaitu ketidaknyamanan untuk mendisiplinkan diri sendiri, karena kelemah-lembutan itu suatu unsur yang sulit dikenali dalam diri pria. Lemah-lembut bukan berarti “lemah gemulai, tetapi lemah-lembut yang tegas, menghargai orang lain dan mendengarkan orang-orang di sekelilingnya, serta memperhitungkan keadaan. Perlu disadari bahwa seorang suami biasanya kurang dapat mendengarkan istri, oleh karena itu Yakobus 1:19-20 menasihatkan, “Hai ingatlah hal ini: setiap orang hendaknya cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan lambat untuk marah; sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah”.
Mendengarkan adalah sebuah pelayanan yang mulia, karena ketika Anda mendengarkan, Anda sedang menghargai pasangan dan anak-anak dengan penuh kasih, namun tetap teguh berpegang dalam kebenaran. Efesus 4:15 mengatakan, “dengan teguh berpegang pada kebenaran di dalam kasih, kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus yang adalah Kepala”. Seorang suami sebagai pemimpin dan imam dalam keluarga yang memiliki otoritas dari Tuhan untuk memimpin keluarga dan bertanggung jawab kepada Allah, harus memiliki keseimbangan dalam berpikir, merasakan dan bertindak. Suami sebagai pria sejati memiliki hikmat dari Tuhan untuk bertindak sebagai teladan dalam kehidupan keluarga. Dia memiliki komitmen untuk bertumbuh lebih dulu menjadi serupa Kristus yang “Congruent”, selalu memperhitungkan orang lain, memperhitungkan diri sendiri dan memperhitungkan keadaan.
Suami yang sudah bertumbuh tidak memiliki kecenderungan seperti yang dilakukan manusia pada umumnya ketika menghadapi masa-masa sulit, yaitu melampiaskan amarah, atau menasihati pasangan dengan kata-kata keras, terutama bila kesulitan itu ditimbulkan oleh pasangan. Tetapi dia dapat melakukan kelemah-lembutan pada pasangan, karena ada dorongan alami dalam dirinya, yaitu Roh Kudus yang merupakan sebuah transformer yang membangkitkan tenaga yang luar biasa dalam dirinya. Bersikap lemah-lembut dan tenang di tengah pencobaan, merupakan salah satu cara yang paling ampuh untuk membangun sebuah hubungan yang erat dalam kehidupan rumah tangga. Terlebih lagi bila kita menggunakan kata-kata yang baik, positif dan membangun, supaya orang lain yang mendengarnya beroleh kasih karunia dan mendapat kekuatan yang membangkitkan semangat hidup. Efesus 4:29-30 menasihatkan kepada kita, “Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya beroleh kasih karunia”.
Pria yang kuat secara rohani menyadari bahwa perkataannya memiliki kuasa yang dahsyat, yaitu perkataan yang selalu menguatkan dan membangun. Perkataan positif perlu dikembangkan sebagai sarana komunikasi keluarga sehari-hari untuk menggantikan nasihat-nasihat yang disertai amarah yang dapat mengecilkan arti pasangan. Nasihat itu mungkin baik bila sesekali dilakukan sebagai tanggapan yang sesuai bagi seseorang, namun perkataan lemah-lembut dan membangun dapat menghindari perdebatan. Kita sering tidak menyadari bahwa perkataan kita bernada “sumbang”, maka kita perlu mengemas perkataan positif dan membangun, sebagai ungkapan yang menyatakan bahwa pasangan memiliki arti dalam kehidupan keluarga.
Kelemah-lembutan lewat ucapan dan tindakan yang mencerminkan kasih dan kepedulian, sungguh berdampak luar biasa, Matius 8:3 mengatakan, “Lalu Yesus mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu dan berkata: ‘Aku mau, jadilah engkau tahir’. Seketika itu juga tahirlah orang itu dari pada kustanya”. Perkataan dan sentuhan Yesus yang lembut kepada orang sakit kusta itu mendatangkan mukjizat kesembuhan. Demikian pula perkataan dan sentuhan lembut seorang suami kepada pasangan, atau seorang bapak kepada anak-anaknya, yang disertai dengan pengampunan, akan sanggup menghancurkan benteng-benteng kesombongan, keangkuhan, kemarahan dan kekecewaan pasangan dan anak-anaknya. Untuk membiasakan sikap dan perkataan positif, membangun dan mendorong semangat bagi keluarganya, suami bijak akan melakukan tindakan dan perilaku sehari-hari, sampai menghasilkan karakter Yesus dalam dirinya.
Yesus mengatakan bahwa wibawa seorang pemimpin ditentukan oleh sejauh mana dia bersedia melayani, karena Yesus juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang (Markus 10:45). Suami bijak yang menjadi pemimpin rumah tangganya, akan termotivasi pernyataan Yesus untuk melakukan yang terbaik bagi istri dan anak-anaknya dengan sikap sebagai hamba yang melayani mereka. “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya” (Markus 10:43-44). Apabila suami tidak bersedia melayani keluarganya, maka suami tersebut telah mendiskualifikasikan dirinya sendiri sebagai seorang pemimpin di dalam rumah tangganya.
Melayani adalah identik dengan mengasihi, dan apabila Anda sudah melayani istri dan keluarga, berarti Anda sedang mengasihi mereka. Seorang pria tidak pernah berhenti memimpin dan melayani. Itulah peran yang diberikan Tuhan kepadanya. Namun kita seringkali mendengar keluhan dari para istri bahwa suaminya dapat melayani sampai ke ujung dunia, tetapi dia tidak dapat meluangkan waktu sedikit pun untuk melayani keluarganya. Dan biasanya kaum pria ini menciptakan dalih karena adanya kesibukan, beban kerja yang berat, lelah, pelayanan di luar yang menyita waktu dan lain sebagainya. Bahkan ditekankan kepada istrinya bahwa keadaan ini harus diterima keluarganya sebagai harga yang harus dibayar.
Dalih ini sering diungkapkan oleh para suami, hanya karena mereka enggan meluangkan waktu untuk melayani istri dan anak-anaknya. Mereka tidak menyadari bahwa Allah menciptakan kaum pria untuk memimpin dan melayani di dalam rumah tangganya. Sebagai pemimpin, Anda tidak perlu melakukan pelayanan pekerjaan phisik seperti pembantu rumah tangga, tetapi kalau diperlukan, tidak ada salahnya Anda membantu istri dalam menyelesaikan pekerjaan itu. Namun yang terpenting sebagai suami harus memiliki perhatian khusus kepada istri dan anak-anaknya untuk membimbing dan mengarahkan mereka, baik dalam spiritual, mental, maupun phisik.
Oleh karena itu Tuhan memberi peran kepada suami untuk melakukan Tri-dharma sebagai wujud nyata pelayanan seorang suami kepada keluarganya, yaitu: peran sebagai pemimpin, sebagai imam dan sebagai sahabat bagi istri dan anak-anaknya. Peran itulah yang harus dipatuhi dengan sebaik-baiknya, karena pernikahan ini bukan milik Anda, tetapi milik Tuhan dan Anda hanya sebagai pengelola yang harus mempertanggung-jawabkan hasil pengelolaan itu kepada Tuhan, melalui Yesus Kristus. “Akulah pokok anggur yang benar dan Bapa-Kulah pengusahanya. Setiap ranting pada-Ku yang tidak berbuah, dipotong-Nya dan setiap ranting yang berbuah, dibersihkan-Nya supaya ia lebih banyak berbuah”. (Yohanes 15:1-2). Berhasil dan tidaknya pengelolaan itu terletak di tangan para suami, namun bila kita melakukan pengelolaan dengan baik dan benar, niscaya akan mengasilkan buah.
Sebagai pemimpin: Suami sebagaimana layaknya “kepala” dalam tubuh phisik, yaitu melihat, berbicara, mendengar dan berpikir demi kepentingan seluruh tubuh, namun tanpa tubuh, kepala tidak berdaya. Oleh karena itu Anda sebagai pemimpin keluarga perlu memiliki sosok yang berwibawa yaitu “pemimpin yang melayani” untuk membimbing dan mengarahkan istri serta anak-anak Anda, karena Anda memiliki otoritas tertinggi dalam rumah tangga, namun tidak otoriter. Bahkan kepemimpinannya itu diwarnai dengan kepemimpinan yang partisipatif, yaitu memberikan wahana keterbukaan, bebas mengeluarkan pendapat bagi istri dan anak-anak.
Di sisi lain Anda perlu juga memberikan keteladanan yang alkitabiah kepada mereka, yaitu “satunya kata dengan perbuatan dan satunya mulut dengan tindakan”. Keteladanan ini sangat diperlukan bagi mereka untuk dapat melakukan nilai-nilai alkitabiah yang telah Anda tetapkan bersama. Di samping itu perlu memberikan pemberdayaan kepada mereka dengan mendidik dan melatih mereka untuk melakukan segala sesuatu yang baik demi tercapainya hidup yang bermakna.
Sebagai iman dalam keluarga: Suami berkewajiban membimbing pertumbuhan rohani istri dan anak-anak. Membangun keluarga yang beribadah dan membangun ibadah keluarga, merupakan sarana yang ampuh untuk membangun jalinan hubungan dengan Tuhan dalam doa dan puji-pujian, serta komunikasi dengan keluarga yang saling mengasihi. Suami yang berdoa bagi istri dan anak-anaknya, dapat mengembangkan keintiman spiritual yang menghasilkan “kesatuan roh”, yang pada akhirnya berdampak positif pada keintiman emosional dan keintiman fisik. Banyak para istri yang terkikis secara fisik, emosional dan mental akibat serangan musuh yang gencar, sehingga komunikasi dengan Allah mulai undur dan berdampak ke dalam pernikahan. Apabila “tangki spiritual” istri sedang kosong, suamilah yang wajib mendoakan, karena suami diberi kuasa oleh Tuhan untuk “menahan kekuatan musuh” (Lukas10:19), dan melindungi istri serta anak-anaknya. Untuk itulah suami harus kuat dalam rohani agar senantiasa dapat peneguhan dari Tuhan sebagai imam dalam keluarga secara utuh.
Sebagai sahabat: Suami bertindak bijak, seperti firman Tuhan yang mengatakan, “Hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan istrimu, sebagai kaum yang lebih lemah! Hormatilah mereka sebagai teman pewaris dari kasih karunia, yaitu kehidupan, supaya doamu jangan terhalang” (1 Petrus 3:7). Dalam hal ini, Anda perlu menempatkan keberadaan Anda menjadi sahabat bagi orang-orang yang Anda kasihi, dan perlu belajar mendengarkan mereka. Pria sejati bukan orang yang memiliki kemampuan berbicara yang menimbulkan decak kagum dari orang yang mendengarkannya, tetapi memiliki kemampuan mendengarkan keluarganya dan orang-orang di sekitarnya. Mendengarkan adalah suatu pelayanan yang luar biasa bagi pasangan dan keluarga.
Untuk mengembangkan sikap kepedulian sebagai pemimpin yang melayani, Anda perlu berhenti sejenak dari kerja keras, meluangkan waktu dari kesibukan-kesibukan pribadi yang berkaitan dengan hobby Anda, menata kembali jadual pelayanan Anda, untuk merenungkan firman Tuhan dan merefleksi diri bersama pasangan.
Kita perlu beristirahat sejenak demi kebaikan diri sendiri dan mengarahkan kepedulian kita kepada pasangan dan keluarga demi menegakkan peran Suami sebagai pemimpin yang melayani. Kita perlu waktu untuk pembaharuan dan penyegaran kembali roh, jiwa dan tubuh, bersama keluarga.
Pasutri Tjuk – Maureen
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.